Lapan6online.com : Sekarang saatnya Presiden Joko Widodo memberikan perintah tegas kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar polisi tidak lagi mengkriminalkan warga yang berani menyuarakan pendapat yang berbeda dari pemerintah. Jika tidak, masa awal periode kedua pemerintahan Jokowi ini akan dicap sebagai permulaan rezim yang otoriter dan antikritik.
Perintah Jokowi ini amat penting dan mendesak, karena kini polisi makin merajalela menangkapi warga yang berani mengkritik kebijakan pemerintah. Jumat, 13 Maret lalu, puluhan personel Kepolisian Daerah Jawa Tengah menggerebek kamar kos mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Mohammad Hisbun Payu, di kawasan Laweyan, Kota Surakarta. Dia langsung ditahan dengan tuduhan melanggar pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) gara-gara satu unggahannya di media sosial.
Di akun Instagramnya, Hisbun Payu menyebut Jokowi sebagai “presiden laknat” karena kebijakannya yang menurut dia lebih mementingkan investasi ketimbang kesejahteraan rakyat. Aktivis mahasiswa yang punya perhatian terhadap isu lingkungan ini rupanya sudah kehabisan kesabaran atas berbagai kebijakan Jokowi yang menempatkan pembangunan perekonomian sebagai prioritas utama.
Hisbun Payu memang kerap berurusan dengan polisi. Tahun lalu, ia baru dibebaskan dari hukuman satu setengah tahun penjara setelah terlibat demonstrasi memprotes pencemaran oleh sebuah perusahaan tekstil di Solo. Dia vokal menentang semua kebijakan pemerintah yang dinilainya merugikan publik. Apa yang dilakukan Hisbun adalah haknya sebagai warga negara, yang dilindungi konstitusi.
Penahanan Hisbun Payu menambah panjang daftar orang yang diperkarakan karena mengkritik pemerintah. Seorang remaja di Medan, MFB alias Ringgo, divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada Januari 2018 karena dianggap menghina presiden dan Kapolri. Setahun sebelumnya, Pengadilan Negeri Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, memvonis Ropi Yatsman dengan hukuman 15 bulan penjara dengan dakwaan sama.
Dalam semua kasus itu, polisi menggunakan Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang penghinaan dan pencemaran nama, serta Pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang ujaran kebencian. Kedua pasal karet itu mudah disalahgunakan karena yang disebut “penghinaan”, “pencemaran nama baik”, ataupun “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan” bisa ditafsirkan secara sepihak oleh aparat penegak hukum.
Presiden Jokowi harus turun tangan jika tak ingin masyarakat Indonesia hidup dalam atmosfer ketakutan untuk berbeda pendapat dan mengkritik penguasa. Pemimpin yang sudah terpilih secara demokratis tak boleh memberangus kebebasan warganya. Beberapa kritik mungkin terdengar kasar, bahkan menjurus ke penghinaan, namun itu bukan alasan untuk menjebloskan orang ke bui.
Untuk memutus rantai kriminalisasi kebebasan berpendapat ini, Dewan Perwakilan Rakyat harus segera merevisi UU ITE dan mengubah sanksi pidana untuk pasal pencemaran nama dan ujaran kebencian. Tanpa itu, kita perlahan sedang berubah menjadi rezim otoriter yang antikritik.
Tempo.co