Penulis: Marwan Batubara, IRESS, (*)
Lapan6online.com : Pada 26 Juli 2014, Presiden terpilih Joko Widodo mengatakan akan memprioritaskan pemberantasan mafia migas. Menurut Jokowi, praktek mafia migas di Kementrian ESDM sudah sangat kuat dan merugikan negara akibat pengawasan lemah. Untuk membersihkan mafia di sektor migas, Kementerian ESDM harus dipimpin seorang yang memiliki integritas. “Perlu ada pemimpin dengan leadership yang kuat,” kata Jokowi di Solo, 26 Juli 2014.
Pada 26 Oktober 2014, Presiden Jokowi mengumumkan susunan angggota kabinet yang diberi nama Kabinet Kerja. Sudirman Said ditunjuk sebagai Menteri ESDM. Kemudian pada 16 November 2014, sesuai arahan Presiden Jokowi, Kementrian ESDM membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), dengan menunjuk Faisal Basri sebagai Ketua. Pemerintah mengatakan salah satu tujuan utama TRTKM dibentuk adalah untuk memberangus mafia migas agar Indonesia mencapai kedaulatan energi.
Setelah 6 bulan bekerja dan menghasilkan 12 rekomendasi kepada Kementrian ESDM, TRTKM akhirnya resmi dibubarkan pada 13 Mei 2015. Sebagian besar rekomendasi TRTKM telah ditindaklanjuti pada 2015, kecuali masalah mafia migas. Dalam hal mafia migas ini, TRTKM merekomendasikan agar pemerintah melakukan penguatan kelembagaan serta membentuk sistem transparan dan akuntabel dalam hal tata niaga hulu dan hilir migas, terutama pelaksanaan minyak impor.
Dalam rangka memberantas mafia migas, Pertamina atas arahan Kementrian ESDM dan Kementrain BUMN pun telah menunjuk KondaMentha untuk melakukan audit forensik atas transaksi migas Petral sejak 2012 hingga 2014. Audit forensik terhadap Petral adalah salah satu rekomendasi TRTKM. Temuan utama KordaMentha adalah: 1) kebijakan Petral dalam proses pengadaan, mulai menentukan harga, volume, hingga pemilihan NOC, tidak kompetitif; 2) terdapat kebocoran informasi yang merugikan negara; 3) ada pengaruh besar pihak eksternal dalam proses bisnis Petral, seperti pemilihan mitra tak langsung dan proses negosiasi.
Pelaksanaan audit forensik dilakukan untuk melihat potensi pelanggaran hukum di dalam pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) impor yang dilakukan Petral, serta anak usaha Pertamina Energy Service Pty Ltd (PES) dan Zambesi Ltd pada periode 2012-2015. “Audit forensik ini dilakukan untuk menggali semua yang ada diluar sistem,” kata Coorporate Secretary Pertamina Wisnutoro, di Dewan Pers, Minggu (15/11/2015).
Menteri ESDM (2014-2016) Sudirman Said memastikan KordaMentha sebagai pelaksana audit forensik adalah lembaga yang sangat kredibel. Karena itu, Sudirman mengatakan hasil audit yang dilaporkan kepada Pertamina dan Kementraian ESDM serta Kementrian BUMN juga sangat dapat dipercaya. Karena itu Sudirman saat itu yakin mafia migas dapat diberantas.
Sudirman mengatakan temuan dalam audit itu menjadi sebuah pembuktian isu yang beredar selama ini, tentang Petral yang menjadi sarang mafia. ”Yang tadinya rumor, yang tadinya obrolan di warung kopi, kini menjadi dokumen yang dihasilkan dengan metode profesional yang bisa dipertanggungjawabkan,” katanya (14/11/2015). Sehingga, Sudirman pun sangat antusias melaporkan temuan kepada Presiden Jokowi. Sudirman berharap temuan tersebut segera resmi dilaporkan oleh pemerintah kepada KPK.
Ternyata, kata Sudirman, saat itu hasil audit forensil tak langsung ditindaklanjuti ke KPK karena ditahan oleh Presiden Jokowi. Sudirman Said mengungkap bahwa Presiden Jokowi pernah memintanya menunda melaporkan hasil audit Petral oleh KordaMentha kepada KPK (16/2/2019). “Malam itu saya dapat pesan Presiden lewat seseorang, laporan Petral ke KPK ditunda dulu. Ditunda,” kata Sudirman di Jakarta, 16 Februari 2019.
Lebih lanjut Sudirman mengatakan: “Yang agak cemas atasan saya itu (maksudnya Presiden Jokowi) terhadap proses pembubaran Petral karena ditakut-takuti beberapa menteri. Tetapi saya mengatakan ‘Pak ini janji bapak dan saya itu diangkat jadi menteri diminta membersihkan mafia migas’. Karena itu saya push terus dan itu tadi saya tidak tahu sampai di mana, audit sudah selesai dan sudah jelas hasilnya,” kata Sudirman (16/2/2019).
Dengan penjelasan di atas maka menjadi terang benderang bagaimana sebenarnya sikap dan komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi yang diucapkan pada Juli 2014 yang lalu di Solo. Niat baik sudah diucapkan sebagai janji. Instrumen dan bukti guna merealisasikan niat dan janji pun telah tersedia, antara lain temuan audit forensik KordaMentha. Ternyata, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan. Janji pemberantasan mafia migas tampaknya *hanya retorika!*
Debat Capres 2019: Mafia Migas Bubar
Saat Debat Capres 2019, Capres No.1 Joko Widodo dengan confident mengatakan sudah berhasil memberantas mafia migas karena telah membubarkan Petral pada 13 Mei 2015. Kata Jokowi: “Mafia migas Petral telah kita bubarkan, Blok minyak Rokan telah kita kelola, Blok minyak Mahakam telah kita kelola, Freeport 51 persen mayoritas telah kita ambil. Kita ingin negara ini semakin baik” (17/1/2019). Berdasarkan pernyataan tersebut, tampaknya Jokowi ingin mengatakan mafia migas ikut bubar atau telah diberantas dengan membubarkan Petral…
Padahal seandainya pun relevan, pembubaran Petral bukanlah rekomendasi TRTKM, karena yang diminta adalah pelaporan hasil audit forensik KordaMentha kepada KPK. Pada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi VII DPR (20 Mei 2015), Ketua TRKTM Faisal Basri mengatakan pembubaran Petral bukan rekomendasi dirinya atau TRTKM. “Saya juga katakan, bukan berarti saya juga merekomendasikan, saya tidak merekomendasikan ke Menteri ESDM untuk melontarkan (pembubaran Petral) itu,” ujar Faisal.
Sedangkan Sudirman Said mengatakan pembubaran Petral tak serta-merta membasmi praktik mafia migas di Indonesia. Sebab, kata Sudirman, teka-teki soal penyebab kerugian akibat Petral serta jaringan mafia yang berada di dalamnya belum diungkap secara tuntas, karena tidak ditindaklanjutinya temuan audit forensik KordaMentha.
Wacana pembubaran Petral ternyata tidak pula datang dari Menteri ESDM Sudirman Said. Sudirman bahkan berpendapat sebaliknya, tak setuju Petral dibubarkan. Sudirman mengatakan, anak usaha Pertamina ini hanya perlu pengawasan dalam mengamankan pasokan minyak di dalam negeri. “Petral itu tidak harus dibubarkan, tapi kontrolnya harus berpihak untuk nasional” (1/11/2014).
Kata Sudirman, Petral strategis bagi Indonesia dan pemerintah masih membutuhkan Petral memasok kebutuhkan minyak dalam negeri. Sudirman yakin Petral yang sahamnya dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, masih bisa dibenahi. “Seratus persen sahamnya dimiliki Pertamina. Jadi kalau manajemen Pertamina baik, komisaris Pertamina baik, Petral akan baik,” kata Sudirman.
Mantan Sekmen BUMN M. Said Didu sangat yakin mafia migas tetap ada hingga saat ini, walaupun Petral sudah dibubarkan. Said yakin adanya mafia migas yang bisa mempengaruhi penguasa. “Jadi kalau orang mengatakan tidak ada mafia, maaf saja, saya tahu persis ada mafia. Dan mafianya itu selalu mengobjektifkan kepentingan subjektif lewat kekuasaan” (26/11/2019). Jadi, klaim Capres 01 pada Debat Capres 2019 menjadi terbantahkan! Hal ini pun terkonfirmasi dengan diusungnya Ahok menjadi Komut Pertamina, yang salah satu tugasnya membernatas mafia. Artinya, mafia masih ada walau Petral sudah bubar.
Mafia Migas & Tuan MR
Said Didu mengatakan sesuai hasil audit KordaMentha, ditemukan hasil penelusuran bahwa semua orang yang bekerja dalam transaksi migas di Petral, komunikasinya mengarah ke satu orang. Berarti memang ada koordinasi dengan orang tersebut. Dan kita tahu itu puluhan miliar Rp per hari yang mereka ambil. Kata Said, hal itu sudah dilaporkan ke KPK pada 2016 (26/11/2019). Tampaknya orang yang dimaksud Said adalah Muhammad Reza Chalid (MR), seperti yang diungkap oleh Republika.co.id dan Tempo.co.
Berdasarkan sumber Republika.co.id, terkonfirmasi audit KordaMentha menunjukkan adanya arah ke korporasi besar, sebuah perusahaan yang memiliki jaringan dalam Petral. Dari perusahaan inilah terdengar nama “MR”. “Memang ternyata orang-orang yang bekerja di Petral adalah karyawan MR. Dan semua diatur sama dia. Dokumen itu pura-pura saja. Pura-pura ada penawaran. Kalau dikatakan pakai ID, benar, tapi sebetulnya sudah diatur,” kata sumber yang enggan disebut identitasnya, Senin (9/11/2015).
Mantan anggota TRTKM Fahmy Radhi mengatakan pada masa pemerintahan SBY, nama MR sering disebut atas dugaan keterkaitan sebagai pihak ketiga, yakni dalam kasus pengadaan minyak selama periode 2012-2014 di Petral. “Sesungguhnya dulu tim kami (TRTKM) ke KPK, kemudian melapor ke Bareskrim, kami melakukan konfirmasi ternyata ditemukan kesamaan, inisialnya MR,” kata Fahmy (Tempo.co 11/11/2015).
Berdasarkan temuan KordaMentha, jaringan mafia migas itu menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau Rp 250 triliun selama tiga tahun. “Tuan MR” ini, melalui perusahaannya, menjadi perantara dengan perusahaan minyak milik negara lain (national oil company/NOC) bagi pengadaan minyak negara/Pertamina. Tuan MR pengusaha besar yang memiliki perusahaan di Singapura. Akibat ulah para mafia migas, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak atau jual-beli produk BBM-nya.
Meskipun temuan KordaMentha dan penyebutan nama MR ini telah beredar bertahun-tahun, ternyata Mr MR justru “sempat datang” menghadiri undangan pesta pernikahan putra pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Solo pada 11 Juni 2015. Saat itu tuan MR juga sempat berbicara akrab dengan Presiden Jokowi.
Polemik tentang Tuan MR kembali mencuat setelah dia hadir pada kuliah umum Presiden Jokwi pada Akademi Bela Negara Partai Nasdem, di Jakarta (16/7/2018). Padahal, pada awal Januari 2016, Kejagung mengaku kesulitan untuk menghadirkan Tuan MR untuk dimintai keterangan terkait kasus “Papa Minta Saham” yang “mencatut” nama dan sempat membuat berang Presiden Jokowi. Publik terheran-heran bagaimana bisa Presiden Jokowi tidak bereaksi apa-apa soal protes publik terhadap hadirnya Tuan MR pada acara Nasdem. Padahal dalam acara kuliah umum itu Jokowi menjadi pembicara utama.
Said Didu pun ikut berkomentar: “Saya ingat betul pernyataan penyidik kejaksaan saat mendampingi Pak Sudirman Said terkait “Papa Minta Saham”. Kasus ini bisa lanjut kalau Tuan MR bisa ketemu. Semoga menjadi mudah karena yang bersangkutan kemarin hadir pada acara partainya Jaksa Agung (Nasdem)”. Saat itu, kejaksaan sendiri sudah meminta keterangan Menteri ESDM Sudirman Said, Sekretaris Jenderal DPR, dan Presiden Direktur Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin. Rekaman kasus pun sudah di tangan Kejagung.
Kasus Papa Minta Saham memang telah ditutup Kejagung karena alasan alat bukti yang tidak relevan. Sehingga Tuan MR pun lolos dari proses penyelidikan mafia migas. Namun kita dapat mencatat bahwa meskipun nama Tuan MR sudah cukup dikenal sebagai orang yang sangat terkait dengan mafia migas, Presiden Jokowi masih berkenan mengundangnya ke Solo pada 11 Juni 2015 dan sempat pula hadir bersama pada acara yang diadakan Partai Nasdem pada 16 Juli 2018. Selanjutnya, silakan ditafsirkan sendiri, apakah niat memberantas mafia migas memang benar akan dilakukan, atau hanya sekedar retorika.
Retorika Baru: Ahok akan Berantas Mafia Migas!
Pada akhir November 2019 publik dikejutkan dengan rencana pemerintah mengangkat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Komisaris Utama (Komut) Pertamina. Ahok yang diberi gelar hiperbolis “si pendobrak” dan “salah satu putra terbaik bangsa” oleh Kementrian BUMN digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi pemerintah memberantas mafia migas yang telah merugikan negara dan rakyat ratusan triliun rupiah.
Lho, ternyata mafia migas si penghisap rakyat masih bergentayangan di Pertamina dan NKRI! Bukankah Prsiden Jokowi pernah menyatakan pada debat Capres 2019 telah berhasil memberantas mafia migas melalui pembubaran Petral? Jika diakui mafia migas masih bergentayangan, sehingga Ahok “dibutuhkan” negara untuk memberantas, maka pernyataan keberhasilan yang diklaim oleh Capres No.1 pada saat Debat Capres 2019 dapat pula dianggap hanya *sekedar retorika!*
Terlepas bahwa pemberantasan mafia migas merupakan retorika baru dalam rangka menjustifikasi “pengangkatan” Ahok, rakyat perlu berfikir bahwa ketegasan Ahok semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta tidak serta merta bisa menjadi jaminan yang bersangkutan akan mampu memberantas mafia migas. Sebab, upaya pemberantasan mafia migas sebenarnya sudah dilakukan Presiden Jokowi melalui pembentukan TRTKM pada November 2014. Belum lagi jika kita bicara tentang siapa Ahok sebenarnya.
KordaMentha telah menghasilkan temuan berbagai pelanggaran mafia migas dan siap dilaporkan kepada KPK. Tetapi justru Presiden mengurungkan proses yang sudah berjalan baik tersebut, entah karena apa dan siapa. Jika committed memberantas mafia migas, mestinya laporan ke KPK tersebut sudah dilakukan sejak akhir 2015 yang lalu.
Narasi Ahok bisa memberantas mafia migas yang menggerogoti Pertamina adalah narasi retoris. Sebab, jabatan Ahok hanyalah Komut, bukan Direksi yang berwenang membuat dan mengeksekusi kebijakan dan program. Jangankan direksi, atau Menteri, bahkan seorang presiden saja “gagal” menindaklanjuti temuan audit forensik yang dapat berujung pada dicokoknya para “mafioso migas”. Apalagi hanya sekedar Komut yang tidak mempunyai wewenang eksekusi dan penegakan hukum! Di sisi lain Ahok pun harus tunduk kepada Menteri-menteri terkait dan juga Presiden yang menjadi atasannya.
Karena itu kita meminta seluruh jajaran pemerintah untuk berhenti menjual isu mafia migas dalam rangka mendukung dan menjustifikasi pengangkatan Ahok menjadi pejabat negara. Jika presiden benar-benar berniat, 3 tahun lalu sebenarnya sudah terbuka jalan untuk melakukan sesuatu yang sangat efektif dan potensial membuahkan hasil melalui hasil audit KordaMentha.
Sebaliknya, Ahok yang digadang-gadang pemerintah itu, bukan saja posisinya dan wewenangnya jauh di bawah presiden, tetapi juga tidak qualified menjadi Komut Pertamina. Ahok adalah terduga koruptor kasus korupsi Rumah Sakit Sumber Waras yang telah memiliki bukti lebih dari cukup untuk diproses di pengadilan. Hanya karena dilindungi dan diselamatkan oleh KPK-lah, dengan menyatakan Ahok tidak punya niat jahat, maka Ahok bisa bebas jerat hukum. NKRI, UUD 1945 dan KPK sudah dikangkangi Ahok dan pendukungnya!
Ahok pun terlibat dalam berbagai kasus dugaan korupsi seperti kasus Tanah BMW, Reklamasi Teluk Jakarta, Tanah Cengkareng Barat, Pengadaan UPS, dan lain-lain, serta sejumlah kasus dana off-budget yang minimal melanggar UU Keuangan Negara No.17/2003, UU Perbendaharaan Negara No.1/2004, dan PP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Ahok pun melanggar prinsip-prinsip GCG karena pernah dipenjara, dan hal ini tidak memenuhi persyaratan etika sesuai Lampiran II Permen BUMN No.02/2015, sehingga mestinya Ahok tidak lolos menjabat sebagai Komut Pertamina.
Saat membuka Hari Antikorupsi Sedunia di Hotel Bidakara, Jakarta, pada 4 Desember 2018 Presiden Jokowi antara lain mengatakan agar gerakan antikorupsi menjadi sebuah gerakan bangsa yang dilakukan institusi negara, civil society dan masyarakat luas. Katanya, hal itu merupakan upaya membangun Indonesia maju yang produktif, inovatif dan efisien. Bagi kita, retorika sudah tidak dibutuhkan. Kita butuh langkah konkrit Jokowi menindaklanjuti hasil audit KordaMentha guna memberantasan mafia migas yang dicanangkan Juli 2014 di Solo. Bukti-bukti pelanggaran hukum dan tidak qualifiednya Ahok pun sudah begitu gamblang. Sekaranglah saatnya menurunkan Ahok dari Komut Pertamina untuk segera diproses hukum! (*)
Disclaimer : Kanal opini adalah media warga. Setiap opini di kanal ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang..