“Kritik dianggapnya sebagai sesuatu yang mengusik, akhirnya siapapun yang mengkritik langsung tangkap,”
Oleh : Riyanti, S.H
Lapan6Online : Tragedi penusukan Menko Polhukam pak Wiranto yang terjadi di Pandeglang, Banten Kamis (10/10/2019), mengundang banyak reaksi dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari akademisi, aktivis, mahasiswa hingga warga biasa. Mereka berekspresi lewat dunia nyata dan dunia maya alias sosial media.
Dalam sistem demokrasi, menyampaikan sebuah pendapat atau mengkritik adalah sebuah kebebasan dan termasuk Hak Asasi Manusia. Hal ini tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
Namun belakangan ini, sisi demokratis Indonesia seolah tumbang. Kebebasan berpendapat tak lagi menjadi identitas. Akhirnya banyak korban berjatuhan ketika masyarakat mengkritik atau menyampaikan pendapat pada pemerintah yang berkuasa. Pemerintah seolah ambigu pada peraturan yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh kasus Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan mengatakan, aturan mengenai kode etik dan disiplin PNS diatur dalam peraturan presiden (PP). ASN yang terbukti menyebarluaskan ujaran kebencian dan berita palsu masuk dalam kategori pelanggaran disiplin.
Penjatuhan hukuman disiplin diberikan dengan mempertimbangkan latar belakang dan dampak perbuatan yang dilakukan ASN tersebut, di mana hukuman diberikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) masing-masing instansi. Tingkat hukuman disiplin terdiri dari hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. (Kompas.com)
PNS dibungkam seolah tak boleh berekspresi dengan bebas. Mengkritik penguasa bisa dijadikan delik pidana. Akhirnya jabatan menjadi tumbal yang harus dikorbankan.
Berita terbaru yang dilansir dari kontan.co.id bahwa tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena tindakan istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.
Hal ini menjadi penguat fakta bahwa rezim saat ini tidak siap kritik. Kritik dianggapnya sebagai sesuatu yang mengusik, akhirnya siapapun yang mengkritik langsung tangkap.
Indonesia sudah benar-benar kehilangan identitasnya sebagai negara yang menganut sistem kebebasan berpendapat. Demokrasi semacam ini akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini, kekuasaan hanya menjadi alat kepentingan individu atau kelompok.
Sangat berbeda dengan Islam, kritik merupakan muhasabah lil hukam (Muhasabah atas pemerintah). Tidak pandang bulu siapa yang mengkritik dan apa yang disampaikan, terpenting apa yang disampaikan berstandar syariat Islam. Para pemimpin saat itu sangat terbuka, menerima semua kritik yang datang dari rakyatnya.
Sebgai misal, Khalifah Umar bin Khattab pernah menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Begitupun pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233.
Berderet kisah di atas dan kisah serupa yang tak disebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kritik dan nasehat terhadap penguasa merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari syariah yang agung. Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum yang diterapkan memanglah hukum terbaik yakni hukum buatan Allah yang Maha Sempurna. Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Nasehat dan kritik adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar pemimpin tak tergelincir pada keharaman dan jatuh pada murka Allah.
Rasulullah Saw bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat:
قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ
“Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah saw menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ (HR. Imam Ahmad)
Maka hanya penguasa yang tidak memahami Undang-Undang saja yang merasa terusik ketika banyak orang yang mengkritik. Menutupi kesalahan pribadi dengan membungkam mulut lawannya hanya agar terlihat bijaksana di mata tuannya. Wallahua’lam bishowab. GF
*Penulis adalah Anggota Akademi Menulis Kreatif (AMK) Banten