“Sejak sistem pemilu proporsional semiterbuka pada 2004 hingga proporsional terbuka pada 2009, 2014, dan kini 2019, pelibatan perempuan menghasilkan keberdayaan politik,”
Jakarta – Lapan6Online : Minggu (3/2/2019) – Pemilihan Umum 2019 akan dilaksanakan secara serentak. Keserentakan itu akan membuat pemilih mendapatkan lima surat suara sekaligus nanti pada 17 April 2019 datang ke TPS. Pemilih akan mendapatkan surat suara Pemilihan Presiden, Pemilihan DPR, Pemilihan DPD, Pemilihan DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. Hanya Provinsi DKI Jakarta yang pemilihanya akan mendapatkan empat surat suara, karena DKI Jakarta tidak memiliki DPRD Kabupaten/Kota.
Pemilu legislatif menghadirkan banyak sekali calon kepada pemilih. Ada 16 partai politik peserta pemilu pada Pemilu 2019. Oleh sebab itu, perlu upaya dan kreatifitas dari banyak kelompok untuk menghadirkan informasi kepada pemilih. Disamping itu, Caleg Perempuan, Disabilitas, dan Masyarakat Adat sebagai Alternatif untuk Tak “Golput” Partisipasi gerakan masyarakat sipil dalam pencalonan dewan pada Pemilu 2019 bisa bertepuk sebelah tangan dengan adanya kampanye tak menggunakan hak pilih “Golput”.
Menurut Dian Kartika Sari Sekretaris Jenderal KPI mengemukakan padahal, partisipasi pencalonan merupakan sikap berdasar semangat Reformasi Pasca-Orde Baru, aspek kepesertaaan pemilu Indonesia jauh lebih terbuka dalam bentu banyaknya partai politik dan sistem proporsional (daftar calon) terbuka, demikian kemukanya saat diskusi bertajuk “Caleg Perempuan, Disabilitas, dan Kelompok Masyarakat Adat : Alternatif Pilihan untuk Pemilih Golput” di D’Hotel, Jalan Guntur No. 9, Guntur, Jakarta Selatan.
Adapun narasumber saat diskusi dilangsungkan, yakni turut hadir Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal KPI, April Syar, Pegiat PPUA Disabilitas, Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perludem.
“Gerakan perempuan merupakan salah satu kelompok masyarakat sipil yang paling banyak mempengaruhi sistem pemilu Indonesia sejak Reformasi,” Ujarnya.
Untuk itulah, kemukanya stigma buruk perempuan tak mampu berpolitik secara signifikan berhasil berkurang. Akhirnya lahir kebijakan afirmasi perempuan di pemilu, salah satunya pencalonan 30 % perempuan tiap daerah pemilihan DPR/DPRD.
Sementara, Titi Anggraini yang turut hadir mengatakan,”Sejak sistem pemilu proporsional semiterbuka pada 2004 hingga proporsional terbuka pada 2009, 2014, dan kini 2019, pelibatan perempuan menghasilkan keberdayaan politik,” kata Direktur Eksekutif Perludem.
Selain meningkatkan keterpilihan perempuan dari di bawah 10 % menjadi di atas 15 % sebagai anggota DPR, para perempuan yang berpolitik publik ini punya sumber daya elektabilitas bahkan keterhubungan dengan masyarakat pemilih yang dipertimbangkan partai politik untuk pemilu periode berikutnya bahkan pencalonan kepala daerah.
“Gerakan perjuangan hak warga bagi kelompok disabilitas juga tak bisa dilepaskan dari pemilu,” Ungkapnya
Keterlibatan kelompok disabilitas dalam pemilu makin berkembang, dari pengupayaan akses pemilu berupa jaminan hak pilih dan layanan informasi serta akse memilih, kelompok disabilitas juga telah melakukan pengorganisasian sekaligus dukungan untuk mencalonkan anggota dewan DPR/DPRD/DPD Koalisi LSM disabilitas mengupayakan pelibatan pemilu dengan pencalonan 32 warga disabilitas di pemilu legislatif.
Domisilinya di Aceh (2), DKI Jakarta (4), Jawa Barat (3), Jawa Tengah (6), Jawa Timur (1), DI Yogyakarta (3), Kalimantan Barat (1), Kalimantan Timur (4), Sulawesi Selatan (4), Sulawesi Barat (3), dan Papua (1) mencalonkan pada Pemilu DPR, 11 pada Pemilu DPRD Provinsi, dan 17 pada Pemilu DPRD Kabupaten/Kota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga terlibat dalam pencalonan utusan masyarakat adat yang mencalonkan di Pemilu DPR/DPRD/DPD.
Di tahun 2014, ada 38 caleg utusan politik AMAN yang lolos menjadi anggota legislatif. Kerja-kerja elektoral AMAN pada emilu 2014 tercatat berkontribusi dalam memobilisasi total lebih dari 666 ribu suara untu DPRD Kab./Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, dan DPD RI. Di Pemilu 2019 AMAN melakukan pengorganisasi para caleg utusan masyarakat adat untuk masuk DPR/DPRD/DPD agar bisa mempengaruhi kebijakan yang berpihak pada keadilan masyarakat adat.
“Pencalonan kelompok perempuan, disabilitas, dan adat tersebut merupakan bagian dari bentuk nyata perbaikan pemerintahan Indonesia” Ujarnya. Minggu (3/2)
Terbukanya partai politik terhadap kelompok tiga kelompok ini melalui pencalonan baik untuk juga disikapi kita sebagai pemil dengan pertimbangan pilihan.”Apalagi jika di hasil pemilu sebelumnya, ada dewa yang lebih berpihak pada elite disabilitas, dan adat akan lebih kuat berpihak pada pemilih karena diutus/mengatasnamakan kelompoknya,” Lanjutnya.
“Pemilu 2019, bukan cuma Pilpres yang terpilih parpol, para calon dewan dari kelompok perempuan, Kita juga perlu mengingat bahwa, Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak,” Imbuhnya mengingatkan
Artinya, dalam satu hari pemungutan suara pada Rabu, 17 April 2019, pemilih tak hanya memilih calon presiden-wakil presiden (Pilpres) tapi juga calon anggota legislatif di DPR, DPD, dan DPRD Provinsi juga Kabupaten/Kota (Pileg).
Lebih banyak, ajakan atau kampanye mengenai Golput, lebih ditujukan pada pilihan Pilpres Gambaran pengupayaan pencalonan dewan DPR/DPRD/DPD itu bisa mengklarifikasi ajakan atau kampanye Golput di tengah riuh dan kompleksitas pemilu serentak.
“Tak setuju dengan pilihan di Pilpres bukan berarti juga tak setuju dengan pilihan parpol atau caleg untuk Pileg,” Utaranya
Jika ada yang menyimpulkan bahwa himbauan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berbunyi “pilih yang terbaik dari yang terburuk” tak bisa diterima dalam memilih calon presiden-wakil presiden, menurutnya kita bisa mempertimbangkan himbauan itu untuk memilih calon anggota legislatif DPR/DPRD/DPD.”Sangat mungkin ada orang-orang baik atau tak punya jejak rekam buruk termasuk para calon dewan dari kelompok perempuan, disabilitas, dan masyarakat adat,” Pungkasnya. Red/Tim