“Kedzoliman tersebut merupakan salah satu karakter rezim sekuler yang menganut sistem ekonomi kapitalis yang hanya memikirkan uang, uang dan uang, tanpa memikirkan aspek kerokhanian yaitu halal dan haram,”
Oleh : Nur Fitriyah Asri
Lapan6Online : Dilansir oleh CNBC Indonesia – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya menerbitkan aturan baru guna mengendalikan biaya kesehatan agar BPJS Kesehatan tidak tekor lagi.
Bila sebelumnya semua biaya perawatan peserta BPJS Kesehatan ditanggung oleh badan ini, dalam aturan baru tersebut sejumlah layanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dalam program Jaminan Kesehatan dikenakan urun biaya. Itu artinya BPJS Kesehatan akan membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan, selebihnya ditanggung peserta.
Aturan baru ini termuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Bayar dalam Program Jaminan Kesehatan. Aturan ini diterbikan Desember 2018.
Dalam aturan baru ini, layanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan dibatasi biaya kunjungan rawat jalan pada rumah sakit kelas A dan rumah sakit kelas B sebesar Rp 20 ribu untuk satu kali kunjungan. Untuk rumah sakit kelas C, D dan klinik utama Rp 10 ribu.
Aturan ini juga membatasi jumlah biaya paling tinggi untuk kunjungan rawat jalan sebesar Rp 350 ribu untuk maksimal 20 kali kunjungan dalam jangka waktu 3 bulan.
Permenkes ini juga mengatur pembatasan biaya yang ditanggung oleh peserta rawat jalan sebesar 10% dari biaya yang dihitung dari total tarif Sistem Indonesia Case Base Groups (INA-CBG) atau tarif layanan kesehatan yang dipatok pemerintah atau paling tinggi Rp 30 juta.
Dalam beleid ini, Kemenkes membolehkan peserta BPJS Kesehatan yang melakukan rawat jalan untuk naik kelas ke layanan eksekutif yang menggunakan dokter spesialis dengan membayar paket rawat jalan eksekutif paling besar Rp 400 ribu untuk setiap rawat jalan.
Dalam aturan ini, rumah sakit diwajibkan untuk memberitahukan dan mendapat persetujuan dari peserta BPJS Kesehatan tentang kesediaan menanggung selisih biaya. Aturan ini tidak berlaku untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) dan penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah.
Aturan ini berpotensi memberatkan masyarakat bawah dan membuat rakyat semakin susah. Karena tidak menutup kemungkinan terjadi potensi kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum terkait. Misalnya orang sakit biasa dikatakan sakit berat, seorang ibu bisa melahirkan normal digiring untuk caesar dan lain-lain. Dalam hal ini peserta BPJS yang dijadikan sapi perah. Disamping setiap bulannya wajib membayar premi juga masih harus membayar urun biaya.
Kedzoliman tersebut merupakan salah satu karakter rezim sekuler yang menganut sistem ekonomi kapitalis yang hanya memikirkan uang, uang dan uang, tanpa memikirkan aspek kerokhanian yaitu halal dan haram.
Apapun alasannya, tindakan tersebut tidak dapat diterima. Apakah untuk efisiensi, untuk pencegahan fraud (penipuan) apalagi untuk mengatasi defisit kronis BPJS Kesehatan.
Itulah bukti, aturan yang dibuat oleh manusia tidak mendatangkan keadilan dan tidak bisa mensejahterakan manusia karena akalnya terbatas dan asasnya manfaat. Negara lepas tangan, hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator.
Kesehatan dalam Islam.
Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wasallam bersabda “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi penguasa, adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari & Muslim).
Imam atau Khalifah bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan asasi rakyatnya antara lain terkait kesehatan.
Sewaktu Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah mendapat hadiah seorang dokter, yang kemudian ia tugaskan untuk umat Islam, Ini bukti betapa pentingnya arti kesehatan bagi umat.
Negara berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan gratis tidak dipungut sepersenpun untuk semua rakyat tanpa terkecuali, dengan sarana prasarana kesehatan yang memadai dan berkualitas baik. Dalam hal ini negara harus menerapkan konsep anggaran mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan harus terpenuhi. Jika dana tidak mencukupi maka diberlakukan pajak kekayaan pada umat Islam untuk memenuhi defisit anggaran. Demikian syariah mengaturnya.
Hasilnya, rumah sakit, dokter dan para medis tersedia dengan memadai baik di setiap kota maupun desa. Sarana dan prasarana kesehatan berkualitas. Bahkan ada apotik dan klinik berjalan untuk perawatan medis bagi orang-orang cacat dan tinggal di desa ( di masa Khalifah Al Muqtadir Billah).
Sejarah telah mencatat keunggulan kedokteran di masa kekhilafahan.
Dan hal itu hanya bisa diwujudkan dalam institusi yang hanya menerapkan aturan yang datangnya dari Allah (Al Qur’an dan AsSunnah) dalam bingkai Sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhajinn nubuwwah. Wallahu ‘alam bishshawab.[GF]
*Penulis adalah aktivisi Ormas Islam BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim Jember) sebagai Koordinator Bidang Dakwah, member Akademi Menulis Kreatif dan telah menulis sebuah buku “Senja di Jalan Dakwah”