Penulis: Hugeng Widodo, Mantan Pemimpin Redaksi Berita360.com, (*)
Jakarta, Lapan6online.com : Tatap tajam mata Hakim pada sidang putusan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menandai kemenangan gugatan kedua sang mantan Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Surabaya, Drs Sapari Apt MKes. Saat putusan itu dibacakan, Hakim tegas, membatalkan Surat Keputusan (SK) Pensiun TMT tertanggal 1 Oktober 2018 dengan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari BKN tanggal 20 Maret 2019 yang ditandatangani oleh Kepala Badan POM (BPOM) DR. Ir. Penny K. Lukito MCP.
Mengutip tulisan saya sebelumnya yang rilis di Akuratnews, dalam amar putusannya, Majelis Hakim memutuskan, mengabulkan sebagian gugatan Sapari, membatalkan SK Pensiun TMT Tertanggal 1 Oktober 2018, dan membebankan biaya persidangan kepada Tergugat.
Sedangkan, gugatan yang ditolak Majelis Hakim adalah mengembalikan harkat dan martabat serta harga diri Sapari. Pertimbangan Hakim, karena putusan Harkat Martabat serta Harga Diri sudah ada Pada Putusan Gugatan Pertama yang sebelumnya dilayangkan Sapari dan telah menang. Kini kasus gugatan pertama itu ada pada tingkat Kasasi.
Mengutip pernyataan Penasehat Hukum Sapari, Moh. Rifai SH berkesimpulan bahwa penolakan Hakim untuk mengembalikan harkat dan martabat serta harga diri Sapari sudah ada pada putusan PTUN pada gugatan Sapari yang pertama, sehingga pada putusan gugatan Sapari yang kedua ini, Majelis Hakim tidak lagi memutuskan persoalan itu.
“Kan soal mengembalikan harkat, martabat dan harga diri serta kedudukan Sapari sudah ada di putusan PTUN yang pertama, sehingga Hakim tidak lagi memutuskan itu dalam putusan sidang gugatan yang kedua ini,” terang M. Rifai seusai sidang putusan PTUN pada Kamis 14 November 2019 lalu. Dan sebagaimana hasil putusan gugatan pertama, untuk putusan ini pun Kepala BPOM kemudian mengajukan Banding. Hal itu disampaikan langsung oleh salah satu kuasa hukum BPOM, Ridwan.
Lantas bagaimana prediksi pertarungan hukum antara Sapari versus Kepala Badan POM pada tahun 2020 ini?
Dari rekam jejak putusan Hakim sejak gugatan pertama diajukan Sapari pada 17 Desember 2018 yang menandai perlawanan hukum menggugat Kepala Badan POM (BPOM) Dr. Ir. Penny Kusumastuti Lukito MCP di PTUN yang teregister nomor 294/G/2018/PTUN.JKT dapat diprediksi akan semakin seru untuk disimak.
Perseteruan hukum antara Sapari selaku bawahan melawan atasannya, Penny K. Lukito menjadi perhatian masyarakat, sebab sejak Objek sengketa dalam perkara gugatan Sapari yang pertama itu dilayangkan setelah Sapari diberhentikan dari jabatannya sebagai Kepala Balai Besar POM di Surabaya. Objek gugatan pertama itu adalah membatalkan Surat Keputusan (SK) Pemberhentiannya itu yang dikeluarkan oleh Kepala Badan POM.
Gugatan Pertama Dikabulkan Majelis Hakim
Majelis Hakim PTUN Jakarta kemudian mengabulkan gugatan Sapari dengan putusan nomor 294/G/2018/PTUN.JKT tertanggal 8 Mei 2019. Dalam putusannya, Hakim Ketua, M Arief Pratomo SH MH, didampingi hakim anggota, Bagus Darmawan SH MH dan Nelvy Christin SH MH memutuskan mengabulkan secara keseluruhan gugatan Sapari atas tergugat Kepala BPOM.
Ada 5 poin yang diputuskan Hakim PTUN, yaitu (1) Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk seluruhnya; (2) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Kepala BPOM RI Nomor KP.05.02.1.242.09.18.4592 tanggal 19 September 2018, tentang Memberhentikan dengan Hormat PNS atas nama Drs. Sapari, Apt., M.Kes NIP. 195908151993031001 Pangkat/Gol. Pembina Tk. I (IV-b) dari Jabatan Ka BBPOM di Surabaya beserta lampirannya;
Kemudian (3) Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Kepala BPOM RI Nomor KP 05.02.1.242.09.18.4592 tanggal 19 September 2018, tentang Memberhentikan dengan Hormat PNS atas nama Drs. Sapari, Apt., M.Kes, NIP 195908151993031001 Pangkat/Gol. Pembina TK.I (IV-b) dari Jabatan Ka BBPOM di Surabaya beserta lampirannya;
Kemudian (4) Mewajibkan kepada Tergugat untuk merehabilitasi Penggugat berupa pemulihan hak Penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya seperti semula sebagai Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Surabaya; Dan terakhir (5) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.
Sapari Menggugat SK Pensiun
Jika melihat hasil amar putusan Majelis Hakim PTUN, seharusnya Sapari kembali menjabat sebagai Kepala BB-POM Surabaya, namun faktanya tidak demikian, Sapari justru dipensiunkan oleh Kepala BPOM melalui SK Pensiun TMT yang diterima Sapari 1 hari setelah putusan PTUN, yakni tanggal 9 Mei 2019 lalu. Sapari dipensiunkan oleh Kepala BPOM melalui SK Pensiun TMT tertanggal 1 Oktober 2018, meski berkas kelengkapan belum terpenuhi dan belum lengkap, namun SK Pensiun TMT itu sudah diteken Kepala BPOM, Penny K. Lukito.
Tak terima dengan kenyataan itu, Sapari kembali menggugat Kepala BPOM, Penny Kusumastuti Lukito untuk yang kedua kali dengan Objek gugatan adalah SK Pensiun TMT dengan Pertimbangan Teknis (Pertek) dari BKN tanggal 20 Maret 2019. Gugatan kedua ini disidangkan terbuka untuk umum di PTUN Jakarta pada Kamis 22 Agustus 2019.
Dalam persidangan panjangnya, dukungan kuat mengalir dari berbagai pihak yang menilai Sosok Sapari sebagai figur kepala BB POM Surabaya yang trengginas, terutama terkait dengan tugas operasi tindak pidana obat dan makanan yang kerap membuat para mafia tak berkutik. Keberanian Sapari itu melahirkan dukungan bagi keadilan yang dituntut Sapari.
Kepala BPOM “Banding” atas Putusan Gugatan Pertama
Untuk diketahui, atas hasil putusan PTUN nomor 294/G/2018/PTUN.JKT tertanggal 8 Mei 2019 yang mengabulkan seluruh gugatan Sapari, Kepala BPOM Penny K. Lukito kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Namun dalam putusannya, Majelis Hakim di tingkat PT TUN Jakarta telah menguatkan putusan sebelumnya di PTUN Jakarta dengan amar Putusan PT TUN nomor 226/B/2019/PT.TUN.JKT. Sapari kembali menang di tingkat PT TUN Jakarta.
Sapari Menang di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PT TUN diantaranya menyatakan, Menimbang, bahwa dalam memori banding maupun kontra memori banding tidak terdapat hal-hal baru yang dapat dipakai pertimbangan hukum untuk membatalkan putusan tingkat pertama; Menimbang, bahwa pertimbangan hukum selebihnya dari Majelis Hakim tingkat pertama diambil alih dan merupakan satu kesatuan sebagai pertimbangan hukum dalam memutus perkara ini;
Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 294/G/2018/PTUN.JKT, tanggal 8 Mei 2019 harus dikuatkan; Menimbang, bahwa oleh karena putusan Nomor294/G/2018/PTUN.JKT dikuatkan maka sebagai pihak yang kalah dalam sengketanya, terhadap Tergugat atau Pembanding sesuai ketentuan pasal 110 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dihukum membayar biaya perkara yang besarnya ditetapkan dalam diktum putusan;
Sedangkan dalam amar putusannya, Majelis Hakim PT TUN Jakarta menyatakan, MENGADILI, (1) Menerima permohonan banding dari Tergugat/Pembanding; (2) Menguatkan putusan PTUN nomor 294/G/2018/PTUN.JKT tanggal 8 Mei 2019, yang dimohonkan oleh pembanding; (3) Menghukum Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan, yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp250 ribu.
Petikan amar putusan Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Ketut Rasmen Suta SH, dengan hakim anggota, Mohammad Husein Rozarius SH. MH dan H. Sugiya SH. MH dibantu oleh Panitera Pengganti Effendi SH. MH diputus pada Kamis 12 September 2019. Putusan PT TUN Jakarta ini kemudian diajukan sebagai salah satu alat bukti gugatan SK Pensiun yang diajukan Sapari. Dan kita ketahui kemudian, gugatan itu menang.
Setahun Lebih Tak Digaji
Tanggal 1 November 2019 yang lalu tepat satu tahun Sapari tidak menerima gaji, bahkan hingga Januari 2020 sekarang ini, Sapari masih belum menerima gaji. Sapari tidak memahami, aturan dari mana yang memperbolehkan gaji seorang PNS ditahan hingga setahun lebih?
“Ini mungkin aturan mana, saya nggak tau, mungkin aturan tersendiri dibuat (oleh Kepala BPOM) sendiri atau dengan dalil apapun, silahkan saja, itu adalah hal yang bagi saya kurang berkenan. Saya berserah diri pada Allah SWT bahwa mudah-mudahan apa yang saya lakukan ini dapat ridho dari Allah SWT,” kata Sapari beberapa waktu.
Pria yang pernah bertugas selama 9 tahun di Badan Narkotika Nasional (BNN) ini, tetap semangat, apapun yang terjadi, berulangkali dia sampaikan, bahwa dia mencari keadilan dan kebenaran demi martabat Anak Istri. Kini, di awal Januari 2020, Drs. Sapari Apt. M.Kes tak kenal lelah, terus mencari keadilan, kebenaran, sekali lagi demi martabat anak isteri.
Sapari menjelaskan, hal ini dilakukan, dalam rangka mendukung transparansi dan penegakan hukum di bidang Obat dan Makanan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam hal ini di Badan POM.
Untuk gugatan pertama, masih dalam proses di tingkat kasasi dan untuk gugatan kedua masih dalam proses banding. Dalam hal ini, meski kalah di Tingkat PTUN dan Pengadilan Tinggi TUN, namun upaya keras Kepala Badan POM menanggulangi perlawanan hukum Sapari dengan mengajukukan kasasi digugatan pertama dan banding digugatan kedua, sudah viral dan menjadi objek perhatian publik terutama pegawai negeri atau para Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebagaimana kutipan pernyataan salah satu Hakim Anggota pada sidang di PTUN yang bernama H. M. Arief Pratomo SH MH yang mengatakan, “Orang punya kewenangan. tapi kewenangan itu dibatasi oleh aturan-aturan lain. Saya sebagai atasan bisa memberhentikan, tapi ada norma lain yang mengatakan pejabat tertentu boleh diberhentikan dalam hal, a, b, c, d, e, ada lima. Kalau alasannya lewat dari itu, boleh saya memberhentikan dari jabatan? Boleh nggak?” kata Hakim Arief.
Jawaban ini kemudian terkuak melalui putusan yang mencatat bahwa Surat Keputusan pemberhentian dan SK Pensiun yang ditandatangani oleh Kepala BPOM Penny K. Lukito selaku atasan Sapari, dinilai hakim tidak sah.
Jejak digital kemenangan Sapari memang belum berkekuatan hukum tetap, namun putusan ini menandai perjuangan Sapari sebagai bawahan yang berintegritas yang telah diberhentikan dan dipensiunkan secara tidak sah; seolah membuktikan, selalu ada jalan bagi tegaknya hukum. keadilan dan kebenaran demi martabat anak dan Istri, di Indonesia. (*)