“Tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal,”
*Oleh : Hasni Tagili, M. Pd
Lapan6Online : Dikutip laman liputan6.com (16/11/2019), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mendorong penerapan sertifikat pernikahan untuk calon pengantin baru. Sertifikasi rencananya mulai diterapkan pada 2020.
Pasangan yang akan menikah wajib mengikuti pelatihan tentang keluarga samara, ekonomi keluarga, hingga kesehatan reproduksi. Program ini diharapkan dapat menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting, dan meningkatkan kesehatan keluarga.
*Menyoal Sertifikasi Pra Nikah*
Sebelum wacana sertifikasi pra nikah bergulir, sudah ada sosialisasi pernikahan melalui suscatin (kursus calon pengantin) yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA). Namun, layanan ini dinilai masih harus disempurnakan dengan melibatkan sejumlah kementerian terkait dalam memberikan pembekalan.
Selama ini, KUA hanya menjelaskan tentang tujuan pernikahan, serta hak dan kewajiban suami-istri kepada calon mempelai sebelum acara pernikahan. Sementara, sertifikasi persiapan perkawinan akan memberikan pengetahuan yang lebih komprehensif kepada calon mempelai mulai dari kesehatan reproduksi, pencegahan terhadap berbagai macam penyakit, persiapan menjelang kehamilan hingga cara merawat anak.
Wacana ini pun mendapat dukungan dari berbagai pihak, salah satunya yaitu Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha’i. Dalam laman Tempo.co, (14/11/2019), ia mengaku setuju dengan rencana pemerintah mewajibkan sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Imam menilai, wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan.
Meski demikian, ada pula yang menolak wacana ini. Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari PKB, Marwan Dasopang, salah satunya.
Dalam laman Tempo.co, (19/11/2019), Marwan khawatir program ini bisa jadi ladang korupsi baru. Untuk itu, Marwan meminta pemerintah tidak menggunakan alasan mengurangi tingkat perceraian dan menurunkan angka stunting, untuk mengadakan program sertifikat layak kawin ini. Toh, kata dia, tidak ada jaminan bahwa dengan sertifikasi, pasangan suami-istri akan terhindar dari perceraian.
Solusi kah?
Di era kapitalistik saat ini, ketahanan keluarga tak cukup disiapkan oleh individu dengan tambahan pengetahuan dan keterampilan, tapi membutuhkan daya dukung negara dan sistemnya yang terintegrasi untuk menanamkan takwa kolektif, iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis, serta peran media yang steril dari nilai liberal.
Betapa tidak, calon pengantin terkesan menerima materi sertifikasi pernikahan dalam waktu instan, sedangkan hari-hari biasanya pemerintah tetap membiarkan sekularisasi terjadi. Maka bisa saja, peserta hanya menjalani sertifikasi semata-mata demi sertifikat agar bisa menikah, sedangkan kualitas pemahaman tidak diperhatikan lagi.
Lihat saja kurikulum pendidikan kita saat ini, kebanyakan fokusnya tidak menyentuh ruhani. Maka tidaklah mengherankan tumbuh nuansa pendidikan yang kering dari nilai agama, campur baur antara pelajar lelaki dan wanita, seragam yang menampakan aurat, dan muatan kesehatan reproduksi (Kespro) yang tertuang dalam basis liberalisme, bukan pondasi agama.
Sekalipun ada sekolah berbasis Islam, tetapi konsep pemisahan antara agama dengan kehidupan duniawi (sekuler) masih sama dengan sekolah umum.
Bahkan istilah guru adalah pendidik kini cenderung tidak berlaku, kebanyakan profesi guru hanya dijadikan salah satu cara untuk mendapatkan penghasilan semata. Sehingga, wajar jika sistem saat ini hanya melahirkan generasi minim kualitas.
Selain faktor sistem pendidikan berbasis liberal, faktor ekonomi tentu sangat berpengaruh terhadap keharmonisan hubungan suami-istri.
Minimnya uang belanja dan ketidakmampuan keluarga mencukupi kebutuhan-kebutuhannya sering menjadi pemicu utama timbulnya konflik antara suami dan istri. Jikalau sudah begitu, istri pun akan memilih bekerja, yang terkadang justru melalaikannya dari kepengurusan rumah tangga.
Belum lagi paham kebebasan yang menyebar di seluruh sektor kehidupan menumbuhsuburkan pergaulan bebas. Media beraroma liberal pun makin menancapkan kuku kekuasaannya.
Dampaknya, di mana-mana dengan mudah kita jumpai hal-hal yang membangkitkan naluri seksual. Penyimpangan seksual juga tak bisa dinafikan kemunculannya. Pasangan harmonis sekali pun bisa menjadi ‘beringas’ ketika berhadapan dengan tantangan kehidupan sekuler kapitalis saat ini.
Ketahanan Keluarga ala Islam
Pernikahan merupakan ikatan yang sah menurut syariat Islam bagi dua lawan jenis untuk melakukan interaksi khusus (hubungan jenis) dengan aturan yang khusus. Melalui pernikahan, keberlangsungan jenis manusia akan terwujud.
Melalui pernikahan pula akan diperoleh ketenangan dan kedamaian bagi suami-istri. Allah Swt. berfirman yang artinya, “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (TQS al-A‘râf : 189)
Keluarga sakinah mawaddah wa rohmah (Samara) tidak akan terwujud bila suami-istri tidak memahami hakikat berkeluarga. Untuk itu, persiapan membentuk keluarga Samara ini mutlak diwujudkan sebelum pasangan memasuki jenjang pernikahan.
Lebih-lebih, menikah bukanlah sekadar pelegalan hubungan seks laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, menikah adalah proses membangun keluarga. Karenanya butuh persiapan yang benar-benar matang, dari segi fisik maupun mental.
Memang penting melakukan proses edukasi kepada calon pengantin sebelum mereka mengarungi bahtera rumah tangga, tapi edukasi tersebut hendaknya sudah mereka dapatkan sejak dini dalam lingkup keluarga, masyarakat, bahkan negara, bukan pada saat menjelang pernikahan.
Keluarga, masyarakat, dan negara hendaknya berperan penting dalam membekali ‘ilmu kehidupan’ bagi para calon pengantin.
Pembekalan tersebut tersirat dalam penguatan akidah, pemahaman konsep dasar pernikahan dalam Islam, penguasaan hukum-hukum Islam seputar pernikahan, membina diri menjadi muslim/muslimah berkepribadian Islam, dan pemahaman yang memadai tentang kesehatan fisik. Segala persiapan yang dituntun oleh syariat Islam tentu akan membangun keluarga yang kokoh dan melahirkan generasi yang berkualitas.
Sistem pemerintahan Islam akan menyelesaikan persoalan kemiskinan. Sistem ini pun akan menjaga agar kewajiban nafkah berjalan sesuai aturan. Tak hanya mewajibkan suami untuk mencari nafkah, bahkan jika tidak ada lagi yang menafkahi perempuan dan anak, maka negara akan menjaminnya dari Baitul Mal. Negara pun menyediakan lapangan kerja yang luas.
Sistem pemerintahan Islam juga akan mengatur perilaku manusia agar tidak mengarah pada kerusakan. Negara akan meminimalisir pergaulan bebas dan perselingkuhan. Hukum-hukum pergaulan laki-laki dan perempuan ditegakkan sesuai syariah.
Di samping itu, media massa juga terjaga dalam menyebarkan berita. Mereka berkewajiban untuk memberikan pendidikan bagi umat, menjaga akidah dan kemuliaan akhlak serta menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat.
Sehingga, dengan aturan Islam, masyarakat akan terjaga dalam ketakwaan. Ketahanan keluarga pun mampu dibangun, meski tanpa sertifikasi pra nikah. Wallahu a’lam bisshawab. GF
*Praktisi Pendidikan Konawe