“Jika partai-partai yang dikalahkan MK, menerima ‘jebakan’ rekonsiliasi, sebagaimana bisik-bisik yang berkembang saat ini, dan seluruh partai sudah terbujuk untuk bagi-bagi kekuasaan, maka saat itulah demokrasi tinggal zombie,”
Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang
Jakarta, Lapan6Online : SAYA tak begitu tertarik untuk mendengarkan keputusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, karena dari pembacaan risalah Majelis Hakim sudah patut diduga dan mendekati kepastian permohonan Pemohon ditolak, semuanya.
Saya menggunakan istilah para Hakim menggunakan kaca mata kuda, menempatkan kepastian hukum sebagai landasan utama, dan hampir semua dalil yang disampaikan tidak memperhatikan rasa keadilan dan manfaat bagi masyarakat.
Tetapi sudahlah, keputusan MK, menurut UU bersifat mengikat dan final (final and binding,red) . Jadi pintu untuk menuntut keadilan dan menampung rasa tidak puas masyarakat sudah tertutup.
Pada mulanya kita berharap, karena Ketua MK dalam pembukaan sidang dan juga pada akhir sidang untuk menyampaikan keputusan Majelis Hakim MK, menyatakan hanya takut pada Allah yang Maha Kuasa, suatu komitmen yang luar biasa untuk memutuskan perkara dengan seadil-adilnya.
Keputusan yang sejujurnya dan seadil-adilnya menurut Majelis Hakim MK adalah menolak seluruh gugatan Pemohon Paslon 02. Prabowo juga menjawabnya dengan menyerahkan kebenaran yang hakiki kepada Allah SWT, karena semua upaya sudah dilakukan.
Antiklimaksnya adalah kekecewaan luar biasa di kubu Prabowo-Sandi, walaupun demikian Prabowo menghormati keputusan MK tersebut. Tetapi Prabowo cukup tegar. Hal tersebut diungkapkannya sesaat sesudah keputusan MK di Markas BPN di Kertanegara.
Prabowo dan Sandi belum menentukan apa langkah konkrit ke depan, sebab akan dikonsolidasikan dengan Tim Hukum dan pendukung Paslon 02.
Setelah pernyataan Prabowo, dilanjutkan dengan pernyataan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, yang intinya mengucapkan terimakasih kepada para pihak yang telah bekerjasama sampai dengan selesainya proses legitimasi Pilpres yang diselenggarakan “secara jujur dan adil”.
Yang menarik, kedua Presiden dan Wakil Presiden baru tersebut menyatakan tidak ada lagi istilah Paslon 01 dan 02. Mereka itu adalah Presiden dan Wakil Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia.
Luka hati rakyat yang kecewa dengan keputusan MK tersebut, terasa semakin dalam. Bayangkan tidak ada satupun dalil-dalil kecurangan yang terjadi dalam Pemilu yang diajukan ke pengadilan masuk ke dalam hati dan pikiran para Hakim dengan berbagai alasan dan pertimbangan hukum yang tidak banyak dimengerti oleh rakyat itu sendiri.
Keputusan MK tersebut sudah mematikan demokrasi yang dijamin oleh Konstitusi dan menjadi perjuangan reformasi 20 tahun yang lalu. Karena keputusan bersifat final dan mengikat (final and binding) yang berarti bahwa upaya hukum lainnya untuk mencari keadilan sudah tertutup. Tidak ada jalan lain bagi para partai politik pendukung Paslon 02, bersama rakyat yang kecewa, kecuali beroposisi.
Tidak ada rekonsiliasi, karena akan mereduksi semangat demokrasi dan melumpuhkan oposisi. Semua kita tahu, ujung dari rekonsiliasi itu wujudnya adalah bagi-bagi kekuasaan. Partai pendukung Prabowo dan Sandi harus berani beroposisi, karena oposisi tidak melanggar UU Dasar 1945. PDIP telah membuktikan posisi itu selama 10 tahun yaitu selama periode SBY 2004-2014.
Bayangkan, bagaimana tegarnya Ibu Megawati selama 10 tahun bertahan untuk tidak tergiur dengan jabatan kekuasaan di pemerintahan Presiden SBY.
Selama 10 tahun PDIP mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY, bahkan tidak bertegur sapa dengan SBY, tetapi pada waktu yang sama melakukan konsolidasi partai dan merebut jabatan-jabatan Gubernur, Bupati, Walikota di Propinsi dan Kabupaten/Kota. PDIP sendirian beroposisi, mereka tidak peduli, jalan terus, akhirnya bertemu dengan petugas partai bernama Jokowi, dan 2014 berhasil diorbitkan menjadi Presiden, sampai sekarang periode kedua.
Partai Opisisi
Mengapa perlu ada partai yang beroposisi. Jawaban paling utama adalah untuk check and balances. Ada mekanisme kontrol yang jelas dan transparan untuk melindungi hak-hak sipil rakyat, terpeliharanya demokrasi Pancasila dan menghindari pemerintahan otoriter.
Dari perjalanan politik setahun belakangan ini, mungkin Partai Gerindra dan PKS diharapkan rakyat. Khususnya lebih dari 60 juta yang memilih Prabowo-Sandi, untuk menjadi partai oposisi baik di Parlemen maupun di Pemerintahan Pusat.
Apalagi jika PAN dan Demokrat bergabung untuk oposisi, maka check and balances dapat terjaga. Jika empat partai ini beroposisi dan mengawal kepentingan rakyat tanpa pamrih, tidak untuk kepentingan mendapatkan kekuasaan (untuk sementara waktu) sampai Pemilu berikutnya, diharapkan perubahan akan terjadi.
Jika partai-partai yang dikalahkan MK, menerima ‘jebakan’ rekonsiliasi, sebagaimana bisik-bisik yang berkembang saat ini, dan seluruh partai sudah terbujuk untuk bagi-bagi kekuasaan, maka saat itulah demokrasi tinggal zombie.
Jika seluruh partai yang ada di Parlemen menjadi partai pemerintah, maka saat itulah kekuasaan itu tidak lagi bisa terkontrol. Berbagai kebijakan pemerintah akan berpihak pada kekuasaan, dan elite politik, serta para pengusaha-pengusaha pendukung rezim.
Akibatnya adalah Pemerintah dan para elite politik akan berhadapan dengan rakyat yang kecewa, dan ingin perubahan. Jika pemerintah tidak mendapatkan dukungan dan kepercayaan dari rakyatnya, maka hakekatnya Pemerintahan itu sudah berakhir.
Para partai pendukung Paslon 02, yakinlah dengan membuat kebijakan politik untuk beroposisi, di parlemen berjuang untuk melakukan kontrol sesuai dengan fungsi dan tugas parlemen. Bela kepentingan rakyat. Lawan jka ada kebijakan regulasi yang merugikan rakyat. Walaupun suara kalah, rakyat tentu mengetahui perjuangan para wakil mereka di parlemen.
Partai-partai oposisi (mudah-mudahan Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat) konsolidasi untuk merebut kekuasaan di Pilkada, sehingga dapat memperoleh suara untuk mendudukkan Gubernur, Bupati dan Walikota yang berpihak pada kepentingan rakyat.***
*Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik-Dosen FISIP UNAS
*Sumber : radarindonesianews.com