Untungkan Kelompok Berduit, Rizal Ramli: Omnibus Law jauh dari Kemakmuran Rakyat

0
93
Ilustrasi : Mas Beng

Jakarta, Lapan6online.com : Omnibus Law terus mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat. Terutama para buruh dan tokoh nasional serta ekonom. Salah satunya yang lantang berbicara “keburukan” Omnibus Law adalah Rizal Ramli.

Tokoh nasional sekaligus teknokrat senior dan ekonom Rizal Ramli dalam dialog di TV One Kamis ini mengingatkan pemerintah bahwa Omnibus Law banyak kelemahan, cuma gelembung dan kelihatan hebat bungkusnya, tapi minimum dampaknya dan substansi isinya nyaris tidak ada.

Bahkan banyak ‘penumpang gelap’ dalam rancangan Omnibus Law, yang semakin menjauhkan keadilan & kemakmuran untuk rakyat.

“Tidak ada basis kuantitatif berapa pertumbuhan ekonomi akan meningkat, berapa lapangan kerja yang akan diciptakan, berapa investasi bakal masuk, dan bagaimana dengan usaha pertambangan yang waktunya sudah habis, kok malah diperpanjang lagi dengan Omnibus Law dan lain sebagainya,” ujar RR, Menko Ekuin era Presiden Gus Dur seperti dilansir situs nasional Konfrontasi.com, Jumat (6/3/2020).

Omnibus Law itu juga tidak lebih dari ‘Bus Sewaan’ untuk kelompok yang punya uang, pengusaha pertambangan dan kelompok vested interest lain serta berpotensi melanggar hukum/UU.

RR juga mengingatkan, Omnibus law itu dikhawatirkan justru menghapus ketentuan yang justru dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan investasi dan penyediaan lapangan kerja.

Untungkan Kelompok Berduit

Para analis mencatat, Omnibus Law hanya untungkan kelompok yang berduit itu termasuk para taipan dan konglomerat hitam. Selain itu, Omnibus law menimbulkan banyak mudharat seperti kajian Agil Oktaryal, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia serta Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera:

Pertama, Omnibus law mengabaikan ketentuan formal pembentukan undang-undang. Sifatnya yang cepat dan merambah banyak sektor dikhawatirkan akan menerobos beberapa tahapan dalam pembentukan undang-undang, baik di tingkat perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, maupun pengundangan.

Pelanggaran ini bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menghendaki segala tindakan pemerintah didasari hukum.

Kedua, omnibus law mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Dalam praktik di beberapa negara, pembentukan undang-undang omnibus law didominasi oleh pemerintah atau DPR. Materi dan waktu pengerjaannya pun bergantung pada instansi tersebut. Biasanya undang-undang diusahakan selesai secepat mungkin, bahkan hanya dalam satu kesempatan pengambilan keputusan.

Akibatnya, ruang partisipasi publik menjadi kecil, bahkan hilang. Padahal prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam membuat undang-undang adalah roh utama dalam negara demokratis. Pelanggaran atas prinsip ini tentu sangat mengkhawatirkan.

Ketiga, omnibus law bisa menambah beban regulasi jika gagal diterapkan. Dengan sifatnya yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang, pembahasan undang-undang omnibus law dikhawatirkan tidak komprehensif.

Pembahasan akan berfokus pada undang-undang omnibus law dan melupakan undang-undang yang akan dicabut, yang akan menghadirkan beban regulasi lebih kompleks. Misalnya, bagaimana dampak turunan dari undang-undang yang dicabut, dampak terhadap aturan pelaksanaannya, dan implikasi praktis di lapangan. Belum lagi jika undang-undang omnibus law ini gagal diterapkan dan membuat persoalan regulasi semakin runyam.

Dalih lex posterior derogat legi priori (hukum baru mengesampingkan hukum lama) saja tidak cukup karena menata regulasi tidak bisa dengan pendekatan satu asas.

(*/RedHuge/Lapan6online.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini