“Jika kita amati pemerintah hanya beretorika soal prioritas keselamatan rakyat, namun kebijakan dalam bentuk nyata tidak memberi jaminan. Bahkan tenaga medis sebagai garda terdepan juga tidak mendapat perhatian yang memadai,”
Oleh : Nafisah Asma Mumtazah
Jakarta | Lapan6Online : Pertempuran para tenaga medis nasional yang berada di garda depan untuk mencegah penyebaran virus corona ibarat kisah perang badar.
Musuh yang dihadapi teramat besar dan berbahaya, sementara pasukan yang maju tak sebanding jumlahnya. Meski begitu, para tenaga medis ini tetap berjuang habis-habisan dengan nyawa dan kesehatan mereka menjadi risikonya.
“Saya khawatir tidak bisa menjawab, kelelahan.”
Begitu jawaban dr Fariz Nurwidya saat CNBC Indonesia meminta waktu untuk wawancara panggilan telepon, pada Selasa (17/3/2020).
Sebagai ahli dan spesialis paru, Fariz merupakan salah satu dokter yang beberapa hari ini tak beristirahat dari medan pertempuran untuk merawat dan berusaha menyembuhkan pasien Covid-19.
Dalam laman CNBC Indonesia, ia mengungkap dan meminta menyampaikan kondisi yang ia alami dan rekan-rekan sejawatnya memerangi virus berbahaya ini di lapangan.
“Tolong sampaikan ke rekan-rekan, ini tenaga medis butuh doa dan dukungan. Semua kelelahan dan mulai dirumahkan satu persatu,” ujarnya.
Kondisi kelelahan yang luar biasa ini disebabkan oleh minimnya ketersediaan sumber daya, baik dari sisi tenaga maupun sarana dan prasarana untuk pengobatan pasien.
“Kurang personil, kurang ventilator, kurang APD (Alat Pelindung Diri),” tulisnya. Dilansir dari CNBT Indonesia, ( 18/3/2020 ).
Jika kita amati pemerintah hanya beretorika soal prioritas keselamatan rakyat, namun kebijakan dalam bentuk nyata tidak memberi jaminan. Bahkan tenaga medis sebagai garda terdepan juga tidak mendapat perhatian yang memadai. Perhitungan materi masih menjadi pertimbangan dominan pengambilan keputusannya.
Inilah fakta di lapangan yang dirasakan oleh paramedis dalam perjuangan mereka melawan wabah cobid-19 yang melanda dunia dan Indonesia.
Sudah sepatutnya pwmerintah mengambil pelajaran yang ada dalam islam.
Di dalam sistem Islam negara yang direoresentasikan oleh pemimpin senantiasa hadir di tengah umat untuk memberikan pelayanan. Di dalam Islam negara berfungsi sebagai pelayan umat, apa lagi dalam kondisi genting di mana nyawa yang menjadi taruhanya, negara berada di garda terdepan untuk keselamatan nyawa rakyatnya.
Negara memberikan fasilitas untuk memenuhi segala yang dibutuhkan untuk menyelamatkan rakyatnya. Semua kebutuhan untuk rakyat tersebut didanai dari baitul mall yaitu uang kas negara.
Kas negara yang disebut Baitul Maal tersebut diambil dari hasil pengelolan kekayaan alam, dari zakat, jiziyah dan fa’i. Negara tidak pernah sedikitpun mendasari sebuah kebijakan dengan logika dan perbitungan untung rugi demi keselamatan rakyat.
Pemerintah dapat mengambil pelajaran sebagaimana penanganan bencana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu ketika menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab.
Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah—untuk meminta bantuan pangan. Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.
Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah.
Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat. Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berjumlah 10 ribu orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.
Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu.
Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu memerintahkan agar para pengungsi-diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing. Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halaman dengan tenang dan penuh kegembiraan.
Aspek yang ketiga adalah manajemen pasca bencana, yakni seluruh kegiatan yang ditujukan untuk; (1) me-recovery korban bencana agar mereka mendapatkan pelayanan yang baik selama berada dalam pengungsian dan memulihkan kondisi psikis mereka agar tidak depresi, stres, ataupun dampak-dampak psikologis kurang baik lainnya.
Adapun kegiatan yang dilakukan adalah yang terkait dengan kebutuhan-kebutuhan vital mereka, seperti makanan, pakaian, tempat istirahat yang memadai, dan obat-obatan serta pelayanan medis lainnya. Recovery mental bisa dilakukan dengan cara memberikan taushiyah-taushiyah atau ceramah-ceramah untuk mengokohkan akidah dan nafsiyah para korban;
(2) me-recovery lingkungan tempat tinggal mereka pasca bencana, kantor-kantor pemerintahan maupun tempat-tempat vital lainnya, seperti tempat peribadahan, rumah sakit, pasar, dan lain-lainnya. Khilafah Islamiyah, jika memandang tempat terkena bencana, masih layak untuk di-recovery, maka, ia akan melakukan perbaikan-perbaikan secepatnya agar masyarakat bisa menjalankan kehidupannya sehari-harinya secara normal, seperti sedia kala.
Bahkan jika perlu, khalifah siap merelokasi penduduk ke tempat lain yang lebih aman dan kondusif. Untuk itu, Khalifah Islamiyah akan menerjunkan tim ahli untuk meneliti dan mengkaji langkah-langkah terbaik bagi korban bencana alam. Mereka akan melaporkan opsi terbaik kepada khalifah untuk ditindaklanjuti dengan cepat dan profesional.
Inilah langkah-langkah yang ditempuh khalifah menangani bencana. Manajemen semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”.
Pasalnya, khalifah adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyat dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir.
Oleh karena itu solusi dari semua persoalan ini adalah taubatan nasuhah yaitu kembali mengimplementasikan Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara kaffah.
Inilah wujud taubat dan kepatuhan kepada Sang Khaliq yang Maha Kuasa atas segalanya. Semoga dengan cara ini mampu menyelamatkan nyawa umat manusia. Insya Allah. GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis tinggal di Gresik