KDRT Makin Menjadi di Masa Pandemi

0
43
Fatmah Ramadhani, S.K.M/Foto : Ist.
“Kebijakan bekerja di rumah dan sekolah di rumah, yang dibuat oleh mayoritas laki-laki dianggap telah membuat perempuan semakin berada pada posisi berbahaya. Sebagian perempuan terjebak bersama pelaku kekerasan domestik, terisolasi dari pihak yang dapat menolong mereka,”

Oleh: Fatmah Ramadhani Ginting, S.K.M

Jakarta | Lapan6Online | Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin menjadi di masa pandemi ini. Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan banyak negara telah melaporkan kenaikan insiden KDRT dan menghubungi hotline pelecehan sejak pandemi corona mulai mengglobal awal tahun ini. (republika.co.id)

Di Tiongkok, laporan terkait kekerasan terhadap perempuan meningkat tiga kali lipat selama masa lockdown. Di Spanyol, seorang perempuan tewas akibat aksi KDRT oleh pasangannya. (tirto.id)

Selain KDRT, masalah lain pun menimpa perempuan di masa pagebluk ini. Seperti tertular virus, keterbatasan gerak, hilangnya pekerjaan, beban berat ekonomi. Itulah sederet masalah perempuan akibat dampak penerapan lockdown.

Menurut para pegiat gender, di masa pandemi perempuan adalah pihak yang paling menderita. Hal ini diungkapkan Maria Holtsberg, penasihat risiko bidang kemanusiaan dan bencana di UN Women Asia dan Pacific (bbc.com), perempuan lebih berisiko tertular virus dan terdampak paling berat akibat penerapan kebijakan Covid-19 yang bias gender.

Tak dipungkiri mayoritas pekerja kesehatan adalah perempuan dan berisiko tertular virus. Posisi perempuan dalam keluarga pun dianggap rentan mengalami penularan sebab harus mengurus dan merawat anggota keluarga yang sedang sakit.

Kebijakan bekerja di rumah dan sekolah di rumah, yang dibuat oleh mayoritas laki-laki dianggap telah membuat perempuan semakin berada pada posisi berbahaya. Sebagian perempuan terjebak bersama pelaku kekerasan domestik, terisolasi dari pihak yang dapat menolong mereka, sehingga tidak dapat melarikan diri dengan bekerja ataupun mengunjungi teman.

Akibatnya terjadi peningkatan kasus KDRT.
Berangkat dari hal ini, berkembang isu bahwa perempuan adalah pihak yang paling menderita selama pemberlakuan lockdown. Kita memang tidak bisa menutup mata dengan peningkatan jumlah perempuan korban KDRT selama pandemi ini. Pertanyaannya, benarkah meningkatnya KDRT ini penyebab utamanya akibat wabah Covid-19?

Kita tahu sebelum masa pandemi saja, KDRT kerap terjadi. Nah, bisa jadi wabah ini hanya salah satu pemicu meningkatnya KDRT saja. Pasalnya, kekerasan terhadap perempuan yang terus terjadi sebenarnya pengaruh dari paham kebebasan perilaku yang melahirkan sikap minus tanggung jawab.

Belum lagi pernyataan bahwa perempuan lebih berisiko tertular virus adalah pernyataan yang keliru. Kita bisa melihat sendiri bagaimana perkembangan kasus Covid-19 di lapangan, virus tidak hanya menyerang perempuan namun juga menyerang laki-laki.

Melalui data yang disusun secara terpilah berdasarkan jenis kelamin, kasus penderita Covid-19 memiliki risiko penularan yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Namun agak berbeda dari sisi kematian, data menunjukkan jumlah penderita pria lebih banyak mengalami kematian daripada wanita. Jadi siapa sebenarnya yang lebih berisiko, perempuan atau laki-laki?

Pembagian data terpilah berdasarkan jenis kelamin atas penyakit tertentu adalah satu hal yang biasa dikerjakan di dunia medis. Hal ini terkait aspek promosi kesehatan dan pencegahan yang akan dilakukan oleh pemangku kebijakan kesehatan, yang itu meniscayakan kebijakan yang berbeda pula antara laki-laki dan perempuan dalam hal promosi dan pencegahan suatu penyakit. Bukan karena perempuan kedudukannya lebih rendah dibanding laki-laki.

Dalam masalah medis memang ada jenis penyakit serta dampak berbeda yang menimpa laki-laki dan perempuan. Hal itu wajar, karena secara biologi atau kodrati laki-laki dan perempuan berbeda, tapi bukan karena ketidaksetaraan gender.

Oleh karena itu penting untuk memperhatikan kodrat masing-masing dalam setiap persoalan, bukan hanya saat penanganan pandemi Covid-19 ini. Bahwa perempuan hamil, melahirkan, mengasuh anak dan merawat keluarga adalah kodrat perempuan yang harus diperhatikan oleh siapa pun, termasuk oleh negara, sehingga penanganan yang diberikan tepat dan akurat.

Mayoritas tenaga kesehatan saat ini didominasi oleh perempuan, merekalah yang paling memiliki risiko tertular. Risiko tersebut bukan karena keperempuanan mereka, tapi disebabkan aktivitas mereka menangani dan merawat pasien. Saat tenaga kesehatan laki-laki menangani pasien Covid-19, maka mereka juga menghadapi risiko penularan yang sama dengan tenaga kesehatan perempuan.

Begitu pula ketika pandemi Covid-19 menghantam sektor ekonomi, perempuan dan laki-laki yang berprofesi sebagai pekerja penggerak roda ekonomi akan terkena dampak yang sama.

Para pegiat gender juga menganggap kebijakan bekerja dari rumah menambah beban perempuan. Perempuan sering kali menjadi perawat di rumah, merawat anggota keluarga yang sakit dan membesarkan anak. Dalam pandangan para pegiat gender, pekerjaan perawatan di rumah merupakan “pekerjaan tak bergaji”, seharusnya pekerjaan tak bergaji ini menjadi tugas laki-laki.

Pandangan ini lahir dari pandangan materialistis khas ideologi kapitalisme. Pekerjaan tak bergaji ini juga sering dianggap sebelah mata, yang seharusnya laki-laki pun melakukan. Sangat berbeda dengan pandangan Islam, aktivitas perempuan merawat anggota keluarga adalah tugas mulia yang bernilai ibadah.

Sungguh berbagai persoalan yang muncul merupakan dampak penerapan sistem kapitalisme, dengan ide kebebasan, kesetaraan gender, HAM serta ide turunan lainnya. Gerakan feminisme berangkat dari pemahaman yang menganggap kaum perempuan sebagai makhluk nomor dua, kedudukannya lebih rendah dari laki-laki. Menurut mereka inilah penyebab utama perempuan selalu menjadi korban kekerasan.

Bagi kaum feminis, agar tidak menjadi korban kekerasan, perempuan harus setara dan berdaya seperti laki-laki. Pemberdayaan perempuan tersebut diukur dari kemandirian secara ekonomi, tidak bergantung pada laki-laki, serta semakin diakui kiprahnya di tengah publik.

Hari ini, seruan kesetaraan gender yang mereka gaungkan harus dibayar mahal dengan kehancuran rumah tangga dan generasi. Beban yang dipikul perempuan semakin bertambah. Satu sisi mereka berperan sebagai ibu pengatur rumah tangga, di sisi lain mereka juga harus mencari nafkah. Kondisi seperti ini rentan memicu konflik dan kekerasan dalam rumah tangga, apalagi di tengah pandemi Covid-19.

Bagaimana halnya dengan Islam? Islam memiliki konsep serta mampu menyelesaikan seluruh problem kehidupan manusia di dunia, termasuk pandemi Covid-19 yang sedang terjadi. Laki-laki dan perempuan kedudukannya sama dan setara sebagai manusia, yang membedakan adalah ketakwaannya. Setiap Mukmin laki-laki maupun perempuan saling berlomba untuk meraih derajat takwa.

Islam memperhatikan dan memberikan peran kepada mereka sesuai dengan kodratnya. Islam mewajibkan dan memampukan laki-laki untuk bekerja dan mencari nafkah, juga memberi tuntunan pemenuhan nafkah tersebut agar sesuai perintah-Nya. Sehingga perempuan dapat dengan tenang dan aman menjalankan perannya sebagai istri, ibu dan pendidik generasi.

Allah SWT telah mewajibkan setiap Muslim berperilaku lemah lembut kepada saudaranya, tidak berperilaku kasar dan keras kepada sesama Muslim, apalagi perilaku suami terhadap istrinya. Islam memberi label tindak kekerasan sebagai dosa dan kemaksiatan yang ada sanksinya dunia maupun akhirat.

Begitu pula kiranya Allah telah memberi kewajiban kepada para pemimpin Muslim sebagai aparatur negara untuk menerapkan Islam secara kaffah. Dengan penerapan Islam kaffah itulah mampu melindungi, menjamin keamanan, kesejahteraan, serta kesehatan seluruh rakyat. Sehingga tidak ada yang namanya KDRT. ****

*Penulis adalah Aktivis Dahwah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini