“Keberadaan Freeport tak memberi sumbangsih terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama masyarakat Papua,”
Oleh : Aisyah Karim, S.H
Lapan6Online : Dilansir dari CNBC Indonesia, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Tony Wenas buka-bukaan mengenai kiprah perusahaan itu selama 52 tahun mendiami bumi Papua. Tony mengklaim telah banyak diberikan kepada masyarakat Papua. Demikian disampaikan dalam acara Indonesia Millenial Submit di The Tribrata, Jakarta, Kamis (17/01/2020).
Tony mengawali pembicaraan dengan mengulas divestasi saham oleh pemerintah. Adapun soal pembangunan Papua, menurutnya PTFI tak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga pembangunan manusia dan ekonomi.
Menurut Tony, keberadaan PTFI memberikan kontribusi untuk Papua diantaranya, memberikan PDRB Papua 48% untuk provinsi dan kabupaten Mimika 94 % PDRB-nya dari kegiatan ekonomi di Freeport.
Untuk di ketahui bahwa sejak 1973 PTFI beroperasi di Papua. Tambang terbuka Grasberg menjadi legenda, sebagai gunung emas yang dimiliki Freeport. Freeport memiliki tambang tembaga dan emas bawah tanah terbesar dunia.
Bahkan tambang ini masih menyisakan cadangan tembaga dan emas di bawah tanahnya sekitar 2 milliar ton hingga 2052. Freeport memproduksi lebih dari 240 kg emas per hari dari bumi Papua.
Investasi Freeport di tambang Papua mulai 2019-2024 sebanyak USD 15,2 milliar atau Rp 212 triliun, di luar pembangunan smelter yang nilainya USD 3 miliar atau Rp 42 triliun.
Sedangkan skema saham yang dilaporkan adalah 26,24 % dimiliki Inalum, 25 % dimiliki PT Indonesia Papua Metal dan Mineral (IPMM) dan 48,76% dimiliki oleh Freeport McMoran.
Papua Remuk Dalam Cengkraman Kapitalisme
Dengan kekayaan alam melimpah, harusnya Papua menjadi Provinsi terkaya di Indonesia. Namun data statistik menunjukkan realitas yang berbeda. BPS mencatat prosentase dan jumlah miskin terbesar justru ada di Papua.
Data dan angka yang disampaikan Tony di depan millenial muda Indonesia telah menyembunyikan fakta betapa rakyat Papua masih terkurung dalam keterbelakangan, pendidikan tak memadai, fasilitas umum minim, bahkan bencana stunting dan kelaparan.
Kesombongan Tony harus dibayar mahal oleh Indonesia terutama pasca pengambilalihan Freeport yang dibungkus nasionalisme semu. Lewat perusahaan negara, pemerintah menggelontorkan dana senilai Rp 55,8 triliun untuk menguasai 51,23 % saham PTFI.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM kala itu menyampaikan dampak jangka panjang divestasi akan dinikmati oleh Indonesia. Beralihnya mayoritas saham PTFI ke holding BUMN sektor tambang, PT Inalum akan berdampak positif seperti kelangsungan operasi PTFI.
Demikian pula terhadap aspek sosial ekonomi, pendapatan masyarakat akan meningkat, tercipta efek domino dari pengembangan smelter dan Tingkat Komponen Dalam Negeri(TKDN), serta adanya transfer teknologi pertambangan.
Faktanya, untung tak dapat diraih malang tak dapat di tolak. Alih-alih untung, kini rakyat Papua pun harus menanggung kerusakan lingkungan akibat limbah tambang alias tailing yang tidak di kelola dengan baik.
Sesuai dengan temuan BPK yang dirilis pada 2017, nilai kerugian lingkungan itu mencapai Rp 185 triliun. Kerusakan lingkungan terjadi karena tidak layaknya penampungan tailing di sepanjang sungai Ajkwa.
Kerugian lingkungan di bagian hulu diperkirakan mencapai rp 10,7 triliun, muara sekitar Rp 8,2 triliun dan laut Arafura Rp 166 triliun.
Masalah ini tidak dibereskan selama bertahun-tahun hingga akhirnya menumpuk menjadi risiko lingkungan yang amat mahal.
Freeport untuk kesejahteraan Siapa?
Operasi Freeport di Papua telah melibatkan banyak kepentingan baik politik, hukum, ekonomi, sosial dan keamanan. Diatas kepentingan itu hanya dua pihak yang diuntungkan, yaitu kapitalis dan para penguasa serta agen yang membuka jalan bagi berlangsungnya penjajahan ini.
Tidak sedikitpun kepentingan ini melibatkan rakyat kecuali hanya sebagai penonton saja.
Hasil survey Lembaga Media Survei Nasional (Median) kepada publik soal kontribusi Freeport, terungkap bahwa 68,70 % menjawab belum berkontribusi. Hanya 12,50 % publik menjawab sudah dan sisanya 18,80 tidak menjawab. Kemudian soal keuntungan bagi bangsa Indonesia, sebesar 70,35 % publik merasa Freeport belum adil.
Yang menjawab sudah adil hanya 3,49 %. Dari data tersebut terjawab bahwa keberadaan Freeport tak memberi sumbangsih terhadap kesejahteraan rakyat Indonesia, terutama masyarakat Papua.
Pengelolaan SDA Penuh Berkah dengan Khilafah
Khilafah akan menutup semua pintu bagi penguasaan sumber daya alam oleh individu atau swasta. Pengelolaan semacam ini hanya akan menjadikan harta dan kekayaan berputar dikalangan yang itu-itu saja.
Disamping timbulnya berbagai pelanggaran hukum syara` seperti penimbunan dan monopoli. Khilafah tidak akan menggelar karpet merah bagi orang-orang kafir untuk menguasai kekayaan milik kaum muslimin.
Karena sumber daya alam adalah milik umum, milik umat yang dikelola oleh negara untuk kemudian seluruh hasilnya dikembalikan kepada pemenuhan urusan umat. Dalam hal ini Khalifah, selaku pemimpin negara akan berijtihad untuk mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslim demi kemashlatan Islam dan kaum muslimin. GF/Lapan6 Group
*Lingkar Studi Perempuan dan peradaban, Aceh