Ironi Lobster, Indonesia Berpolemik Benih Vietnam yang Berjaya

0
32
Aisyah Karim, S.H., Aktivis muslimah Aceh. Foto : Ist
“Rekam jejak para penguasa di negeri ini yang hobi menabur janji namun abai menunaikannya. Plus fakta bahwa belum ada satu negarapun di dunia yang mampu melakukan pembudidayaan lobster,”

Oleh : Aisyah Karim, S.H

Lapan6Online : Desember ini menjadi bulan yang sengit bagi para penggiat Lobster. Ketika semua mata tertuju pada isu Uyghur, di dalam negeri suara-suara nelayan dan pembudidaya lobster di berbagai wilayah Indonesia nyaris putus asa menghadapi rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk melakukan ekspor benih lobster.

Namun kini, Menteri Kelautan dan Perikanan tidak akan meneruskan wacana ekspor benih lobster dengan catatan jika budidaya bisa diterapkan dengan baik di dalam negeri (mongabay.co.id 28/12/2019). Hal itu disampaikannya di hadapan para nelayan Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pernyataan ini ditanggapi datar oleh nelayan, mengingat rekam jejak para penguasa di negeri ini yang hobi menabur janji namun abai menunaikannya. Plus fakta bahwa belum ada satu negarapun di dunia yang mampu melakukan pembudidayaan lobster. Budi daya selama ini dipahami sebagai usaha pembesaran benur/bibit lobster yang diambil dari alam.

Ibarat benang kusut, budidaya pembesaran lobster masih saja menjadi masalah yang belum terurai.

Di sisi lain, penyelundupan kian marak sejak larangan ekspor benih lobster diterbitkan. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus), Kepiting (Scylla), dan Rajungan (Portunus) dari Wilayah Indonesia.

Benih lobster yang diselamatkan dari penyelundupan sejak 2015 sampai 12 Maret 2019 sebanyak 6.999.748 ekor dengan perkiraan nilai Rp 949,48 miliar.

Penyelundupan benih lobster ke Vietnam itu diduga melibatkan sindikat oknum aparat dan bandar di Vietnam.

Mengenal Lobster yang harganya semahal Harley Davidson
Benih lobster yang dilarang namun sering di ekspor secara illegal adalah apa yang disebut Plasma Nutfah/lobster seed, anakan lobster yang masih sangat halus.

Regulasi mengharuskan bibit ini diambil ketika beratnya mencapai 200gr dan panjangnya 8cm. Benih itu sendiri ada di laut (wild caught), tidak bisa dideder seperti udang, bandeng ataupun lobster air tawar (Crayfish).

Survival rates bibit sangat kecil, rata-rata 0,1 persen saja atau hanya 1 ekor dari total 10.000 ekor benih lobster saja yang berhasil mencapai usia dewasa.

Usaha pembesaran lobster akan menghabiskan bibit yang ada di alam karena saat ini biota laut tersebut belum bisa memijah atau kawin di penangkaran. Cara pengambilan bibit ini massal dan membabi buta. Sehingga suatu saat nanti budidaya pembesaran akan terhenti disebabkan bibit yang habis.

Kini lobster dalam zona ancaman kepunahan karena banyak orang tidak peduli keberlanjutan biota laut tersebut.

Di banyak negara pengambilan yang demikian terhadap plasma nutfah adalah kejahatan serius dengan sanksi hukum pasal subversif minimal 20 hingga 30 tahun.

Negara melindungi keberadaan dan keberlanjutannya agar spesies asli tetap hidup. Apalagi bibit lobster jenis Homarrus dan Penicilatus yang hanya dimiliki oleh kurang dari 10 negara di dunia, Indonesia salah satunya.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam postingan akun Twitter pribadinya menulis, satu paket benih lobster berisikan 8.000 ekor bila tidak diekspor harganya mencapai miliaran rupiah.

Bahkan, bila benih lobster ini tetap terpelihara di alamnya, maka harganya setara dengan 20 motor Harley Davidson. “1 backpack bibit lobster +_ min 8.000 ekor Rp-nya sama dengan 2 harley = 60 Brompton, kalau bibit ini tidak diambil, di laut & jadi besar nilai jadi minimal 20 harley = 600 brompton, tidak usah kasih makan, Tuhan yang memelihara, manusia bersabar, menjaga pengambilannya. Tuhan lipatkan gandakan,” cuit @susipudjiastuti, Minggu (15/12/2019).

Kapitalis dibalik Ekspor Bibit Lobster
Pemerintah berdalih bahwa pengembangan budidaya untuk benih lobster, diyakini tidak hanya memberikan manfaat secara ekonomi semata saja, namun juga akan memicu peningkatan stok di alam. Caranya, adalah dengan melaksanakan pengaturan kewajiban restocking benih lobster pada fase tertentu.

Edhy berjanji segera menyusun roadmap untuk pengembangan industri ini, kelak akan dilakukan kajian stok, pengaturan area tangkap lestari, pemetaan ruang untuk budi daya, penyiapan teknologi dan investasi.

Oleh karenanya Edhy akan melibatkan peneliti, perekayasa dan pembudi daya ikan untuk bisa berinovasi dan menciptakan keberhasilan pembenihan (breeding) lobster dan membuat indukan yang unggul.

Cara ini diyakini akan membawa perikanan budi daya nasional tidak lagi bergantung pada induk matang telur yang ada di alam. Namun sekali lagi, hingga saat ini belum ada satu negarapun, hatta negara maju yang mampu melakukannya.

Keputusan untuk membesarkan sendiri bibit lobster melalui para pembudidaya ikan, mengisyaratkan pemerintah akan menghentikan rencana untuk membuka keran ekspor bagi benih lobster, namun di sisi lain pemerintah tetap bersikukuh akan melakukan revisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/2016. Peraturan tersebut dinilai menghambat usaha budi daya. Pada titik inilah masyarakat kehilangan optimisme.

Adalah Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut segala aktivitas budi daya produk kelautan dan perikanan tidak seharusnya dilarang.

Ia berjanji nantinya akan melakukan pengawasan terhadap penyelewengan budi daya seperti aktivitas penyelundupan ke luar negeri. Namun sang Menko sepertinya lupa bahwa apa yang dijanjikannya justru sedang terjadi. Bagaimana pula jika undang-undang ini direvisi ? Pelarangan pengambilan benih lobster dicabut ?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa usaha budi daya lobster dijadikan kedok untuk melakukan penyelundupan bibit lobster ke luar negeri. Di periode awal tahun, banyak lobster bertelur dan benih baru menetas. Benih-benih itu berada di pinggir pantai sehingga mudah ditangkap dengan risiko kecil. Modal kerja pun kecil dengan memasang perangkap sederhana dari kertas bekas bungkus semen.

Tahun 2015, WWF Indonesia memublikasikan temuan mereka di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Di sana, tangkapan anakan lobster berukuran 0,5-1,5 cm bisa mencapai 100.000 per bulan kini dijual Rp 139.000 per ekor ke pengepul. Selanjutnya, anakan lobster itu dikirim ke Singapura, Vietnam, dan China untuk dibesarkan hingga ukuran konsumsi dan dijual berkali-kali lipat mahalnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Lalu Hamdi kepada Tempo, di Mataram, Selasa 24 Desember 2019, mengatakan ada 10 ribu nelayan pencari benih lobster dan 500 pelaku budi daya. Sebelum dilarang ekspor, tahun 2013 NTB menghasilkan benih lobster hingga 10 juta ekor setahun. 25 persen berupa benih lobster mutiara yang harganya per ekor Rp 30 ribu nilai jualnya Rp 75 miliar dan lobster pasir per ekornya Rp 5 ribu senilai Rp 37,5 miliar. Atau keseluruhannya senilai Rp 112,5 miliar.

CNBC Indonesia mengutip dari CNN melaporkan bahwa terjadi perputaran uang di `kota rahasia’ lobster Vietnam yang jumlahnya mencapai miliaran/hari. Phan Rang merupakan pusat budidaya lobster terbesar di Vietnam, lokasinya berada Thap Cham City, di Provinsi Ninh Thuan.

Effendi Gazali menyebutnya sebagai wilayah ‘rahasia’ karena tak semua orang bisa ke sentra lobster di sana. Effendi mengaku kapasitasnya sebagai pecinta budidaya laut secara mandiri melakukan ‘investigasi’ pada 25 November 2019 karena penasaran soal lobster asal Indonesia yang selama ini diselundupkan ke Singapura lalu dijual ke Vietnam.

Ia mengatakan di Phan Rang kebutuhan lobster mencapai 70 ton per hari, bila rata-rata satu bibit lobster 200 gram, maka setara kebutuhan 350 ribu ekor bibit lobster. Effendi mengatakan kemampuan pembudidaya Vietnam menghasilkan 70% harapan hidup bibit lobster, maka kebutuhan total per hari mencapai 500 ribu bibit lobster per hari masuk Phan Rang. Perputaran uangnya dari transaksi impor bibit lobster dari Singapura hingga jual beli lobster siap panen di sana sampai belasan miliar rupiah per hari.

Effendi mengatakan angka itu cukup masuk akal, karena bila mengacu pada laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) saja, soal tindakan pencucian uang (TPPU) dalam penyelundupan bibit lobster nilainya mencapai Rp 900 miliar per tahun atau sekitar Rp 3 miliar per hari. Sebelumnya PPATK mengungkapkan aliran dana penyelundupan benih lobster ke luar negeri mencapai Rp300 miliar-Rp900 miliar per tahun. Dana tersebut digunakan mendanai pengepul dalam negeri dan membeli benih tangkapan nelayan lokal.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyatakan dana tersebut berasal dari bandar yang ada di luar negeri lalu dialirkan ke berbagai pengepul di Indonesia.
Selain penyelundupan benih lobster juga terindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Jadi banyak pihak yang terlibat di sana termasuk pihak eksportir dan importir yang menggunakan penyamaran untuk menerima pembayaran itu,” kata Kiagus.

Vietnam sendiri menjadi negara tujuan ekspor terbesar benih lobster dari Indonesia.

Di sisi lain, negara ini malah kemudian menjadi salah satu pengekspor lobster terbesar di dunia bersama Kanada, di mana sebagian benihnya didapat dari laut Indonesia. Ironis bukan ? lobster menjadi hidangan utama Vietnam, sementara belum semua rakyat Indonesia mencicipi gurihnya sumber daya alam hayati yang di rampas dari laut mereka.

Bahkan lobster menjadi hidangan langka, prestisius dan mahal di kantong rakyat jamrud khatulistiwa. Inilah distribusi kekayaan alam dalam kapitalisme. Mengejar materi dengan mengabaikan alam dan kelestarian. Distribusi kekayaan hanya berputar dilingkaran itu-itu saja, hanya dikalangan orang-orang kaya.

Managemen Lobster Ala Islam
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput dan api. Islam menggolongkan sumber pendapatan dari ketiga bidang ini terkatagori kekayaan milik umum. yang harus dikelola hanya oleh negara dimana hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer semisal pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum.

Paradigma pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus dirubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).

Firman Allah, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu… (QS. Al-Baqarah:29).

Lobster adalah karunia Allah yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan penunjang kehidupan manusia di dunia ini sebagai kebaikan, rahmat dan sarana hidup untuk dimanfaatkan manusia dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT. Hanya sistem yang sahih yang dapat mengelola dengan sahih, selamatkan keberlangsungan ketersediaan sumber daya hayati dengan menerapkan Syariah dan Khilafah. GF

*Penulis adalah Aktivis muslimah Aceh

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini