“Sebab kelihatan sekali, Kadiskominfo tidak mengerti dasar-dasar Public Relations. Karena jika mau ditelisik lebih jauh, sumber kegaduhan daerah ini, karena kegagalan komunikasi publik pemda,”
Halbar | Malut | Lapan6Online : Kabupaten Halmahera Barat saat ini berstatus tanggap darurat Covid-19 yang telah ditetapkan pada tanggal 24 April sampai 29 Mei 2020 mendatang, menurut Sekda dan Kepala BPBD pada saat hearing bersama Jong Halmahera di ruangan Sekda, pada Senin, 04 Mei 2020, hal ini disampaikan oleh Pengurus Jong Halmahera, Fernando Salaka, pada Lapan6online.com, pada Kamis (07/05/2020) kemarin.
Menurutnya, “Penetapan status daerah, tidak dipublikasikan ke masyarakat. Ini sebenarnya Diskominfo kerjanya apa? Mengelola informasi Covid-19 pun berantakan, begitu pula informasi terkait pemda, naudzubillah minta ampun,” terangnya dengan nada kesal.
“Kadiskominfo ini saya pastikan tidak memiliki kapasitas keilmuan sebagai komunikator. Sebab kelihatan sekali, Kadiskominfo tidak mengerti dasar-dasar Public Relations. Karena jika mau ditelisik lebih jauh, sumber kegaduhan daerah ini, karena kegagalan komunikasi publik pemda,” ujarnya.
Lanjut dia, “Penetapan status daerah, kami anggap sekedar hanya sebagai langkah prosedural, bukan hal substantif sebagai upaya percepatan penanganan wabah Covid-19. Hal ini mengingat, status daerah yang ditetapkan tidak nyambung dengan langkah kongkrit dilapangan,” tegasnya.
Dia menambahkan,”Seharusnya point pertama status tanggap darurat, dibuktikan dengan langkah pengurangan mobilitas masyarakat sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran. Taruhlah seperti pengurangan jam operasional transportasi yang menghubungkan satu daerah dengan Halbar, atau pembatasan pintu masuk ke Halbar,” tambahnya.
Tambah dia, “Jangan dikira kalau kurangnya mobilitas masyarakat sekarang, karena adanya ketegasan pemda. Itu nalar keliru, karena dampak Covid-19 secara psikologislah yang membuat masyarakat tak beraktifitas normal,” ujarnya.
Point kedua, harus ada ketersediaan skenario terburuk yang berasal dari data riil potensi sebaran di desa-desa. Sejauh ini, publik kekurangan informasi terkait desa-desa yang dianggap rawan beresiko. Yang ada sekarang, masing-masing desa mengambil kebijakan sendiri-sendiri dalam upaya memutus mata rantai Covid-19.
Dan seharusnya begitu, jika pemda dirasa tidak becus dan hilang akal, maka desa harus berani bersikap kurang ajar pada pemda. Persoalannya, pemda kadang memang tak tahu diri, karena pada ujungnya nanti, keberhasilan desa akan dianggap sebagai buah tangan pemda.
Masih Fernando,”Cobalah pemda lebih di asah otaknya, khusus Bupati, Wakil dan Sekda. Ketahuan sekali kapasitas otak ketiga orang tersebut. Sebab, ketinggian ilmu dan kebesaran mental pemimpin, dapat diukur pada saat daerah diperhadapkan dengan masalah yang diluar dugaan seperti pandemi ini,” tuturnya.
“Faktanya, ketiga orang tersebut seperti bingung mau buat apa. Secara satire, kebingungan ketiganya digambarkan dengan ilustrasi: Bupati lebih memilih ngabuburit di Mutui bukan lagi ke zona merah walau hati tetap merah, Wakil lebih nyaman dikediamannya di depan pohon beringin bukan dibawah beringin. Artinya, terlalu banyak mencampuradukkan masalah Corona deng Politik, makanya gamang jadinya dan masyarakat jadi korban, “ pungkasnya. (Yos/red).