Oleh: M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik (*)
Jakarta, Lapan6online.com : EKONOMI Indonesia dengan tingkat pertumbuhan 5 persen sudah mengkhawatirkan dengan kecenderungan stagnan bahkan menurun. Bisa berkisar di 4 persen. Napas tentu sudah agak sesak.
Ini tanpa efek dari wabah corona yang “mulai” menyerang Indonesia. Biaya untuk menanggulangi maupun kebijakan “lockdown” dipastikan akan lebih menggerus pertumbuhan.
Menurut pengamat ekonomi Rizal Ramli pertumbuhan ekonomi yang menurun ini disebabkan “bubble economy” gagal bayar (termasuk Jiwasraya dan Asabri), anjlok daya beli, bisnis digital, dan penurunan pendapatan petani. Belum lagi kondisi defisit neraca perdagangan.
Corona yang menjadi pandemik tentu signifikan berdampak ekonomi.
Sri Mulyani mulai panik. Menurutnya dengan perdagangan internasional turun 30 persen dan penerbangan 75 persen saja dampak terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa menjadi 2,5 persen belum lagi disrupsi tenaga kerja yang mempengaruhi konsumsi rumah tangga.
Bahkan Sri sudah ancang-ancang dengan pertumbuhan pesimistik 0 persen. Tentu saja “krisis” ekonomi akan berpengaruh pada politik. Kegoyahan ekonomi cepat atau lambat menyebabkan kegoyahan politik.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa orde lama rontok diakibatkan krisis ekonomi di tahun 60-an. Soekarno pun jatuh. Begitu juga Soeharto akhirnya jatuh dipicu oleh krisis ekonomi pada tahun 1998.
Kini ketika basis ekonomi rapuh ditambah dengan korupsi dan wabah corona yang makin berat ditangani, maka “political infection” juga akan semakin menganga.
Sejak mulai pelantikan kepercayaan politik rakyat pada pemerintah terus rendah. Kebijakan politik “kepentingan oligarkhis” membuat rakyat resah.
Mulai dari pelumpuhan KPK melalui revisi, skandal Jiwasraya, nafsu pindah ibukota, hingga omnibus law seluruhnya tidak populis. Tidak mendapat dukungan rakyat.
Kepercayaan yang stagnan di “5 persen” terus menurun menjadi “4 persen”. Dengan wabah corona melalui penanganan abai di awal hingga panik di akhir dan semakin merosotnya pertumbuhan ekonomi maka bukan hal yang mustahil tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi juga terus merosot.
Bisa “2,5 persen” atau bahkan mengikuti kekhawatiran Sri Mulyani akhirnya kepercayaan politik itu 0 persen pula. Artinya rakyat sudah tidak percaya.
Ketidakpercayaan rakyat adalah saat rezim untuk turun. Mundur adalah wujud dari masih ada sifat tahu diri
Sebaliknya jika ingin “duduk terus tak mau berdiri” biasanya turunnya dengan cara dimundurkan. Sejarah politik berbicara lantang tentang singgasana yang ambruk. (*)
Sumber Publish: Gelora.co