Penulis: M. Rizal Fadilah, (*)
Lapan6online.com : Aneh memang tidak ada angin tidak ada badai tiba-tiba nelayan yang dikawal Coast Guard China berada di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) perairan Kepulauan Natuna yang sudah dinyatakan PBB sejak tahun 1982 adalah perairan ZEE milik Indonesia. Hak menangkap ikan hanya boleh dilakukan oleh nelayan Indonesia. China menampilkan sikap ngotot seolah memaksakan untuk menguasai perairan Kepulauan Natuna tersebut. Menggertak atau memang serius mengklaim ?
Menteri Pemerintahan Jokowi bersikap beragam. Menlu agak keras, Menhankam lunak, Menko Kemaritiman dan investasi sangat lunak. Namun begitu di hari hari ini tiba tiba Menko Polhukam Mahfud MD mengeras, dan Jokowi sang Presiden jugam seperti siap membela kedaulatan negara. Biasanya kalau sudah sinyal begini nelayan China akan segera pergi. Selesai manuvernya. Adakah kesepakatan diam diam ? Atau memang RRC ketakutan pada sikap pemimpin Indonesia yang “gagah berani” ?
Lalu apa makna manuver China yang jika dipandang sekilas memang seperti kebodohan. Pertama UNCLOS PBB telah menyatakan ZEE Kepulauan Natuna adalah milik Indonesia. Kedua, hubungan Indonesia dengan RRC sedang mesra dalam kerjasama hutang dan investasi. Ketiga, patut diduga Amerika dan sekutunya tidak akan membiarkan China menguasai perairan berdasarkan klaim sepihak terseblut. Jadi apa arti semua ini ?
Muncul analisis yang serba mungkin, yaitu :
Pertama, China tidak bodoh justru ia sedang melakukan tekanan dan selama perundingan diam-diam dengan meminta konsesi yang lebih dari Indonesia.
Kedua, China sedang menguji kesetiaan Pemerintah Indonesia. Masihkah bisa menyebut “negara sahabat”. Ketika dana besar yang digelontorkan berhadapan dengan masalah “kecil” nelayan. Hutang dan investasi adalah alat uji atas cengkeraman China di Indonesia.
Ketiga, aksi solidaritas Uighur mengganggu kebijakan dalam negeri China, sehingga perlu memberi ancaman pada negara yang “ikut campur” urusan dalam negeri China. Bagi China Uighur adalah masalah yang tak bisa diganggu.
Keempat, Pemerintah Indonesia dianggap serakah “main dua kaki” karena coba mencp6nari hutang dan investasi signifikan ke blok Amerika yang membuat gusar China.
Kelima, China memenuhi permintaan tersembunyi Pemerintah Indonesia untuk mengalihkan perhatian dari mega skandal seperti kasus BPJS, Jiwasraya dan kebangkrutan beberapa BUMN.
Keenam, sinyal kekuatan perlindungan bagi warga China diaspora yang mulai gelisah akibat reaksi atas kasus Uighur, kesenjangan sosial, serta gangguan investasi.
Ketujuh, membantu Presiden Jokowi dalam mendongkrak legitimasi dan kewibawaannya. Seolah “teriakan Presiden” lah yang mampu mengusir nelayan China beserta Coast Guard-nya keluar dari perairan Natuna.
Semua serba mungkin dan sebagai “sahabat” tentu China dipastikan ingin merangkul atau dirangkul lebih erat.
Disinilah permainan berbahaya China. Oleh karenanya dari peristiwa Natuna kita mesti semakin waspada.
Rakyat harus berteriak “pergi bersama uang hutangmu..!” atau “Usir tenaga kerja China .!” atau “Tenggelamkan pejabat boneka China..!”. Indonesia adalah negara merdeka.
Bandung, 9 Januari 2020, (*)
*) Penulis adalah Pemerhati Politik.