Adanya ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional, dan biang keroknya adalah World Health Organization alias WHO.
Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute. (*)
Lapan6online.com : Pada 2005 dunia kesehatan Indonesia gempar, karena muncul penyakit baru, Flu Burung namanya. Dr Siti Fadilah Supari, baru sekitar setahun menjabat Menteri Kesehatan, tentu saja merasa terpukul. Namun jiwa hasrat dan passion-nya yang sejatinya merupakan seorang peneliti, rasa penasaran untuk mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di balik penyebaran Flu Burung, jauh lebih kuat daripada rasa gusarnya. Apalagi sebelumnya pada 2004, Flu Burung juga menerjang Vietnam, Thailand dan Cina.
Namun bagi Supari, munculnya Flu Burung, telah menyadarkan dirinya, ada sesuatu yang tidak beres dalam tata kelola kesehatan yang ditangani oleh WHO. Bermula di saat Supari galau bagaimana mengatasi penyebaran virus Flu Burung yang begitu cepat, tiba-tiba berdatanganlah para pedagang farmasi menawarkan apa yang dinamakan rapid diagnostic test yang sumbernya berdasarkan virus strain Vietnam. Dan ini yang kemudian memancing kecurigaan Supari, para pedagang tersebut juga menawarkan vaksin untuk menyembuhkan Flu Burung. Yang tentunya sumbernya juga berasal dari virus strain Vietnam.
Buat Supari ini hanya berarti satu hal: Adanya ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional, dan biang keroknya adalah World Health Organization alias WHO.
Betapa tidak. WHO selama hampir 50 tahun, memberlakukan ketentuan apabila ada penduduk yang menderita penyakit Influenza , lalu kemudian meninggal, maka virus dari penderita tersebut sampelnya diambil dan dikirim ke WHO CC (WHO Collaborating Center), untuk dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.
Dan ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri maju, negara-negara kaya yang tidak punya kasus Flu Burung pada manusia. Tragisnya lagi, vaksin itu kemudian dijual ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Maka melalui tragedi Flu Burung ini, kesadaran baru muncul pada benak Supari. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan, Supari mulai mengambil kebijakan melarang pengiriman virus Influenza kepada WHO. Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN(Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Masak iya, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal flu) harus mengirimkan specimen virus secara sukarela, tanpa protes sama sekali. Betapa tidak. Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh dunia secara komersial. Alangkah tidak adilnya, begitu menurut pikiran wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut.
Selain gusar mengapa tak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang berani protes atas aturan yang tidak adil tersebut, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tersebut juga mulai mencurigai adanya konspirasi internasional di balik Flu Burung tersebut. Siapakah sesungguhnya yang memperdagangkan virus seasonal flu? Negara-negara penderita mengirimkan virus dengan sukarela ke GISN-nya WHO, tetapi mengapa kemudian tiba-tiba perusahaan pembuat virus memproduksinya? Dimana mulai diperdagangkan.
Dan ini yang paling penting: Ada hubungan apa antara WHO, GISN dan perusahaan pembuat vaksin? Pokoknya ada yang tidak beres lah. Karena belakangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini tahu, bahwa Flu Burung yang berasal dari virus jenis H5N1, WHO juga menerapkan peraturan yang sama. Artinya, negara-negara yang diterjang penyakit Flu Burung, maka harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC. Tapi setelah itu? Negara pengirim tidak pernah tahu, untuk apa dan diapakah virus tersebut. Dan dikirim kemana virus tersebut?
“Apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata biologis? Kepada siapa saya harus bertanya? Apa hak dari si pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan negara miskin. Begitulah kegusaran Supari sebagaiman terdokumentasi dalam buku karyanya bertajuk “Saatnya Dunia Berubah.”
Sederet pertanyaan yang berada di benaknya, mendorong Supari meminta pendapat Sangkot Marzuki, memang ahlinya untuk menjawab soal ini. Menurut Marzuki, ternyata para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC, yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico.
Terungka bahwa selama ini data sequencing H5N1 yang kita kirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, yang jumlahnya hanya sedikit, barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti. Yang menariknya lagi, 4 dari 15 on berasal dari WHO CC, dan sisanya entah berasal dari mana.
Barang tentu, fakta ini bikin Supari Shock. Karena laboratorium Los Alamos ini berada dalam kendali Kementerian Energi, Amerika Serikat. Dan di Los Alamos inilah, dulu pada saat Perang Dunia II sedang panas-panasnya, di Laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Tentu saja ketertutupan informasi dan ketidakmampuan pihak luar untuk mengakses apa yang terjadi di Alamos, bisa berbahaya sekali. Karena masyarakat tidak tahu apakah virus H5N1 itu akan dibiuat vaksin, atau jangan-jangan malah dibiuat senjata kimia. Sepenuhnya tergantung mereka-mereka yang berwenang mengendalikan Los Alamos seperti Kementerian Energi dan Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Setelah memahami sepenuhnya konteks sesungguhnya dari apa yang mencuat di balik penyebaran Flu Burung tersebut, Supari sejak itu bertekad untuk membebaskan ketertutupan infomasi ilmiah tersebut. Maka dengan bantuan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI), Supari dengan didampingi oleh Sangkot Marzuki, kemudian memutuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok Ilmuwan saja.
Langkah berikutnya, Supari melayangkan surat kepada WHO agar Indonesia, tentunya melalui Kementerian Kesehatan, agar dapat diberikan data sequencing virus yang sempat menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Dan rupanya WHO untuk soal ini menangapi positif. Tak lama kemudian, WHO mengirim data sequencing virus Tanah Karo.
“Maka sejak saat itu, 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mengawali ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Yakni dengan cara mengirim data yang tadinya disimpan di WHO, dikirim pula ke Gene Bank,” begitu penegasan penuh semangat dari Supari lewat bukunya.
Kembali ke soal Alamos, ada yang aneh dan misterius. Tak lama setelah Supari menuntut data virus Tanah Karo, laboratorium Los Alamos sudah ditutup dan tidak ada lagi. Menurut kabar yang santer terdengar, penyimpanan data sequencingnya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon.
Mengerikan bukan? Karena itu berarti 58 virus H5N1 Indonesia juga tersimpan di sana. Bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos.
Inilah yang mendasari kebijakan Menteri Kesehatan Supari untuk menolak mengirim virus Influenza, dan khususnya H5N1 kepada WHO. Dan sini pula keanehan baru segera terungkap.
“Mengapa yang saya tuntut WHO, kok kemudian yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat? Tadinya saya heran. Tapi sekarang tidak heran lagi,” tutur Supari.
Dalam analisis Supari, skenarionya kemungkinannya seperti ini: Virus dari affected countries (negara yang tertular) dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu.
Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun ada kemungkinan yang jauh lebih mengkahwatirkan: Karena bisa jadi virus tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat senjata kimia/senjata biologis.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, Supari dalam kapasitas sebagai Menteri Kesehatan, sejak 20 Desember 2006, memutuskan untuk menghentikan pengiriman specimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO CC, selama mekanismenya masih mengikuti GISN.
Menurut Supari, mekanisme GISN yang imperialistik tersebut harus dirubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara-negara penderita yang notabene negara berkembang dan miskin, tidak dirugikan seperti sekarang ini.
Maka sejak saat itu pula, gerakan Supari tidak sebatas menyatakan sikap dan pendirian pemerintah terhadap WHO, melainkan melangkah lebih jauh lagi, menggalang dukungan internasional untuk memperjuangkan agendanya tersebut. Berjuang melawan Ketidakadilan WHO.
Perlawanan Supari terhadap WHO, rupanya benar-benar menggetarkan pusat urat syaraf (nerve center) WHO dan berbagai komponen strategis AS yang berada di belakang WHO. Sehingga WHO kemudian menurunkan David Heymann, Asisten Direktur Jenderal WHO yang menangani Flu Burung, untuk mendesak agar Indonesia tetap mengirimkan seasonal vaccine yang menurut Heymannn Indonesia tidak butuh-butuh amat.
Selanjutnya Heymann juga mendesak Menteri Kesehatan agar Indonesia patuh dengan menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1. Dia menjanjikan akan membantu kebutuhan dana dan bantuan teknis kepada Indonesia, asalkan tunduk dan patuh pada mekanisme GISN WHO.
Singkat cerita, Supari dengan tegas menolak, dengan alasan Indonesia sekarang punya agenda sendiri yang berada di luar skema WHO, apalagi yang mengacu pada mekanisme GISN. Karena WHO dalam pandangannya ada kepentingan terselubung di dalamnya.
Maka, pada Sidang World Health Assembly(WHA) Mei 2007, Supari mulai meluaskan gerakannya melawan WHO secara internasional. Dalam Sidang WHA-60 di Komisi A, delegasi Indonesia mengajukan draf resolusi berjudul: Responsible Practices for Sharing Avian Inflluenza Viruses and Resulting Benefits.
Dan hasilnya cukup menakjubkan. Resolusi Indonesia didukung 23 negara co sponsor: Iran, Korea Utara, Vietnam, Irak, Kuba, Palestina, Saudi Arabia, Malaysia, Kamboja, Timor-Leste, Sudan, Myanmar, Maldives, Peru, Brunei Darussalam, Algeria, Qatar, Laos, Solomon Islands, Bhutan, Kuwait, Bolivia, dan Pakistan.
Amerika Serikat, melalui draft resolusinya mengajukan judul: Mechanisme to Promote Access to Influenza Pandemic Vacvine Production, kemudian berbenturan head to head dengan Indonesia.
Namun akhirnya Indonesia menang, berkat dukungan 24 negara-negara anggota WHO, mekanisme virus sharing menurut GISN WHO dinyatakan tidak berlaku lagi.
Maka, dengan dukungan 24 negara, Indonesia tercatat sejarah akhirnya mampu mengajukan perobahan mekanisme atau aturan dari organisasi global sekelas WHO. Aturan GISN-WHO yang sudah mapan selama 50 tahun dan mengandung aroma ketidakadilan, dan merugikan negara-negara berkembang, akhirnya berhasil direformasi berkat kepeloporan Indonesia. (*)
*Sumber Publish: theglobal-review.com