“AS membuat drama bahwa di wilayah tersebut adalah tempat penyimpan senjata pemusnah massal dan markas persembunyian teroris. Serangan rekayasa atas WTC dan Pentagon telah memuluskan rencana penyerangan dan pendudukan negeri-negeri Kaum Muslimin yang kaya minyak seperti Irak, Afganistan, dan Suriah,”
Oleh : Abu Mush’ab Al Fatih Bala
Jakarta | Lapan6Online : Amerika Serikat adalah negara kapitalis nomer satu yang menjaga dunia agar berada selalu dalam hegomoninya. Banyak kebijakan Amerika bisa kita amati lebih bersifat drama baik itu sebelum dan selama masa pandemi Corona.
Sebelum pandemi Corona, wilayah Timur Tengah selalu menjadi pusat perhatian AS karena setelah runtuhnya Uni Soviet (yang berideologi komunis) wilayah ini menjadi pusat produksi minyak bumi dan gas yang potensial. Dan ketakutan akan hadirnya persatuan kembali negeri–negeri berbasis ideologi Islam muncul dari kawasan ini.
Untuk bisa menguasai minyak bumi dan gas di Timur Tengah, AS membuat drama bahwa di wilayah tersebut adalah tempat penyimpan senjata pemusnah massal dan markas persembunyian teroris. Serangan rekayasa atas WTC dan Pentagon telah memuluskan rencana penyerangan dan pendudukan negeri-negeri Kaum Muslimin yang kaya minyak seperti Irak, Afganistan, dan Suriah.
Dari daerah-daerah seperti ini AS mendapatkan pasokan minyak tambahan lewat penjajahan. AS juga menjaga agar konflik di Timur Tengah terus berlanjut. AS mendukung Israel sebagai penjajah Palestina dengan maksud agar menjadi negara satelit yang ditakuti di Timur Tengah.
AS membiarkan Iran mengancam dirinya dan membuat opini bahwa milisi Syiah di Yaman yang menyerang kilang minyak Arab Saudi pada September 2019. Agar tercipta opini bahwa Iran negara yang kuat.
Dukungan AS terhadap Iran ini bisa dilihat dari tidak adanya upaya AS untuk menghentikan pengembangan nuklir di Iran. Iran hanya diberi sanksi ekonomi yang terbukti tidak berefek apa pun terhadap Iran.
Bahkan tidak ada tentara AS maupun sekutunya yang menduduki Iran. Ini membuktikan bahwa Perang Dunia ke 3 (World War 3) yang dipicu antara AS dengan Iran hanyalah hoax semata. Sangat beda dengan adanya tentara AS yang merata di wilayah Timur Tengah atau Negara Teluk.
AS dan Arab Saudi mengetahui bahwa Iran dibalik penyerangan kilang minyak Arab Saudi namun kedua sekutu ini tidak memerangi Iran. Dua faktor adanya kepemilikan nuklir dan serangan berencana ke Arab Saudi tidak membuat serangan ke Iran terjadi seperti ke Irak dan Suriah.
Belakangan diketahui konflik AS Iran yang terjadi di awal tahun hanya kamuflase untuk menakuti Irak. Irak kemudian memangkas produksi minyaknya agar tidak menjadi pesaing AS di dunia.
Selama pandemi Corona, prediksi akan terjadi perang antara AS dan Rusia juga tidak mugkin terjadi. Perang secara militer tidak mungkin terjadi tetapi yang ada perang minyak.
Sebuah hantaman ekonomi menimpa AS. Harga minyak AS turun hingga minus USD 37,63 per barrel (mediaumatnews, 30/4). Ancaman semakin memburuknya ekonomi AS semakin terlihat. Apalagi ditambah anjloknya pasar saham di AS.
Turunnya harga minyak dan menurunnya permintaan minyak di seluruh negara karena kebijakan lock down menyebabkan AS beresiko mengalami kerugian besar. Minyak diproduksi dalam skala besar dan terpaksa dimuat kembali ke negera asalnya. Tentu akan memakan biaya yang besar.
Sehingga AS berencana menstabilkan harga minyaknya dengan meminta Arab Saudi dan negara OPEC lainnya memangkas produksi minyak. Rusia menentang rencana ini karena berlawanan dengan strategi penjualan minyak nasionalnya.
AS mengancam akan menarik pasukannya dari Arab Saudi yang artinya Saudi punya peluang diserang Iran dan Israel. Namun kenyataannya Arab Saudi selalu aman, setelah penyerangan kilang minyak dan konflik Iran AS pada awal Januari malah Arab Saudi menjalin kerjasama ekonomi dengan Iran.
Prediksi perang antara China vs As pun diprediksi tidak akan terjadi. Karena ekonomi AS masih lesu belum mampu menopang biaya perang melawan China secara militer. AS banyak memotong anggaran militernya untuk pendudukan Afganistan, Irak dan Suriah karena efek Corona. Dan tak mungkin memulai serangan secara militer ke China.
Lagipula China bukan negara yang suka perang militer. Sepanjang sejarah, China lebih suka memilih bertahan semisal membuat tembok besar China (The Great Wall) untuk menahan laju serangan tartar. Memilih perjanjian damai dengan Khilafah Abbasiyah.
Dan di dunia modern China tak pernah terlibat perang dengan negara-negara kuat seperti Amerika, Inggris dan Rusia. China lebih tertarik menjadi penguasa ekonomi dunia.
Apa yang dilakukan Amerika di Laut China Selatan kemudian dibalas oleh pengusiran oleh China hanyalah saling menggertak sambal. AS baru akan menyerang China jika ada serangan mematikan atau pengumuman perang dari China. Ini pernah terjadi ketika pangkalan militer AS di Pearl Harbour diserang pesawat militer Jepang. Yang kemudian dibalas AS dengan membom atom kota Hiroshima dan Nagasaki.
Demikianlah AS akan terus menjaga kedigdayaan negaranya tapi bukan dengan opsi perang militer. AS akan terus berupaya memulihkan ekonominya agar kembali mengatur negara-negara di dunia demi keamanan nasional nya. GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis adalah Pemerhati Politik Asal NTT