Mr. Kan Sebut Soal Nyindir Alias Kritik Tak Menyimpang Konstitusi UUD 1945

0
33
“Apabila pemerintahan kekuasaan anti kritik, seperti menangkap pengkritik dan diproses hukum, maka kekuasaan tersebut menyimpang dari amanat konstitusi UUD 1945 dan asas negara demokrasi serta menyimpang dari UU RI nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan menyimpang dari UU RI nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,”

Jakarta, Lapan6Online : Pengamat hukum dan politik Mr. Kan menyebut pejabat publik dan pemerintah yang tidak menerima dikritik telah menyimpang dari amanah dan konstitusi UUD 1945. Hal itu dikatakannya melalui rekaman video dirinya yang dikirim ke redaksi Lapan6online.com, pada Jumat (11/10/2019).

Ia juga memberikan pengertian dan makna “menyindir” adalah “mengkritik,” apabila pemerintahan kekuasaan anti kritik, seperti menangkap pengkritik dan diproses hukum, maka kekuasaan tersebut menyimpang dari amanat konstitusi UUD 1945 dan asas negara demokrasi serta menyimpang dari UU RI nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan menyimpang dari UU RI nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

“Apabila pemerintahan kekuasaan terus melakukan hal demikian, berarti dapat diduga negara telah dikuasai oleh suatu badan dan dapat diduga suatu badan tersebut sedang melakukan suatu penekanan untuk membangun suatu sistem sangat buruk yang berpotensi membawa negara dan bangsa ke arah suatu kehancuran yang sangat mengerikan. “Ucap Mr Kan.

Oleh sebab itu, apabila hal demikian terus terjadi, ia mengkuatirian Indonesia akan menjadi Negara yang tidak mengedepankan tatanan demokrasi, “kita sebagai rakyat harus sadar dan lakukan sesuatu untuk dan agar dapat merubah sistem buruk tersebut, sehingga kita dapat menyelamatkan negara dan bangsa dari suatu kehancuran yang mengerikan, serta demi negara yang maju dan rakyat yang makmur. “Ulasnya.

Dijelaskannya terkait nyinyiran ke 2 istri dari TNI AD yang diduga melakukan postingan menyindir Wiranto dan berakibat pencopotan jabatan ke 2 TNI aktif sekaligus dilakukan penahanan 14 hari, Mr Kan memaparkan bahwa hanya pengadilan yang berhak memutuskan hukuman pidana terhadap terdakwa.

“Apabila seseorang dinyatakan bersalah dan dijatuhi atau dikenakan hukuman harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Incracht van gewijsde) dan mengikat para pihak (inter parties) apakah Kasus kedua istri Dandim yang diberikan sanksi terhadap suaminya sudah lewat proses hukum di Pengadilan? Semua aparatur penegak hukum wajib mengutamakan asas praduga tak bersalah (Presumption of innocent). “Paparnya.

Ia juga merinci pendapatnya soal pandangan hukum atas kasus dalam berita tersebut. Meski diakuinya ini tidak ada kaitan berpihakan, namun dikatakan Mr Kan, hal itu demi turut serta pertisipasi mengutamakan nilai-nilai hukum yang pasti dan adil.

“Dari postingan kasus tersebut yang saya baca, saya tidak melihat adanya muatan unsur pidana yang dapat dipenuhi berdasarkan Pasal 28 UU RI No.19 tahun 2016 atas perubahan UU RI No.11 Tahun 2008 Tentang ITE, dimana Pasal 28 Ayat (1): Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. “Jelasnya.

Untuk di Ayat (2) juga berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Mr. Kan menyebut sangat tidak mengena apa yang dituduhkan kepada ke 2 istri Dandim tersebut.

Ia menguraikan penafsiran secara logika hukum pidana pada Pasal 28 ayat 1, petama, unsur pidana yang mesti dipenuhi adalah disebut “berita bohong” maka harus ada berita aslinya atau berita sesungguhnya, sedangkan postingan tersebut tidak ada makna yang berbeda terbalik, kedua berita bohong dan menyesatkan, siapa yang disesatkan? Seperti apa bentuk atau wujud penyesatannya? Kemudian ketiga, mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, apakah ada menimbulkan kerugian konsumen (pemakai) dalam transaksi elektronik? Di mana, siapa, dan kapan?

Penafsiran secara logika hukum pidana pada pasal 28 ayat 2, pertama, unsur pidana yang mesti dipenuhi adalah “yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu,” secara spesifik ditujukan kepada siapa? Siapa spesifik individu tersebut? Siapa spesifik kelompok masyarakat tertentu tersebut? Kedua, berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Secara spesifik Suku apa? Ras apa? Antargolongan yang mana?

“Menurut pendapat hukum dari saya secara logika hukum pidana, perbuatan tersebut tidak adanya muatan unsur pidana yang dapat dipenuhi berdasarkan Pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 UU ITE. Sehingga berdasarkan asas legalitas, kontruksi hukum atas dugaan peristiwa pidana tersebut tidak dapat dilanjutkan. (Nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali / tiada suatu perbuatan dapat dipidana tanpa didahului oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, “ pungkasnya. Red/Op

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini