“Dalam sistem ekonomi Kapitalisme menjadi sebuah ‘keniscayaan’ bahwa pemilik modallah yang berhak untuk menguasai berbagai sektor penting termasuk pertambangan yang posisinya sangat menguntungkan bagi para Kapitalis,”
Oleh : Risnawati
Jakarta | Lapan6Online : Aktivitas penambangan kembali menuai sorotan kalangan aktivis. Betapa tidak, beberapa perusahan tambang masih cendrung kuat dan kebal hukum dalam melakukan aktivitas dugaan penambangan illegal di daerah, misalnya di daerah Kolaka Utara.
Dilansir dalam APNI, Jakarta, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Badan Koordinasi (Badko) Sulawesi Tenggara sangat prihatin terhadap aktivitas pertambangan di Kolaka Utara saat ini, khususnya di wilayah blok Sua-Sua dan blok Latou.
Hal tersebut diungkapkan oleh Haeruddin, Bendahara Umum Badko HMI Sultra Aktivitas pertambangan di Kolaka Utara khususnya daerah Batu Putih masih banyak persoalan yang sampai hari ini tak kunjung selesai. Akan tetapi kegiatan penambangan masih berjalan lancar, hal ini tentunya menjadi pertanyaan kita semua.
“Beberapa bulan terakhir telah dikabarkan bahwa blok Sua-Sua dan blok Latou telah dilelang oleh Negara. Tetapi sampai hari ini, belum ada putusan inkrach yang menetapkan perusahaan mana yang memenangkan lelang tersebut,” ungkap Haeruddin yang juga mantan Ketua Umum HMI Cabang Kolaka Utara itu.
Dijelaskan, khusus untuk blok Latou ada beberapa perusahaan yang saat ini sedang beraktivitas.
Masih menurut Haeruddin, luas wilayah blok Latou hanya 1.348 Hektar. Jadi, kami menduga bahwa perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan disekitar blok Latou sudah beraktivitas di luar titik kordinat. Tapi berdasarkan peta IUP, areal tambang tersebut masuk perumahan masyarakat, sekolah SMA dan persawahan warga.
Selain dugaan penambangan di luar titik koordinat, Haeruddin mengatakan juga ada beberapa keluhan masyarakat, seperti belum dibayarnya pembebasan lahan masyarakat, tidak diberikannya kompensasi atas tanah warga yang dijadikan jalan kendaraan aktivitas penambangan. Kemudian merusak mata air yang di konsumsi masyarakat di daerah sekitaran aktivitas pertambangan.
Kapitalisme Sumber Masalahnya
Pengelolaan tambang di Indonesia termasuk di daerah saat ini amat memperihatinkan, jika kita menyaksikan bagaimana tambang terus di keruk oleh perusahaan korporat baik dengan izin dan illegal tanpa memperdulikan aspek lingkungan maupun lahan. Inilah asas yang dipakai oleh sistem Kapitalisme adalah kemaslahatan besar (benefit profit). Hampir seluruhan proses penambangan terbuka melalui beberapa tahapan pengeboran, peledakan, pemilahan, pengangkutan, dan penggerusan batuan bijih.
Kegiatan penting lainnya yang harus dilakukan adalah menjaga stabilitas lereng dan penanaman kembali tanaman asli pada daerah yang sudah tidak ditambang (reklamasi). Pada tambang terbuka peralatan utama yang digunakan berupa bor, “shovel” dan truk besar untuk menambang bahan tambang. Bahan tambang dimaksud termasuk juga yang diklasifikasikan batuan bijih dan batuan penutup tergantung dari nilai ekonomis bahan tersebut.
Fungsi alat shovel adalah mengeruk bahan tambang pada daerah-daerah berbeda di area tambang terbuka, dan memuat bahan ke atas truk untuk dibawa keluar area tambang terbuka.
Sebagaimana arahan ekonomi Kapitalisme di era rezim Suharto begitu pulalah yang terjadi di era rezim Jokowi saat ini.
Tidak ada yang berubah. Dampak dari Kapitalisme yang merongrong Indonesia, termasuk di daerah saat ini tentunya membuat masyarakat semakin mangkrak (terabaikan) nasib mereka. Hal yang cukup miris adalah ketika melihat kenyataan saat ini yang menggerus hati masyarakat yang harus menjadi babu di negeri sendiri.
Misalnya saja keberadaan perusahaan asing seperti Freeport, Exxon Mobil, Shell, Chevron, Newmont, yang menguasai pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah penyebabnya.
Hal ini tak lepas dari lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Dari 45 blok minyak dan gas (Migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70% di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing. Kondisi semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.
Dengan demikian, dalam sistem ekonomi Kapitalisme menjadi sebuah ‘keniscayaan’ bahwa pemilik modallah yang berhak untuk menguasai berbagai sektor penting termasuk pertambangan yang posisinya sangat menguntungkan bagi para Kapitalis.
Pengelolaan potensi sumber daya alam dalam sistem Kapitalisme banyak membawa kerusakan. Ironis, sumber daya alam Indonesia dibawah pengelolaan sistem Kapitalisme telah berhasil melegalkan asing untuk mengintervensi berbagai UU.
Dengan sistem demokrasi dan kapitalisme tersebut, kekayaan alam dirampok secara institusional. Sehingga perusahaan asing dengan leluasa merampas harta kekayaan umat, termasuk tambang.
Sehingga, dalam pandangan kapitalis, kekayaan alam harus dikelola oleh individu atau perusahaan swasta karena ini merupakan ciri utama sistem ekonomi kapitalis dimana kepemilikan privat (individu) atas alat-alat produksi dan ditribusi dalam rangka mencapai keuntungan yang besar dalam kondisi-kondisi yang sangat konpetatif sehingga perusahaan milik swasta merupakan elemen paling pokok dari kapitalis.
Pengelolaan Tambang Wajib Terikat Dengan Syariat
Allah SWT berfirman: “Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa [4]: 59).
Berbeda dengan kapitalisme yang melegalkan swasta dan asing menguasai sumber daya alam. Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.: “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah). Rasul saw. juga bersabda: “Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu.
Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Tentu yang menjadi fokus dalam hadits tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”
Selain itu, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dsb semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum.
Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”
Dengan demikian, sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, setiap Muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam.
Karena itu semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan sumberdaya alam, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah untuk mengakhiri kisruh pengelolaan sumberdaya alam sebagaimana yang terjadi saat ini, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam.
Selama pengelolaan sumberdaya alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tak akan banyak manfaatnya bagi rakyat dan pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya sumberdaya alam kita, mayoritas rakyat negeri ini miskin.
Pasalnya, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.
Alhasil, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara.
Maka, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumberdaya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. WalLâhu a’lam. GF/RIN/Lapan6 Group
*Penulis adalah Pegiat Opini Media Kolaka