“China meningkatkan sinyal dan pesan yang ingin disampaikan cukup jelas: jika protes meningkat lebih lanjut, angkatan bersenjata China akan turun tangan,”
Jakarta, Lapan6online.com – Memanasnya situasi politik di Hong Kong yang dipicu demonstrasi besar-besaran kelompok pro-demokrasi yang anti pemerintah China membuat geram pemerintah dan militer Beijing.
Merespon aksi demonstrasi yang tak berkesudahan, Pemerintah China menyiapkan lebih dari 100 kendaraan militer yang diparkir di stadion sepak bola di Shenzhen, wilayah perbatasan dengan Hong Kong.
Hal ini terlihat dalam foto satelit yang diunggah The Associated Press (AP) usai Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa China sedang mempersiapkan pasukan di perbatasan Hong Kong.
Sebelumnya, Global Times, media yang dikelola China menerbitkan kompilasi rekaman yang menunjukkan truk-truk militer berkumpul di Shenzhen sebelum melakukan latihan huru-hara.
Mengutip rmol, Video tersebut menunjukkan 12.000 pengangkut personel lapis baja, truk, dan kendaraan lain milik Angkatan Kepolisian Bersenjata Rakyat Tiongkok, pasukan paramiliter yang bertanggung jawab atas pengendalian kerusuhan dan kontraterorisme, berparade di jalan-jalan kota Shenzhen.
Senada dengan Global Times, AP juga melaporkan foto yang memperlihatkan lebih dari 100 kendaraan yang tampak seperti truk besar berkumpul di stadion sepak bola di Shenzhen Bay Sports Center. Foto tersebut diketahui diambil pada hari Senin (12/8).
Menurut peneliti kebijakan luar negeri dan keamanan China, Adam Ni, tampilan militer China adalah peringatan kepada Hong Kong tentang kesiapan tempur China.
“China meningkatkan sinyal dan pesan yang ingin disampaikan cukup jelas: jika protes meningkat lebih lanjut, angkatan bersenjata China akan turun tangan,” tulis Ni seperti dilansirBussiness Insider, Rabu (14/8).
Kehadiran militer terus meningkat di Shenzhen satu minggu setelah pengunjuk rasa memaksa Bandara Internasional Hong Kong ditutup dan membatalkan ratusan penerbangan.
Unjuk rasa di Hong Kong sendiri terjadi karena banyak orang di sana berpikir bahwa RUU Ekstradisi melanggar perjanjian satu negara, dua sistem yang sudah ada sejak 1997.*