“Begitu miris nasib kaum guru yang masih berada dalam kemalangan. Kesejahteraannya masih nyata jauh dari layak. Tak sebanding dengan kemampuan yang dicurahkan. Berusaha membantu negeri ini memecahkan segudang masalah yang terjadi pada diri generasi,”
Oleh : Hawilawati, S.Pd
Lapan6Online : Hari Guru Nasional (HGN) yang jatuh setiap tanggal 25 November bagi guru honorer masih nelangsa, tak membuat nasib mereka berubah.
Dilansir CNN Indonesia, guru honorer yang telah dinyatakan lulus tes sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) masih terus mempertanyakan kejelasan nasibnya karena hingga kini belum ada titik terang terkait status mereka setelah hampir 9 bulan dinyatakan lulus.
Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) berharap ada kebijakan dan perhatian pemerintah agar menjadi prioritas agenda.
Keadaan dan nasib para guru honorer seperti dikutip laman cnnindonesia (20/11/2019), masih sama saja dengan gaji Rp.150.000 perbulan dan dibayarkan tiap 3 bulan sekali atau rapel Rp.450.000,-
Mantan Ketua PB PGRI (Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indomesia) Didi Suprijadi mendukung aksi damai 28 November 2019 yang akan dilakukan seluruh guru honorer di Kabupaten Garut.
Jangan salahkan guru jika di hari guru nasional (HGN) kerap kali dihiasi dengan aksi turun kejalan. Ini adalah cara terakhir kaum guru honorer, mengetuk hati sang pemangku kekuasaan, jika duduk bareng atau melalui aspirasi rakyat melalui anggota dewan di parlemen tidak atau belum tergugah dengan nasib guru yang malang.
Pentingnya Peran Guru Mencerdaskan Generasi
Dari manakah orang tua berharap besar, anak-anak mendapatkan ilmu agar menjadi pintar ? Apakah dari tempat wisata atau mall? Bukan, yang sejatinya belajar dimana saja bisa. Namun hampir rata-rata orangtua berharap anaknya memahami berbagai ilmu dan pintar dari sekolah. Sekolahpun tanpa orang yang mengajarkan maka tak akan berlangsung kegiatan belajar.
Apakah anda sebagai orangtua lulusan perguruan tinggi ? Ya, banyak orang tua murid yang pintar lulusan berbagai perguruan tinggi bahkan sampai berstatus profesor, namun untuk urusan membaca, berhitung, atau bersosialisasi bagi anak dan cucunya, tetap lagi-lagi guru yang akan dicari untuk membimbing mereka.
Tak cukup di sini, orangtuapun berharap besar bahwa setelah keluar dari sekolah tersebut anak-anaknya tak hanya cerdas otak saja tapi juga sholih jiwanya (memiliki pribadi unggul, attitude atau akhlak yang mulia, bahkan berharap memiliki skill agar mampu hidup mandiri).
Ini adalah realita, sehebat apapun, setinggi apapun jabatan orangtua mulai dari rakyat biasa hingga pejabat pemerintah, tak terkecuali seorang presiden tetap membutuhkan seorang guru untuk mencerdaskan generasinya.
Banyak orang tua pintar namun merasa tidak mampu mengajarkan anak-anaknya.Yap, karena mengajar tak hanya sembarang mentransfer ilmu, mengajar butuh skill, bagaimana mengolah bahasa, memahami metode pengajaran, butuh kecerdasan dan keluwesan berinteraksi secara interaktif dengan peserta didik sampai pendekatan personal yang pas sehingga siswa mampu menyerap berbagai ilmu. Karenanya kompetensi yang dimiliki guru harus selalu di upgrade agar menjadi pendidik yang mumpuni.
Tak heran juga, jika fenomena unik yang tampak setiap tahun ajaran baru adalah ramainya masyarakat membidik sekolah-sekolah baik secara offline maupun online mulai dari level dini hingga menengah atas. Bahkan observasi sudah dilakukan 6 bulan sebelum aktivitas belajar dimulai, untuk apa? Untuk menyekolahkan anak-anaknya agar mendapat ilmu dari kaum guru agar kelak menjadi generas cerdas.
itu artinya kedudukan seorang guru sangatlah penting bagi mayarakat dan tak berlebihan jika guru disematkan sebagai “Pelita Bangsa atau Cahaya Dalam Kegelapan”, mengeluarkan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohan.
Namun, begitu miris nasib kaum guru yang masih berada dalam kemalangan. Kesejahteraannya masih nyata jauh dari layak. Tak sebanding dengan kemampuan yang dicurahkan. Berusaha membantu negeri ini memecahkan segudang masalah yang terjadi pada diri generasi.
Manusiawi-kah jika gaji seorang guru 150 rb/bulan? Memang tugas guru sangatlah mulia menyampaikan ilmu, dari niat yang tulus karena Allah, insya Allah akan menjadi nilai ibadah dan amal jariyah yang tak akan pernah putus pahala selama ilmunya digunakan bagi anak didiknya. Namun guru juga manusia, ia butuh memenuhi kebutuhan hidupnya, ia butuh menafkahi keluarganya, jangankan sekunder atau tersier, yang primer saja masih jauh dari cukup.
Nasib Guru di Era Kejayaan Islam
Berbeda di masa kejayaan islam, tinta emas sejarah telah menggoreskan peradaban Islam yang begitu masyhur di dunia. Eropa dan Barat banyak belajar dari kemajuan Islam tak terkecuali sistem pendidikannya.
Kholifah sangat menaruh perhatian besar terhadap pendidikannya. Ia pun sangat mencintai ilmu dan orang yang menyampaikan ilmu (guru) dengan apresiasi yang besar dan terbaik. sang Kholifahpun sangat faham majunya sebuah bangsa tergantung dari kualitas pendidikannya.
Bagi kholifah, marwah seorang guru begitu tinggi hingga harus mendapatkan kedudukan yang dihormati. Perhatian kholifah terhadap guru juga dengan mencukupi kebutuhan anak-anak guru, sehingga guru fokus dan full untuk mendedikasikan ilmunya untuk pendidikan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatthab guru kanak -kanak mendapatkan gaji sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikonversikan dengan rupiah sekarang sekitar Rp 30.000.000.
Pada masa Daulah Abbasiyah tunjangan guru sangatlah besar, sebagaimana zujaj menerima 200 dinar setiap bulannya. Sementara Ibnu Duraid menerima gaji sebesar 50 dinar pada masa Kholifah Muqtadim.
Kualitas guru saat itu terjaga dengan mengupgrade kompetensi dan kesholihan seorang pendidik dengan biaya yang telah dialokasikan negara, seperti para pendidik difasilitasi belajar berbagai bahasa dan ilmu yang dibutuhkan, serta didorong memiliki karya dengan menghasilkan berbagai buku-buku brilian.
Sumber Harta Mensejahterakan Kaum Guru
Darimana negara menjamin kesejahteraan dan meningkatkan kompetensi untuk membiayai kaum gurunya? Tentu dari Baitul mal (kas negara) yang diperoleh dari sumber ekonomi pengelolaan kekayaan alam (SDA) yang terhampar di dalam negeri. SDA dieksplorasi oleh negara sendiri hingga menjadi harta pemasukan Baitul mal yang dikembalikan lagi pemanfaatannya untuk kesejahteraan rakyat tak terkecuali kehidupan bagi kaum guru.
Bagaimana dengan negeri ini? SDA diswastanisasi atau diprivatisasi, pemasukan harta yang sejatinya melimpah ruah itu adalah harta rakyat yang harus dikelolah negara (bukan Asing atau Aseng) untuk kesejahteraannya. sumber kekayaan kas negara yang di peroleh dari eksplorasi SDA perlahan kini telah hilang sehingga penguasapun malang tak mampu mensejahterakan kaum gurunya sendiri.
Sungguh miris.
Sudah saatnya negara mengembalikan kedudukan kaum guru, dengan menjaga marwah, menghargai serta memperhatikan kesejahteraannya. Dan mengelola kekayaan alamnya sendiri, jangan biarkan kaum kapital menguasai SDA dan aset negara karena hanya kesengsaraan hidup diberbagai lini yang akan dirasakan rakyat tak terkecuali nasib kaum guru sebagai salah satu kunci yang dapat mencerdaskan generasi dan memajukan bangsa. Wallahu’alam bishowwab. GF
*Praktisi Pendidikan, Member WCWH & Revowriter Tangerang)