Untuk Papua Barat, Kota Sorong Tertinggi Kasus HIV/AIDS

0
366
“Tujuan penanggulangan HIV yaitu 3 zero 2030, dimana diharapkan tahun 2030 tidak ditemukan lagi infeksi baru HIV atau kasus baru. Memang kalau dilihat dari data bukannya berkurang tapi justru meningkat. Melalui penanggulangan HIV, tahun 2030 tidak ada lagi orang meninggal karena AIDS dan 2030 tidak ada lagi diskriminasi terhadap ODHA,”

Sorong/Papua Barat, Lapan6Online : Kasus HIV/AIDS di Kota Sorong ibarat fenomena gunung es. Saat ini Kota Sorong masuk dalam kawasan epidemi meluas, dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Propinsi Papua Barat. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Sorong, jumlah pengidap HIV/AIDS tahun 2018 di Kota Sorong sebanyak 2307 kasus.

Hal ini sebagaimana disampaikan Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota Sorong Jenny Isir, SKM dalam diskusi terkait Establishment Networking With Media Lokal dengan Organisasi Perubahan Sosial (OPS) Indonesia, yang berlangsung di Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Kota Sorong, pada Kamis (8/8/2019).

“Tujuan penanggulangan HIV yaitu 3 zero 2030, dimana diharapkan tahun 2030 tidak ditemukan lagi infeksi baru HIV atau kasus baru. Memang kalau dilihat dari data bukannya berkurang tapi justru meningkat. Melalui penanggulangan HIV, tahun 2030 tidak ada lagi orang meninggal karena AIDS dan 2030 tidak ada lagi diskriminasi terhadap ODHA,” tegasnya seraya menambahkan saat ini diskriminasi terhadap ODHA masih tinggi.

Menurut Jenny yang juga merupakan Sekretaris KPA Sorong, selama ini banyak hal sudah dilakukan untuk penanggulangan HIV. Misalnya, KPA melakukan pertemuan tiap bulan dengan pekerja seks komersil untuk memberikan edukasi agar menjaga kesehatan dan rutin melakukan pemeriksaan serta pengobatan.

“Jumlah kasus di Kota Sorong tinggi bukan berarti tidak ada upaya yang dilakukan untuk penanggulangan HIV. Justru itu menunjukkan program penanggulangan di kota sorong berjalan baik makanya banyak ditemukan kasus. Angka tinggi belum tentu pelayanan tidak baik, tapi justru merupakan keberhasilan program. Ini menunjukkan semua bekerja, baik LSM penjangkau, LSM pendamping dan pusat layanan sudah bekerja maksimal,” pungkasnya seraya menambahkan jumlah kasus HIV di Kota Sorong diibaratkan sebagai fenomena gunung es yang sudah terangkat.

Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kota               Sorong Jenny Isir, SKM. Foto2 : Dok.TN

Dirincikannya, jumlah penderita HIV sebanyak 1477 kasus, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 657 kasus dan perempuan 820 kasus. Kemudian penderita AIDS 830 kasus, yang terdiri dari laki-laki 460 kasus dan perempuan 370 kasus. Jadi total keseluruhan HIV/AIDS sebanyak 2307 kasus. Sedangkan yang meninggal karena menderita HIV/AIDS sebanyak 318 kasus, yang terdiri dari laki-laki 194 kasus dan perempuan 124 kasus.

“Berdasarkan kelompok usia, kasus HIV/AIDS tertinggi berada pada usia 20-29 tahun yakni sebanyak 833 kasus. Kemudian usia 30-39 tahun sebanyak 679 kasus, usia 40-49 tahun sebanyak 381 kasus, usia 50-59 tahun sebanyak 110 kasus dan diatas usia 60 tahun sebanyak 101 kasus,” ungkap Jenny seraya menambahkan ada juga usia dibawah 1 tahun sebanyak 7 kasus, usia 1-4 tahun sebanyak 24 kasus, usia 5-14 tahun sebanyak 34 tahun dan usia 15-19 tahun sebanyak 138 kasus.

“Penderita HIV/AIDS dengan jumlah kasus terbanyak adalah Pegawai Swasta yakni 684 kasus dan urutan kedua adalah Ibu Rumah Tangga (IRT) yakni 517 kasus,” bebernya.

Menurut Jenny, untuk cakupan layanan HIV di Kota Sorong tahun 2018, orang yang datang berkunjung ke layanan baik rumah sakit maupun puskesmas untuk memeriksakan diri sebanyak 6563 orang. Sementara orang yang mau dites HIV sebanyak 5130 orang, yang HIV positif sebanyak 102 orang. Kemudian ibu hamil yang dites HIV sebanyak 2503 orang dan bumil yang positif HIV sebanyak 16 orang.

Katanya, masih tingginya jumlah kasus HIV/AIDS di Kota Sorong disebabkan oleh beberapa permasalahan. Yaitu kurangnya kepedulian masyarakat terhadap penanggulangan HIV, masih tingginya stigma dan diskriminasi di masyarakat, adat dan budaya yang masih kuat. Kemudian banyaknya ODHA yang putus atau berhenti mengkonsumsi obat ARV, masih ada ODHA yang lebih percaya obat ramuan tradisiona ketimbang obat ARV dan ada populasi kunci yang sulit dijangkau dan sangat tertutup. IM/Irianti/Red

*Sumber : teropongnews.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini