“Sebenarnya menaikan cukai rokok dan menaikan harga rokok paling tidak akan membuat warga miskin mengurangi konsumsi rokok. Namun, pemerintah justru tidak mengambil langkah ini. Pemerintah justru memudahkan dan memuluskan pengusaha rokok beroperasi di Indonesia,”
Oleh : Rahmi Surainah, M.Pd
Lapan6Online : Rokok menduduki urutan ke 2 setelah beras. Rokok bukan bahan pokok, namun merupakan salah satu daftar penyumbang kemiskinan karena banyaknya konsumen yang rela mengeluarkan uang demi asap ngepul di mulut. Bahkan ada penikmat rokok yang rela tidak makan asal bisa merokok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, di pedesaan konsumsi beras dan rokok hanya selisih beberapa poin. Beras 17,87 persen dan rokok 17,54 persen. Untuk perkotaan rokok 9.07 persen.
Kepala BPS Kaltim, Atqo Mardiyanto menjelaskan perkara tingginya konsumsi rokok pada penduduk miskin bukan cuma masalah Kaltim. Secara nasional konsumsi rokok memang berada tepat di bawah pengeluaran beras. Strategi menaikan harga untuk mengurangi konsumsi rokok tidak akan berdampak signifikan. Bagi kebutuhan rokok pasti dibeli berapapun harganya.
Peringatan: Rokok membunuhmu. Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan kegangguan kehamilan dan janin. Termasuk peringatan dengan menggunakan ilustrasi gambar akibat bahaya rokok dan larangan bebas asap tokok di tempat umum, layanan masyarakat, transportasi dan saranan lainnya. Bungkus rokok, spanduk, media lainnya ikut mengkampanyekan bahaya dan larangan rokok baik aktif maupun pasif sepertinya tidak berpengaruh untuk menjelaskan bahaya rokok.
Industri tembakau merupakan salah sektor perekonomian terbesar di Indonesia karena konsumsi rokok amat besar di negeri ini. Diperkirakan, 65 persen warga pria Indonesia adalah perokok. Secara umum Indonesia merupakan pasar rokok terbesar kedua di Asia setelah China dan ketiga di dunia setelah Rusia dan China. Tak heran banyak pabrik rokok beroperasi di Indonesia (kompas.com,31/5/2018).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengkritik Menteri Kesehatan karena dianggap tidak merespon kebijakan Kementerian Keuangan yang menahan kenaikan cukai rokok selama dua tahun terakhir (11/1/2019).
Pertimbangan Kemenkau tidak menaikan cukai untuk menjaga industri, namun seharusnya Kemenkes dapat memberi masukan dan pandangan terkait dampak yang timbul akibat konsumsi rokok yang semakin besar (Liputan6.com).
Keputusan pemerintah untuk tidak menaikan tarif cukai rokok pada tahun 2019 ini akan bertampak positif pada margin perusahan rokok. Beban perusahaan menjadi jauh berkurang, karena cukai membebani biaya perusahaan sebesar 45 persen – 55 persen dari total biaya. Selain itu, pemerintah, membeberkan 54 industri yang keluar dari Daftat Negatif Investasi (DNI) termasuk industri rokok di dalamnya. Artinya, mengundang Penanaman Modal Asing (PMA) masuk, perusahaan akan mendapat kemudahan dalam pengurusan perizinan.
Sebenarnya menaikan cukai rokok dan menaikan harga rokok paling tidak akan membuat warga miskin mengurangi konsumsi rokok. Namun, pemerintah justru tidak mengambil langkah ini. Pemerintah justru memudahkan dan memuluskan pengusaha rokok beroperasi di Indonesia. Kebijakan pemerintah terhadap pengusaha rokok justru bertentangan dengan upaya mengurangi konsumsi rokok serta upaya untuk menjaga kesehatan masyarakat dari bahaya rokok.
Pemerintah memang banyak berhutang budi pada pengusaha rokok. Pendapatan negara berupa pajak, salah satunya terbesar dari perusahaan rokok. Kebijakan pemerintah terkait rokok tentu berkaitan erat dengan hubungan materi atau keuntungan yang di dapat dari pengusaha rokok. Pengusaha rokok sudah bisa mengambil hati masyarakat dengan anggaran pendapatan negara dan daerah, bantuan kemanusian, beasiswa, dan menyediakan lapangan kerja.
Dalam kajian agama tentang rokok, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), rokok hukumnya makruh dan haram (Kementerian Agama Republik Indonesia). Mengharamkan diri untuk tidak merokok seharusnya menjadi prinsip bagi setiap individu masyarakat. Berawal dari coba-coba akhirnya ketagihan. Bagi perokok seharusnya berupaya agar insaf dari rokok, perlu kesadaran dari dalam diri dan keinginan kuat untuk bebas dari rokok.
Negara memang tidak ada andil untuk melarang warganya merokok, termasuk melarang perusahaan rokok beroperasi di Indonesia. Padahal, negara dan ulama ketika menyepakati bahwa rokok haram dan dilarang tentu ini solusi tuntas untuk mengatasi konsumsi rokok.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah konsumsi rokok sepertinya hanya ilusi. Selama negara ini berbasis sistem kapitalisme sekulerisme, sistem ekonomi yang berpihak kepada pemilik modal, memisahkan agama dengan kehidupan dalam mengatur negara.
Oleh karena itu, ketika pemimpin mampu berijtihad, melegalisasi hukum rokok sesuai syariah tentu ini hanya terjadi ketika negara menerapkan aturan sesuai Islam. Fatwa MUI sepertinya masih lemah, perlu legalisasi hukum berkenaan rokok yang diterapkan pemimpin dan sistem yang memang lengkap dan sempurna (Islam Kaffah).Wallahu alam. [GF]
*Penulis adalah alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin