“Sikap kompromi inilah yang saat ini sedang gencar dipropagandakan di negeri-negeri kaum muslim dengan konsep moderasi Islam,”
Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd
Lapan6Online : Prof. Abdul Mustaqim, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan, penafsiran terhadap Al-Qur’an dan hadits yang mengedepankan moderasi sangat penting dilakukan. Dia menilai tafsir Al-Qur’an yang moderat dapat mencegah menyebarnya ajaran radikalisme di Indonesia.
Dia melihat beberapa penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an dan hadits ada yang cenderung tidak moderat. Karena itu, dia pun menawarkan sebuah metodologi untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dan hadits secara moderat, yaitu tafsir maqashidi.
Menurut dia, tafsir maqashidi ini basis dari moderasi Islam. Di satu sisi tafsir maqashidi tetap menghargai teks, tetapi di sisi lain juga akan menangkap makna di balik teks tersebut. https://m.republika.co.id/berita/q40ozc366/tafsir-alquran-moderat-dinilai-dapat-cegah-radikalisme
Menarik sekali membaca kutipan dialog yang terjadi tanpa sengaja antara Imam Besar Masjid New York Imam Shamsi Ali dengan seorang non muslim dalam perjalanan beliau dari rumah ke kota. Berikut petikan dialog mereka yang dikutip dari www.republika.co.id :
Saat itu, kebetulan kereta bawah tanah lagi sepi, dan tiba-tiba orang (non muslim) itu bertanya ke saya (Imam Shamsi Ali) : “Where are from? “
Setelah saya jawab : “I am from Indonesia”, dia mengubah bahasanya dari Inggris ke Indonesia dengan terbata-bata : “Oh bagus. Saya pernah pergi ke Indonesia.”
Saya pun bertanya lebih lanjut : “So do you like Indonesia?” “Iyaaa…saya suka”, jawabnya masih dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Entah apa di benaknya tiba-tiba bertanya tentang agama. Hal ini sesungguhnya rada-rada asing di Amerika. Agama dianggap urusan pribadi dan tidak perlu diumumkan, apalagi ditanyakan.
“So are you a muslim?” tanyanya.
Mungkin karena saya merasakan kedekatan dalam waktu singkat itu, apalagi orangnya memang cukup ramah, saya spontan menjawab : “Yes of course.”
Dia kemudian agak serius, lalu bertanya : “What kind of Islam do you follow? It is a radical or moderate one?”
Entah karena saya tersinggung atau karena sensitifitas saya, saya balik bertanya : “Are you a Christian? Moderate or radical Christianity?”
Orang itu melihat ke saya, walau berusaha tersenyum, tapi tampak di wajahnya ketidaksenangannya dengan pertanyaan itu. Dia kemudian menjawab : “Christianity I assume is a moderate religion.”
Saya lalu ingin tahu apa defnisi dia tentang moderasi dan radikalisme. Mendengar pertanyaan saya itu dia hanya diam. Tapi mungkin karena terlanjur memulai percakapan itu dia menjelaskan : “Moderate are those who live their lives as any one else. Dress as others, partying as others, eating and drinking as others, marrying as others.” https://republika.co.id/berita/opgnlt396/memahami-moderasi
Definisi dan arti kata moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengurangan kekerasan. Arti lainnya dari kata moderasi adalah penghindaran keekstriman.
Apa yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata ‘kekerasan’? Jihad, khilafah, qishas, rajam dan semisalnya? Apa yang tersirat dalam benak ketika mendengar kata ‘keekstriman’? Cadar, celana cingkrang, jenggot, jidat hitam, jilbab longgar, kerudung besar dan serupanya?
Beberapa tahun terakhir, tudingan radikal dan ekstrim memang acapkali disematkan pada beberapa ajaran Islam, sebagaimana contoh-contoh yang disebutkan di atas.
Moderasi lalu dipandang perlu dilakukan atas beberapa ajaran Islam yang dianggap radikal dan ekstrim dengan tujuan menjadikan Islam yang pertengahan atau moderat yakni Islam yang toleran dan tidak kaku.
Sejarah kata moderat atau jalan tengah berawal dari konflik antara pihak gerejawan dan kaum revolusioner pada masa abad pencerahan di Eropa.
Pihak gerejawan menginginkan dominasi agama dalam kehidupan rakyat. Sedangkan kaum revolusioner yang berasal dari kelompok filosof menghendaki penghapusan peran agama dalam kehidupan.
Akibatnya lahirlah sikap kompromi yang dikenal dengan istilah sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Sikap kompromi inilah yang saat ini sedang gencar dipropagandakan di negeri-negeri kaum muslim dengan konsep moderasi Islam.
Robert Spencer – analis Islam terkemuka di AS – menyebut kriteria yang lebih detail tentang seseorang yang dianggap sebagai muslim moderat antara lain : menolak pemberlakuan hukum Islam pada non muslim, meninggalkan keinginan untuk menggantikan konstitusi dengan hukum Islam, menolak supremasi Islam atas agama lain, menolak aturan bahwa seorang muslim yang beralih pada agama lain (murtad) harus dibunuh, mendorong kaum muslimin untuk menghilangkan larangan nikah beda agama dan lain-lain.
https://www.penapejuang.com/2020/01/moderasi-tafsir-al-quran-upaya.html?m=1
Dengan demikian, maka perlukah moderasi dalam ajaran Illahi? Alih-alih perlu, moderasi dalam ajaran Ilahi justru haram dilakukan. Karena moderasi Islam adalah upaya sekularisasi dalam rangka kompromi yang hakikatnya menjauhkan syariat Islam yang sempurna dari kehidupan kaum muslimin.
Contoh upaya yang saat ini kerap dilakukan adalah melakukan penafsiran ulang terhadap sebagian ajaran Islam yang sebenarnya sudah pasti, seperti : superioritas Islam atas agama dan ideologi lain (QS. Ali Imran : 85); kewajiban berhukum dengan hukum syariah (QS. Al-Maidah: 48); keharaman wanita muslimah menikah dengan orang kafir (QS. Al-Mumtahanah : 10) dan sebagainya.
Akibatnya umat menjadi ragu dan jauh dari pemahaman Islam yang hakiki.
Mereka menjadi muslim yang tidak mempunyai jatidiri karena berpola pikir dan bersikap ala barat.
Padahal Allah SWT telah menjamin kesempurnaan agama ini sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 3 : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” Karena itu Islam jelas tidak membutuhkan agama atau ajaran agama lain.
Paham radikalisme selalu dituduh sebagai sumber permasalahan, padahal justru akibat tidak diterapkannya Islam secara menyeluruh atau kaffah lah yang menjadi biang keladi permasalahan.
Islam diaplikasikan hanya mengatur akidah, ibadah dan akhlak, tetapi tidak mengatur dalam hal ekonomi, pemerintahan, sosial, pendidikan, peradilan dan sanksi hukum serta politik luar negeri.
Padahal Islam adalah agama sekaligus ideologi yang mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, diri sendiri dan sesamanya.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” Karena itu, menolak sebagian hukum Allah SWT dan menerima sebagian hukum yang lain adalah salah satu bentuk kemunkaran.
Sebagai penutup, ada sebuah meme yang sudah puluhan kali dibagi para netizen di salah satu laman sosial media bisa menjadi bahan renungan kita bersama : “Jadilah Islam yang biasa-biasa saja!” “Islam yang biasa-biasa saja itu seperti apa?” GF