“Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mahal dan berbiaya tinggi dalam implemetasi. Mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Agus Rahardjo, menilai bahwa tingginya biaya politik menjadi alasan kuat pendorong demokrasi Indonesia prosedural dan transaksional,”
Oleh : Ammylia Rostikasari, S.S
Lapan6Online : Demokrasi merupakan sebuah tema yang tidak akan ada habisnya untuk diskusikan. Demokrsi adalah sebuah sistem pemerintahan yang secara teoritis berada di tangan rakyat., dengan adagium yang kita kenal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Di balik prinsip yang seolah memihak rakyat, ternyata demokrasi rentan dan kerap kali mencederai nurani rakyat. Tak usah heran jika kemudian terjadi penyelewengan di unsur-unsur kelembagaan.
Lembaga legislatif berwenang menelurkan UU guna diterapkan oleh eksekutif. Dalm konteks politis, keduanya baik lembaga legislatif ataupun eksekutif berpeluang besar untuk berkolaborasi untuk menyusun peraturan yang lebih pro pada kepntingan kedua belah pihak tanpa memperhatikan aspirasi rakyat.
Tak dapat pula dinafikkan bahwa demokrasi adalah sebuah sistem politik yang mahal dan berbiaya tinggi dalam implemetasi. Mantan Ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Agus Rahardjo, menilai bahwa tingginya biaya politik menjadi alasan kuat pendorong demokrasi Indonesia prosedural dan transaksional.
Mengingat untuk naik jadi pejabat publik sekelas bupati saja, seorang bakal calon harus menggelontorkan uang hingga puluhan miliar. Wajar saja jika ada anak bangsa yang berkemampuan dan layak menjadi wakil rakyat atau pemimpin, sering tersisih karena modalnya yang tipis. Sensasi demokrasi memang sangat berbiaya tinggi.
Dalam praktik politik, sering kita temukan kerjasama antara calon pemimpin dengan kapitalis alias si pemilik modal. Tak ada makan siang yang cuma-cuma. Maka jika naik ke kursi tampuk kekuasaan, ia akan mencari segala cara agar pinjaman kepada pemilik modal terbayarkan. Sebagai sebuah konsekwensi tidak tertulis, berefk pada kebijakan yang tak lepas dari intervensi pihak yang membiayai.
Kondisi semacam ini memang buka rahasia lagi. Meminjam prkataan Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarya, Ayzumardi Azra dalam sebuah forum, demokrasi kita ini semakin transaksional dan semakin koruptif.
Mantan Rektor UIN, Komaruddin Hidayat, menilai demokrasi di Indonesia memang berjalan, tapi sistemnya ini justru dibajak oleh partai politik. Kedaulatan rakyat diwujudkan melalui pemilihan umum, tapi jurang lebar yang memisahkan pemilih dan yang dipilih.
Nasib rakyat tak ubahnya seperti yang dilukiskan sebuah peribahasa, “Habis manis sepah dibuang”. Saat jelang pemilu rakyat disayang tapi sehabis calon menang, nasib rakyat dibuat malang. Hak rakyat dicederai, kewajiban penguasa terhadap rakyat belum mampu dipenuhi dengan sebaik-baik pemenuhan. Janji hanya tinggal janji dan tidak satupun yang ditepati sehingga kemudian menimbulkan rasa antipati terhadap pemimpinnya sendiri.
Jeffrey A Winters dalam bukunya Oligarchy memosisikan oligarki dalam dua dimensi. Pertama, oligarki dibangun atas kekuatan modal kapitalis yang tiada terbatas. Efeknya penguasaan serta pendominasian oleh kapitalis kepada simpul kekuasaan akan sarat dilakukan. Kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Inilah potret demokrasi yang jelas terampang di negeri ini.
Demokrasi memang sudah cacat dari kelahirannya sehingga ia tumbuh menjadi sistem yang tak ideal untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Sumber kelahirannya dari hasil kompromi logika manusia yang penuh dengan segala keterbatasan. Tak usah heran jika hadirnya akan menuai kontroversi yang mencederai umat manusia.
Jika perubahan ingin diraih oleh negeri ini, tak cukup hanya mengganti personal penguasanya saja. Sebagi fakta empiris yang kita alami bahwa pemimpin dari latar belakang yang berbeda, seperti TNI, ulama sampai teknokrat belum juga memberikan perubahan signifikan sebagaimana yang gaungkan dalam kredo demokrasi,”Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Sebagai manusia, juga sebagai seorang Muslim yang mengimani Allah sebagai sosok Pencipta dan Pembuat hukum, dorongan keyakinan itu akan menuntun manusia untuk mentadaburi kitab sucinya, yaitu Al Quran dan penjelasnya dalam Sunah Rasulullah Saw.
Allah telah dengan terangnya menjabarkan bahwa ajaran Islam mencakup sebagai agama juga pandangan hidup yang sempurna yang mencakup seluruh aspek kehidupan mulai dari bangun tidur sampai pada bangun negara.
Demokrasi yang selalu menempuh jalur kompromi dalam semua lini, kerap kali menimbulkan perselisihan karena penggodogan dan pembuatan hukum sangat kental dengan motif kepentingan segelintir elite politik dan korporasi.
Berbeda dengan sistem Islam yang memiliki standar begitu jelas mengenai hukum yang harus diterapkan. Tak lain karena motif keimanan dan ketakwaan yang mesti membumi dalam penerapan hukum-hukum Allah Subhanahu wata’ala yang dirisalahkan Muhammad Saw.
Jelas adanya penerapan hukum tersebut menertibkan dan mengikat umat Islam dan siapa saja yang menjadi warga negara dalam sebuah kepemimpinan Islam tanpa memaksa mereka untuk berislam dari segi keyakinannya.
Dengan begitu, seluruh rakyat tak terkeculi, merasakan kehidupan dalam naungan keamanan, keadilan, juga kesejahteraan karena penerapan aturan dari yang Mahasempurna. Begitu pun dalam pemberlakuan sistem sanksinya, baku tak berubah-ubah seperti sistem demokrasi yang gemar merevisi UU. Islam itu efektif dan efisien.
Efektifitas dan efisiensi Islam sungguh menakjubkan dan pernah mewarnai lembaran-lembaran sejarah dunia lebih dari 13 abad lamanya. Tercatat sebagai negeri adidaya yang melintas wilayah sampai benua.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al Araf:54). GF