“Kasus ini saja tercatat sebagian dari para korban mengalami depresi, trauma, bahkan hingga bunuh diri. Belum lagi ancaman penyakit menular seksual.
Jadi, bagaimana agar penyaluran naluri ini tidak berujung kepada perilaku seksual ‘buas’ sebagaimana kasus Reynhard Sinaga?”
Oleh : Dr. Staviera A
Lapan6Online : Dunia dihebohkan dengan kasus Reynhard Sinaga, pria asal Indonesia yang dihukum karena melakukan pemerkosaan terhadap 48 pria muda. Diduga korban lebih banyak lagi yaitu mencapai 195 orang.
Pengadilan di Inggris menyebutkan bahwa ini adalah kasus predator seks terbesar di Inggris atau bahkan di dunia(BBC, 6/1/2020).
Di era kebebasan individu seperti sekarang ini, manusia dianggap bebas melampiaskan naluri seksual sesuai keinginannya.
Terdapat anggapan bahwa ikatan pernikahan antara pasangan lawan jenis sebagaimana perintah agama bukanlah satu-satunya cara untuk menyalurkan naluri ini.
Pandangan agama dianggap kuno, sehingga menghalalkan cara apapun untuk mendapat kepuasan seksual.
Padahal naluri ini merupakan hal alami pada manusia untuk melestarikan jenisnya. Namun, cara melampiaskan yang salah dapat menimbulkan bencana bagi kehidupan manusia, merugikan diri sendiri dan orang lain.
Pada kasus ini saja tercatat sebagian dari para korban mengalami depresi, trauma, bahkan hingga bunuh diri. Belum lagi ancaman penyakit menular seksual.
Jadi, bagaimana agar penyaluran naluri ini tidak berujung kepada perilaku seksual ‘buas’ sebagaimana kasus Reynhard Sinaga?
Tidak cukup dengan berpendidikan tinggi dan tahu agama. Diperlukan kontrol diri yang kuat untuk tetap berada koridor yang aman dalam menyalurkan naluri seksual. Serta dukungan dari lingkungan dan negara yang menjaga agar individu tidak ‘beringas’.
Hal ini cukup sulit dalam lingkungan hidup sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan. Manusia bisa jadi memiliki agama, namun hanya ibadah ritual saja.
Sekulerisme lahir dari sebuah keinginan untuk bebas dari koridor agama, termasuk dalam perilaku seksual. Ada sebuah anggapan manusia akan bahagia kehidupan sehari-harinya jika lepas dari koridor agama.
Padahal, kebebasan individu yang memberi rasa nikmat sementara itu seringkali disertai efek samping yang dampaknya mengenai masyarakat.
Menurut Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel, korban pemerkosaan laki-laki menimbulkan efek traumatis lebih tinggi, berpotensi depresi, bahkan korban bisa melakukan hal serupa di kemudian hari (Liputan6.com, 9/1/2020)
Apalagi perilaku buas dari predator seks ini menjajal ratusan korban pria muda usia akhir belasan hingga 20 tahun, di bawah pengaruh obat yang menyebabkan korban berkurang kesadarannya. Beberapa korban bahkan diperkosa hingga beberapa kali. Tidak terkira seberapa besar dampak di kemudian hari, apalagi jika korban melakukan hal serupa di masa depan. Kacau!
Mengakhiri lahirnya predator seks tidak cukup hanya menekankan aturan untuk kekerasan seksual seperti Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Namun perlu menyoroti akar masalahnya yaitu pandangan dasar tentang kebebasan melampiaskan naluri seksual. Kembali kepada norma agama sebenarnya adalah solusi praktis dan manusiawi bagi orang-orang yang mau berpikir.
Islam memiliki aturan seputar penyaluran naluri seksual, salah satunya dalam Surat Al-Mu’minuun ayat 5-7 yang artinya, “Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”.
Selain itu, terdapat aturan rinci lainnya terkait adab hubungan intim yang akan mencegah terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga. Terdapat pula larangan untuk penyuka sesama jenis dalam terjemah Surat Al-A’’raaf ayat 81 “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.
Pemahaman di atas beserta dasar aqidah yang kuat dalam seorang individu akan menjaganya dari perilaku seks buas. Selain itu, diperlukan peran masyarakat yang menjalankan kontrol sosial dan negara yang menjaga warga dari berbagai stimulus seksual seperti akses pornografi di berbagai media massa serta pemberian hukuman yang tepat bagi predator seks. GF
*Penulis adalah Praktisi kesehatan, tinggal di Purwakarta