Jakarta, lapan6online.com : Pemerintah tengah menggenjot Omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau yang kini disebut dengan RUU Cipta Kerja yang justru dinilai tidak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia.
Penolakan pun terus bermunculan. Omnibus Law ini menuai polemik di masyarakat. Khususnya tentang pasal 170 yang menyatakan presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah (PP) guna mengubah ketentuan UU.
Pasal ini dianggap tidak sesuai dengan hirarki konstitusi, di mana yang bisa mengganti atau mengubah UU hanya UU baru dan peraturan perundang-undangan (Perppu) yang kemudian harus disetujui DPR.
Selain itu, juga ada pasal 166 untuk mengubah pasal 251 dalam UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 166 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan dan peraturan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dapat digugurkan oleh peraturan presiden (Perpres).
Publik semakin bertanya-tanya setelah Menko Perekonomian Airlangga dengan tegas menyebut pasal itu ditujukan untuk mencegah presiden dari pemakzulan.
Penegasan Airlangga Hartarto itu sontak membuat Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule kaget. Sebab, tujuan dari omnibus law yang semula untuk mensejahterakan rakyat sudah berbelok.
“Gila. Omnibus law rupanya bukan untuk mensejahterakan atau beri kepastian hukum, tapi untuk beri kekuasaan lebih kepada presiden agar tak di-impeach,” ujarnya kepada redaksi, lansir situs politik RMOL.id, Kamis (20/2/2020) kemarin.
Lebih lanjut, Iwan Sumule mengingatkan agar pemerintah segera kembali ke lajur utama untuk mensejahterakan rakyat. Termasuk, memberi kepastian hukum yang sesuai dengan hirarki konstitusi di Indonesia.
“Ingat. Investor juga enggan investasi karena bukan hanya soal buruh. Tapi korupsi tinggi, birokrasi berbelit dan aturan yang selalu berubah,” pungkasnya.
Penolakan KSPI
Sebelumnya, pernyataan keras juga muncul dari Presiden KSPI, Said Iqbal. Dalam konferensi pers-nya, Said berpendapat RUU ini berpotensi untuk memperdagangkan manusia. Dia juga menyebut RUU ini justru menguntungkan tenaga kerja asing (TKA) yang akan bebas masuk ke Indonesia.
“RUU ini jelas bahwa agen outsourcing resmi diberikan negara, bayangin gila agen outsourcing berarti memperdagangkan manusia. Itu diberi ruang resmi sama konstitusi. Agen outsourcing nggak ada otaknya itu, pemerintah dan pengusaha itu, saya nggak tahu ya siapa yang dimaksud pemerintah dan pengusaha. Tapi kalau baca RUU itu nggak ada otak, memberi ruang orang memperjualbelikan dalam bentuk agen itu dikasih, dibenarkan oleh konstitusi,” katanya.
“Sekarang kita jelaskan detailnya, memang di situ (draf) dibilang ada upah minimum tapi itu bohong semua. Diputar-putar. Ini konseptor pembuat undang-undang hebat ini, dibuat pisah-pisah. Pasalnya dipecah seolah-olah di UU Nomor 13 tetap ada,” imbuhnya.
Dia pun memaparkan adanya 9 alasan KSPI menolak RUU Cipta Kerja. 9 alasan itu adalah:
1. Hilangnya upah minimum,
2. Hilangnya pesangon,
3. Penggunaan outsourching yang bebas, semua jenis pekerjaan dan waktu yang tidak terbatas,
4. Penggunaan karyawan kontrak yang bebas,
5. Jam kerja yang ‘eksploitatif’,
6. Potensi Penggunaan TKA buruh kasar,
7. PHK yang dipermudah,
8. Hilangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun,
9. Sanksi pidana dihilangkan.
(*/Red/Lapan6online.com)