“Tentu hal ini menyayat hati, bagi kita warga Indonesia. Masyarakat tidak hanya butuh dihimbau untuk bekerja, sekolah, dan beribadah dari rumah demi memutus wabah Covid-19,”
Oleh : Mala Oktavia
Jakarta | Lapan6Online : Bulan Ramadhan sudah di depan mata. Bulan yang paling dinanti-nanti oleh seluruh umat Muslim di dunia, tak terkecuali umat Muslim di Indonesia. Semua berharap melewati Ramadhan dengan penuh kekhusyukan ibadah kepada Allah Yang Maha Kuasa. Namun, apakah di tahun ini harapan tersebut akan menjadi nyata?
Dilansir detik.com per 22 Maret 2020, juru bicara RI, AhmadYurianto, update positif Corona sejumlah 514 orang, 48 orang meninggl dan 29 dinyatakan sembuh.
Hal ini menempatkan Indonesia pada Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian 9,3% di dunia.
Hingga kini Indonesia terus bergelut melawan virus Corona. Beberapa daerah mulai menggencarkan Lock Down, hingga penanganan preventif misalnya, cuci tangan dengan sabun, pemakaian masker, hand sanitizer, dan lain-lain. Sekolah dan kampus ditutup, semua aktivitas sekarang berbasis online, mulai dari kerja, sekolah, kuliah, dan kebutuhan yang lain.
Meskipun beberapa daerah telah memerintahkan untuk Lock Down guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19, nampaknya pemerintah pusat belum berpikir untuk mengambil keputusan yang sama.
Bahkan dikutip dari berbagai media per 22 Maret 2020, salah satunya detik news, memaparkan bahwa pemerintah Indonesia dalam hal ini Pak Jokowi tidak akan mengambil langkah Lock Down. Hal ini diungkapkan oleh Kepala BNPB sekaligus Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo.
Hal ini diperparah dengan kesiapan peralatan kesehatan dari pihak rumah sakit yang masih minim untuk menangani Covid-19.
Menurut dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Agus Dwi Santoso, peralatan kesehatan di rumah sakit rujukan penanganan virus ini tidak cukup. Ketersediaan alat bantu napas, ventilator, dan alat bantu diagnostik virus semakin menipis. (bbc.com).
Bila hal ini tidak ditangani dengan massif dan sungguh-sungguh, maka kemungkinan besar Ramadhan akan terlewati bersama dengan Covid-19. Bahkan dari grafik proyeksi kasus Covid-19 di Indonesia, diperkirakan kasus wabah Covid-19 akan meningkat tajam di pertengahan April 2020.
Dipandang dari pendekatan model matematika yang diteliti oleh Nuning Nuraini, Kamal Khairudin, Mochamad Apri, 3 peneliti dari Pusat Permodelan Matematika dan Simulasi ITB serta kelompok kerja Matematika Industri dan Keuangan FMIPA ITB. Dari pihak BNPB sendiri sebenarnya sejak awal, 29 Februari 2020, telah menyatakan status masa darurat ditetapkan hingga 29 Mei 2020.
Tentu hal ini menyayat hati, bagi kita warga Indonesia. Masyarakat tidak hanya butuh dihimbau untuk bekerja, sekolah, dan beribadah dari rumah demi memutus wabah Covid-19.
Masyarakat butuh penanganan lebih dari itu. Penanganan ini harus dilakukan secara komprehensif. Tidak cukup hanya dengan social distancing, tetapi juga melalui pemeriksaan dan karantina yang memadai untuk menyelamatkan jiwa dan memutus mata rantai penularan. Entah mengapa pemerintah semakin terkesan tidak serius dalam menangani kasus ini, padahal efeknya bila dibiarkan sangat berbahaya.
Tidak hanya masalah keselamatan dan keamanan, tetapi juga nyawa seluruh penduduk Indonesia.
Menurut penulis, alasan utama pemerintah Indonesia tidak melakukan Lock Down sebagaimana negara-negara lain adalah karena permasalahan ekonomi.
Bila segala aktivitas keuangan diberhentikan, hal inilah yang akan mempengaruhi kestabilan bangsa ini. Masyarakat level menengah dan pekerja-pekerja formal akan merasa tenang-tenang saja dengan adanya Lock Down, karena pemerintah menggratiskan 100% pajak penghasilan (PPh) pekrja dengan pendapatan hingga Rp16 juta per bulan.
Lantas bagaimana dengan masyarakat yang bekerja si sektor informal atau dengan penghasilan yang tidak menentu setiap hari? Siapa yang akan memastikan hajat hidup dan keselamatan mereka?
Tentu saja pemerintah tidak akan sanggup menanggung beban itu.
Lagi-lagi mindset kapitalis masih menjadi pilihan pemerintah dalam mengatur masyarakatnya. Mindset meraih untung belum juga hilang meskipun negeri dilanda wabah yang mengerikan.
Masalah ekonomi kapitalistik ini terus mengahantui di tengah-tengah masyarakat, baik dalam keadaan normal, ataupun keadaan genting. Diperparah lagi dengan keadaan wabah akibat pandemi ini. Masyarakat semakin dibuat tak tahu arah kemana harus mengadu dan memutuskan nasib hari esoknya.
Watak kapitalis semakin kejam di tengah-tengah bahaya kematian di depan mata.
Demi meraup keuntungan, rela mengorbankan nyawa umat manusia. Alat tes Corona yang seharusnya bisa didapatkan secara mudah dan gratis, ternyata hanya ilusi semata. Alat tes virus yang diimpor dari China oleh PT Rajawali Nusantara Indoensia (RNI), Kementerian BUMN menyatakan bagi RS yang menginginkan alat tes tersebut dengan harga terjangkau, harus membeli dahulu dari PT RNI selaku pengimpor. Total telah ada 500 ribu alat tes yang tiba di Indonesia.
Tentu musibah akan semakin parah ketika pemerintah Indonesia tidak mampu memutus ketergantungan kepada asing.
Tidak hanya musibah pandemi Covid-19, tetapi juga ekonomi yang semakin terpuruk. Sebelum wabah terjadi, APBN 2020 mengalami defisit hingga menccapai RP125 triliun, disertai pula dengan utang luar negeri akhir Januari yang mencapai Rp6.079 triliun, bila dibiarkan hal ini akan semakin rentan diserang.
Maka wajar saja jika keadaan ini kemudian dijadikan asing dengan mindset kapitalistiknya untuk meraup untung dari negeri-negeri di bawah cengkramannya, termasuk Indonesia. Seperti IMF yang telah mempersiapkan pinjaman sebesar US$50 miliar untuk negara berkembang yang membutuhkan dana guna menangani virus Corona.
Pinjaman ini pun tak serta merta tanpa bunga, tentu saja disertai dengan bunga sebesar US$40 miliar dalam jangka waktu lima tahun. Bagi Indonesia pun tidak mustahil klausul ini akan diambil, mengingat Indonesia tidak bisa lepas dari asing dan sangat ‘terbuka’ dengan asing.
Jika mindset ini terus dipakai, maka kita hanya tinggal menunggu jumlah pasien positif Corona yang semakin meningkat setiap harinya karena tidak mendapatkan pelayanan yang memadai. Alih-alih mendapatkan tes gratis, masyarakat malah diminta membayar dengan biaya yang tinggi.
Apalagi bagi mereka yang pekerja tak tentu atau pekerja di sektor informal, ada atau tidak adanya pemberlakuan Lock Down akan membuat masyarakat dilema, di lain sisi mereka ingin terus menyambung hidup dengan bekerja, tapi di sisi lain wabah Covid-19 ters menghalagi mereka kelar rumah. Sebab, pemerintah tak mampu menanggng hajat masyarakatnya sendiri.
Penanganan wabah ini tentu sangat berbeda ketika Eropa dilanda peristiwa The Great Hunger atau The Great Irish Famine pada tahun 1845-1852.
Bantuan besar didatangkan oleh Khalifah Abdul Majid I dari masa Khilafah Utsmaniyah berupa 3 kapal besar berisi makanan, sepatu dan keperluan lainnya beserta 1000 poundsterling tanpa mengharap imbalan apapun.
Berbeda dengan bantuan asing yang kini ditawarkan kepada negeri-negeri yang dilanda wabah, tentu di balik bantuan itu tersimpan maksud besar untuk meraup keuntungan.
Menyelesaikan permasalahan di Indonesia tidak cukup hanya dengan memutus rantai penyebaran virus, tetapi juga memutus ketergantungan kepada asing dan sistem kapitalistik itu sendiri dan mencari alternatif sistem yang lebih mutakhir dan komprehensif dari segala sisi untuk mengatur umat manusia yang mampu menjadi Rahmatan lil ‘alamiin.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Al-Ma’idah ayat 48 :
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah peraka meraka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…..”
Sungguh Islam telah datang dengan membawa aturan dan jalan yang terang, maka tugas kita saat ini adalah dengan menerapkan aturan tersebut secara kaaffah hingga membawa umat kepada jalan yang terang. Wallahu ‘a’lam bissowab. GF/RIN/Lapan6 Group
*Mahasiswi Universitas Negeri Malang