“Kami menyembah Tuhan Ganesha, dan mungkin ada operasi plastik pada saat itu yang membuat kepala dari gajah menyambung pada tubuh manusia. Ada banyak area dimana leluhur kita membuat kontribusi besar.” Narendra Modi, 2014.
Oleh: Beggy Rizkiansyah, Kolumnis Kiblatnet, (*)
Lapan6online.com : Narendra Modi, Perdana Menteri India yang sangat kontroversial tidak sedang bercanda. Ia berkata demikian pada acara inagurasi sebuah rumah sakit di Mumbai. Modi juga tidak sedang bercanda ketika dalam pemerintahannya menggelorakan nasionalisme Hindu di India yang berdampak pada diskriminasi dan kerusuhan yang terjadi baru-baru ini.
Muhammad Zubair adalah salah satu korban yang merana di New Delhi. Ia baru saja pulang dari masjid ketika melihat kerumunan orang. Berputar arah, ia justru terjebak dalam kepungan massa yang mulai menghajar dirinya. Zubair selamat. Tetapi di New Delhi terjadi kerusuhan agama yang memburu umat Islam di sana.
Massa yang terlibat dalam protes pro dan kontra UU Kewarganegaraan yang diskriminatif terhadap umat Islam, berubah menjadi kerusuhan. UU ini memberikan kemudahan bagi para imigran memperoleh kewarganegaraan India dengan mengecualikan agama Islam. Pemakaian agama sebagai kriteria sebenarnya sudah melanggar konstitusi India yang sekular dan melarang diskriminasi agama.
Buntut diskriminasi ini undang-undang ini menjadi jelas ketika di Assam, Timur laut India mengadakan registrasi kependudukan nasional (NRC). Pendaftaran pada wilayah yang mayoritas penduduknya adalah Muslim ini membuat 1,9 juta orang yang sebagian besar muslim dianggap ilegal dan terancam tak memiliki kewarganegaraan (stateless).
Tak cukup hanya itu, pemerintahan Modi juga mencabut status otonomi khusus di Kashmir, tempat dimana penduduknya mayoritas adalah Muslim. Pencabutan ini berdampak pada kerusuhan dan isolasi represif yang terjadi di Kashmir. UU kewarganegaraan ini menjadi satu perubahan penting yang menggeser India yang sekular menjadi negara hindu. Membuat sekitar 200 juta warga Muslim India menjadi penduduk kelas dua.
Periode kedua pemerintahan Modi memang membuat umat Islam di India sengsara dengan nasionalisme-Hindu-nya. Tetapi Modi hanyalah kendaraan dari ideologi yang melatar belakangi pasang naik gerakan ini. Ideologi di balik Modi dan para pendukungnya adalah Hindutva.
Istilah Hindutva dicetuskan oleh Vinayak Damodar Savarkar, yang berarti Hindu-tattava atau ke-Hindu-an. Menurut Savarkar, seorang hindu adalah mereka yang menanggap bahwa Negeri Hindustan membentang dari samudra sampai sungai Sindhu sebagai tanah airnya dan tanah suci dan mengidentifikasi dirinya dengan budaya negeri tersebut. Konsep ini jelas mengecualikan Muslim dan Kristen yang tanah sucinya adalah Mekkah dan Yerusalem.Sehingga saat ini Muslim dan Kristen dianggap berupaya menghancurkan yang mereka sebut budaya (Hindu) nasional India. (Yogesh sneshi: 2003)
Konsep Hindutva berakar dari anggapan bahwa invasi Muslim ke India dan hendak menghapuskan ras Hindu dari India dengan pemaksaan dan penipuan. ‘Rasa takut’ akan islamisasi yang hendak menghapuskan budaya Hindu kerap dimainkan sebagai strategi menyebarkan ideologi Hindutva. (Yogesh sneshi: 2003)
Damodar Savarkar memang pencetus ideologi Hindutva, tetapi di tangan pengikutnya, Madash Sadashiv Golwakar, dari RSS yang mengarahkan ideologi ini. Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) adalah organisasi masyarakat berideologi Hindutva. RSS didirikan oleh Keshav Baliram Hedgewar (1889-1940) di Nagpur pada Festival Vijayadashami tahun 1925. Golwakar kemudian mengambil alih RSS pada tahun 1940 dan terus memimpin hingga ia wafat pada tahun 1973. 7 tahun kemudian dibentuklah Bhartiya Janata Party (BJP), kendaraan politik RSS yang juga partai Modi. BJP berasal dari rahim sayap politik RSS, Bhartiya Jan Sangh (1951-1977). (Yogesh sneshi: 2003)
Agama Hindu pada dasarnya tidak memiliki lembaga seperti gereja dan tidak dipimpin oleh satu pihak tertentu. Namun di tangan RSS, mereka menjadi semacam penafsir ajaran Hindu dan arsitek dari negara-hindu. Setidaknya RSS memiliki 4 juta relawan. Padahal pada tahun 1980-an, jika ada pendukung dari ABVP (sayap mahasiswa RSS), maka mereka akan malu untuk menunjukkan identitasnya.
Lalu segalanya berubah di tahun 1990-an ketika Masjid Babri dihancurkan. RSS selama bertahun-tahun mengklaim Masjid Babri (yang didirikan pada abad ke-16) berdiri di atas tempat kelahiran Dewa Ram. Lokasi tersebut menurut RSS seharusnya berdiri kuil, bukan Masjid yang dibuat oleh raja penjajah Muslim.
Pada akhir 1990, seorang pemimpin BJP berkeliling India selama dua bulan dengan mobil Toyota untuk berkampanye untuk menggantikan Masjid Babri dengan kuil. Di dalam mobil Toyota itu, seorang yang mengurus soal logistiknya adalah Narendra Modi.
Pada tahun 1992, kerumunan orang dari RSS dan BJP menyerang Masjid Babri. Beberapa minggu berikutnya, kerusuhan pecah di India terutama di Mumbai. Dua ribu orang tewas. Obsesi BJP terhadap Babri memang menumpahkan darah, tetapi mereka berhasil menuai modal politik. Pada tahun 1996, untuk pertama kalinya BJP naik ke tampuk kekuasaan.
RSS kini adalah organisasi besar. Mereka memiliki badan relijius bernama Vishwa Hindu Parishad (VHP). Ada pula sayap perempuan mereka Durga Vahini. (Yogesh sneshi: 2003) Tetapi yang terpenting adalah sayap pemuda RSS, yaitu Akhil Bharatiya Vidya Parishad (ABVP).
ABVP kini bukan saja menjadi organisasi pemuda yang berpengaruh di kampus, tetapi juga menjadi organisasi bernaungnya pemuda dengan kekerasan terhadap lawan minoritas khususnya Muslim. 5 Januari kemarin, puluhan massa ABVP merangsek masuk ke Jawaharlal National University (JNU), memburu dan memukuli mahasiswa Muslim. Di kampus negeri yang berkiblat sekular tersebut massa ABVP membawa batang besi, batu dan tongkat pemukul Kriket. Mereka meneriakkan slogan “tembak pengkhianat negara!” (Samanth Subramanian: 2020)
Di JNU, saat ini pengaruh RSS meningkat pesat. Posisi-posisi di kampus diduduki orang-orang yang memiliki hubungan dengan RSS atau ABVP. Pada tahun 2017, kepala kementerian yang membawahi JNU dijabat oleh penganut Hindutva garis keras, Yogi Adityanath. Setahun sebelumnya, pemerintahan Modi menunjuk Jagadesh Kumar sebagai rektor JNU. Ia adalah loyalis RSS. Hal ini adalah bagian dari kampanye lebih luas dari pemerintah untuk melakukan penetrasi ke universitas dan institusi budaya. (Samanth Subramanian: 2020) Seakan itu semua belum cukup, RSS merasa ideologi Hindutva perlu menemukan akarnya dalam sejarah India.
Sejarah Ditulis Ulang
Ideologi Hindutva kemudian dirasa perlu berakar dengan menulis kembali sejarah India. Penulisan sejarah ini bukan dilakukan secara sporadis, tetapi menjadi sistematis ketika pemerintah Modi menjadi pihak yang memulainya. Laporan Reuters menyebutkan bahwa nasionalis Hindu dan tokoh senior di partai Modi, Bharatiya Janata Party (BJP), menolak ide bahwa India terbentuk dari migrasi massal. Mereka percaya populasi Hindu saat ini adalah keturunan langsung dari penghuni pertama. Juru bicara RSS, Manmohan Vaidya mengatakan bahwa untuk mengadakan perubahan budaya diperlukan penulisan ulang sejarah. (Reuters, 2018)
Hal ini disambut oleh Menteri Kebudayaan kabinet Modi, Mahesh Sharma. Di bawah Sharma, mereka membentuk satu komite untuk menulis ulang sejarah India. Terdiri dari 14 anggota yang berasal dari birokrat dan akademisi, komite ini melakukan riset untuk menulis ulang beberapa aspek sejarah kuno India. Menurut ketua komite, sangat penting untuk menetapkan hubungan antara naskah Hindu kuno dengan bukti bahwa peradaban India ribuan tahun yang lalu. Artinya: setiap kejadian dalam teks Hindu adalah nyata, dan penganut Hindu saat ini adalah keturunan dari masa itu. (Reuters, 2018)
Upaya pembuktian dari teks ajaran Hindu tersebut diamini oleh Menteri Kebudayaan, Sharma. Menurut Sharma, “Saya menyembah Ramayana dan Saya pikir itu adalah dokumen historis. Orang-orang yang berpikir hal itu fiksi sangat keliru.” (Reuters, 2018)
Keinginan Sharma mungkin tak sulit diikuti, Sebab komite itu bertanggung jawab kepada Sharma. Sharma juga terlibat diskusi intens tentang penulisan (ulang) sejarah India ini dengan Balmukund Pandey, kepala divisi riset sejarah dari RSS. (Reuters, 2018)
Hasil dari komite ini akan membawa perubahan pada kurikulum di sekolah-sekolah di India. Siswa akan diajarkan bahwa India bukanlah berasal dari migrasi massal. Buku-buku pelajaran di sekolah akan direvisi lewat hasil komite. Bukan satu persoalan, sebab kementerian yang bertanggung jawab untuk masalah Pendidikan dikepalai Prakash Javadekar, seorang pengikut RSS. (Reuters, 2018)
“Kami akan menanggapi serius setiap rekomendasi dari Kementerian Kebudayaan. Pemerintah kami adalah pemerintahan pertama yang berani untuk mempertanyakan setiap versi sejarah yang diajarkan di sekolah dan kampus,” tegas Javadekar.
“Jika Qur’an dan Alkitab dianggap sebagai bagian dari sejarah, lalu apa masalahnya menerima teks relijius Hindu sebagai bagian dari sejarah India?” Tanya Sharma. (Reuters, 2018)
Jejak Sejarah Islam Dihapus
Upaya perombakan sejarah bukan saja dilakukan pada kurikulum Pendidikan, tetapi juga nama-nama tempat yang terkait dengan sejarah. Pada Agustus 2018, pemerintahan BJP mengubah nama stasiun Mughalsarai Junction Railway Station menjadi nama ideolog Hindutva, yaitu Deen Dayal Upadhyaya. Tentu saja hal ini dilakukan karena ingin menghapus jejak dinasti Muslim Mughal.
Sebelumnya pada tahun 2015, BJP mengubah nama Jalan Aurangzeb yang diambil dari pemimpin dinasti Muhgal menjadi A.P.J. Abdul Kalam, seorang mantan presiden India pro BJP. Begitu pula nama Bandara Agra yang hendak diganti menjadi nama Deen Dayal. RSS juga menuntut banyak nama yang terkait Islam seperti Ahmedabad, Hyderabad dan Aurangabad segera diganti namanya. (Rizwan Ahmad: 2018) Upaya penggantian nama ini tak lain merupakan upaya mengubur sejarah Islam di India sekaligus merombak sejarah India.
Pemerkosaan terhadap fakta sejarah mungkin bukan hal yang tabu dilakukan bagi pemerintahan Modi. Sebab mereka butuh legitimasi sejarah untuk mengokohkan ideologi Hindutva, menggantikan visi sekular yang ditanamkan founding fathers India seperti Jawaharlal Nehru. Apalagi Modi menghadapi tantangan tak mudah ke depan. Era Modi pada 2014 adalah mengakhiri era politik kasta dan koalisi berdasarkan wilayah. Modi memulai era baru nasionalisme relijius di politik India.
Pada 2014 Modi memulai aliansi dengan segmen kasta yang terbawah yaitu Dalits. Tak bisa dipungkiri , beberapa pemilih BJP memandang baik kebijakan Modi yang melayani orang miskin dan kelompok terpinggirkan. Persoalannya, tak mudah melakukan keseimbangan kasta dalam politik Inda. Kasta Brahmana dan kasta atas lainnya yang menyokong negara Hindu, seringkali enggan berbagi kekuasaan dengan kasta lebih rendah. (Uday Chandra: 2019)
Sejak 2014, menurut Uday Chandra dari Georgetown University, Qatar, pilihan Modi soal kasta ini telah membuat marah para pemilih di kasta teratas, bahkan ketika kaum Dalits mulai meninggalkan loyalitas mereka dari BJP.
Maka menjadi realistis bagi Modi untuk menanamkan pengaruh Hindutva lebih dari sekedar preferensi politik BJP. Penanaman ideologi Hindutva dalam identitas India mutlak dilakukan agar ideologi kebencian tersebut lestari dalam masyarakat India. Dan sejauh ini tampaknya tak ada kelompok di India yang dapat menghalangi Modi berlari di atas ideologi kebenciannya. (*)
*Sumber Publish: Kiblat.net