Dalam Demokrasi, Haram Berubah Menjadi Halal

0
561
“Dengan alasan meningkatkan ekonomi rakyat, mereka legalkan minuman keras. Yang dipikirkan bagaimana masyarakat diberdayakan. Caranya, masyarakat lokal didukung pemerintah daerah memproduksi miras. Dengan demikian, dari penjualan dan peredarannya ada nilai ekonomi,”

Oleh : Eva Rahmawati

Lapan6Online.com : Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerjasama dengan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang hari ini resmi meluncurkan minuman keras (miras) lokal yang diberi nama, Sophia (Sopi asli).

“Saya berterima kasih kepada Undana yang telah melakukan riset minuman khas NTT yang akan bersaing dengan jenis alkohol daerah lain,” kata Gubernur NTT, Viktor Laiskodat saat peluncuran miras Sophia di Kampus Undana, Rabu,19 Juni 2019. Ia menyebutkan tujuan utama pemberdayaan minuman lokal ini untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. (TEMPO.CO, 19/6/19)

Sebelumnya, Kapolda Nusa Tenggara Timur (NTT) Irjen Polisi Raja Erizman, mendukung Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, yang melegalkan pembuatan minuman keras (miras) di wilayah itu. Menurut Erizman, produksi minuman keras yang dimaksud yakni moke di Pulau Flores dan Sopi di Pulau Timor. (KOMPAS.com, 6/12/18)

Miris. Mayoritas penduduk negeri ini beragama Islam. Tapi salah satu provinsinya dengan bangga melegalkan minuman keras. Lebih miris lagi, kebijakan tersebut didukung oleh aparat keamanan. Padahal semua tahu, bahwa minuman keras merupakan sumber kejahatan. Mengapa hal ini terjadi?

Dalam negara yang menganut sistema kapitalisme, hal tersebut sah-sah saja. Legal. Walaupun mayoritas beragama Islam, tapi aturan Islam tidak dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Yang bisa dipraktikkan hanya ranah individu saja, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.

Sedangkan dalam ranah sosial dan negara, tidak bisa dijalankan. Dalam hal ini adalah negara tidak bisa melarang segala jenis produksi dan peredaran minuman keras. Hal ini dikarenakan dasar sistem kapitalisme adalah sekularisme. Sehingga, agama (Islam) tidak mempunyai peran dalam mengatur kehidupan. Alhasil, standar perbuatannya bukan halal dan haram tapi asas manfaat.

Dengan alasan meningkatkan ekonomi rakyat, mereka legalkan minuman keras. Yang dipikirkan bagaimana masyarakat diberdayakan. Caranya, masyarakat lokal didukung pemerintah daerah memproduksi miras. Dengan demikian, dari penjualan dan peredarannya ada nilai ekonomi. Tak bisa dipungkiri, minuman keras memang ada manfaatnya secara duniawi.

Namun, mudharatnya lebih besar jika dibandingkan dengan manfaatnya. Ada keuntungan finansial, tapi dampak negatifnya akan selalui mengintai. Kebijakan ini adalah kebijakan yang parsial. Satu manfaat didapat yaitu dalam aspek ekonomi. Namun, dalam beberapa aspek yang lain justru merugikan. Bahkan bisa merusak tatanan kehidupan masyarakat.

Dilihat dari aspek kesehatan, mengkonsumsi miras berdampak buruk bagi kesehatan, baik kesehatan fisik maupun psikis, parahnya menyebabkan kecanduan hingga kematian. Tak lama setelah diluncurkan, minuman keras jenis Sopi memakan korban. Dilansir oleh KOMPAS.com (25/6/19), Leonard Tari (40), ditemukan tewas di dalam rumahnya. Leonard merupakan warga Desa Penfui Timur, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). “Leonard tewas di dalam kamarnya diduga karena meneguk minuman keras jenis sopi,” kata Kasubag Humas Polres Kupang Iptu Simon Seran.

Belum lagi dalam aspek keamanan, minuman keras merupakan pangkal berbagai macam kejahatan. Pada malam tahun baru seorang bocah 2 tahun menjadi korban perkosaan dan pelakunya dalam pengaruh minuman beralkohol. (lihat, KOMPAS.com, 1/1/19).

Berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan salah satunya adalah suami yang ‘hobi minum’.

Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk. (Infopublik.id)

Melihat dampak buruk tersebut, minuman keras seharusnya tidak diproduksi dan wajib diberantas tuntas. Meningkatkan ekonomi masyarakat bisa dilakukan dengan cara yang lebih bijak. Misal, berdayakan masyarakat lokal untuk mengolah tanah-tanah pertanian, perkebunan, atau dengan membuka lapangan pekerjaan baru.

Tentunya dengan dukungan penuh dari pemerintah. Tak perlu lagi memproduksi minuman keras. Namun, di alam demokrasi hal tersebut mustahil dilakukan. Buktinya, pemerintah justru turut dalam bisnis haram tersebut.

Dilihat dari aspek agama, ternyata larangan mengkonsumsi minuman keras bukan hanya dalam Islam saja, tapi semua agama telah melarangnya. Menurut Ustaz Zainur Ridwan, satu-satunya agama yang menghalalkan alkohol dan miras adalah agama uang (The Religion of Money). (www.nahimunkar.org)

Tak Ada Tempat Bagi Minuman Keras Dalam Sistem Islam
Sistem Islam bersumber dari wahyu Ilahi. Islam mempunyai seperangkat aturan yang lengkap. Mampu memberikan kemaslahatan bagi manusia. Di samping mengatur hubungan dengan al-Khaliq (akidah dan ibadah), Islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik, dsb) dan manusia dengan dirinya (makanan, minuman, pakaian dan akhlak).

Dalam hal makanan dan minuman, kita diperintahkan untuk makan dan minum yang halal dan toyib saja. Wajib bagi kita menjauhi makanan dan minuman yang diharamkan, termasuk di dalamnya memakan atau meminum hal yang memabukkan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.;

“Setiap yang memabukkan adalah haram, dan apa saja yang banyaknya dapat memabukkan, maka sedikitnya (juga) haram.” (HR. Ibnu Majah).

Islam juga dengan tegas mengharamkan khamr/miras. Allah Swt berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan. (TQS. al-Maidah: 90)

Rasulullah Saw. juga sudah memperingatkan:
Jauhilah khamr, karena sesungguhnya ia adalah kunci semua keburukan. (HR. al-Hakim dan al-Baihaqi)

Islam juga mengharamkan semua hal yang terkait dengan khamr (miras), termasuk produksi, penjualan, kedai dan hasil darinya, dsb. Rasul saw. bersabda:

Allah melaknat khamr dan melaknat orang yang meminumnya, yang menuangkannya, yang memerasnya, yang minta diperaskan, yang membelinya, yang menjualnya, yang membawakannya, yang minta dibawakan, yang makan harganya. (HR. Ahmad)

Karena itu sistem Islam akan melarang produksi khamr (miras), tidak seperti dalam sistem demokrasi kapitalisme, negara justru berperan dalam memproduksi dan memfasilitasi peredaran barang haram tersebut.

Dalam sistem Islam, negara akan melarang penjualan miras, tempat-tempat yang menjualnya, peredarannya, dsb. Orang yang melanggarnya berarti melakukan tindakan kriminal dan dia harus dikenai sanksi ta’zir.

Dengan semua itu, syariah Islam menghilangkan pasar miras. Tak ada celah sedikitpun untuk produksi miras, penjualan, peredarannya dan tempat penjualannya di tengah masyarakat. Dengan itu Islam menutup salah satu pintu semua keburukan. Islam menjaga dan menyelamatkan umat dari bahaya yang mungkin timbul karena khamr.

Dengan demikian, tak ada tempat bagi minuman keras dalam sistem Islam. Sehingga impian kita untuk mewujudkan masyarakat yang tenteram, bersih, bermartabat dan bermoral tinggi akan tercapai. Wallahu a’lam bishshowab. GF/Red

*Penulis adalah Pemerhati masalah social
*Sumber : Radarindonesianews.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini