“Hal itu bisa dilihat di dalam Pasal 27 yang menyebutkan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan perppu tersebut tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara. Pasal ini, kata Fadli, jelas telah mengebiri fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),”
Jakarta | Lapan6Online : Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) mengandung cacat bawaan.
Menurutnya, secara politis Perppu tersebut meletakkan parlemen sekadar embel-embel eksekutif.
“Dalam pandangan saya, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengandung cacat bawaan yang berpotensi memunculkan krisis hukum dan kenegaraan,” kata Fadli lewat akun Twitter-nya, @fadlizon, pada Selasa (12/05/2020).
Dia pun menyatakan bahwa Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 pada praktiknya rentan ditunggangi oleh kepentingan tertentu dengan dalih krisis.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu mengaku memiliki lima poin keberatan substantif terhadap Perppu tersebut. Pertama, Perppu tersebut menabrak fungsi dan kewenangan konstitusional DPR, baik dalam legislasi, anggaran, hingga pengawasan.
Fadli menerangkan, fungsi legislasi DPR dikebiri karena Perppu tersebut berpretensi menjadi omnibus law lantaran telah dan akan mengubah banyak sekali regulasi.
“Setidaknya ada delapan UU yang diubah dan diintervensi oleh perppu sapu jagat ini, mulai dari UU MD3 yg mengatur kewenangan DPR, UU Keuangan Negara, UU Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Penjaminan Simpanan, UU Surat Utang Negara, UU Bank Indonesia, dan UU APBN 2020,” ucap dia.
Sementara di fungsi anggaran, Perppu tersebut telah memangkas peran DPR untuk merumuskan anggaran. Menurutnya, regulasi itu telah mengganti dasar APBN hanya cukup diatur berdasarkan peraturan presiden (perpres), sebagaimana dituangkan di dalam Pasal 12 Ayat (2).
“Padahal, di dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1) dinyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah Undang-Undang yang ditetapkan setiap tahun, bukan perpres atau peraturan perundangan lainnya,” tutur Fadli.
“Jika APBN cukup hanya diatur berdasarkan perpres, maka otomatis tidak ada peran DPR di dalam proses perumusannya,” imbuhnya.
Sedangkan di fungsi pengawasan, kata Fadli, Perppu tersebut telah melucuti hak pengawasan parlemen dan hak penyidikan serta penyelidikan lembaga penegak hukum.
Menurutnya, hal itu bisa dilihat di dalam Pasal 27 yang menyebutkan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan perppu tersebut tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara. Pasal ini, kata Fadli, jelas telah mengebiri fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selanjutnya, dia menyatakan bahwa Perppu berpotensi melahirkan abuse of power. Merujuk pada Pasal 27, menurutnya, Perppu menyatakan para pejabat yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan penanganan krisis tak bisa digugat, baik secara perdata, pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara.
Fadli menyatakan bahwa pasal tersebut telah memberi hak imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan manapun.
Padahal, lanjutnya, Indonesia adalah negara hukum, di mana penyelenggaraan pemerintahan semestinya bisa dikontrol oleh hukum.
“Klausul ini sangat tak lazim, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun. Klausul ini jelas bertentangan dgn Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,” ucap dia.
Ketiga, terkait kondisi keuangan negara yang tidak normal atau darurat. Menurutnya, situasi tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dia menilai, dengan dimuatnya pemuatan klausul itu maka Perppu tak memiliki urgensi sama sekali.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya sudah memiliki landasan hukum melakukan mitigasi anggaran di tengah krisis, tanpa mengeluarkan Perppu sekalipun.
Poin selanjutnya terkait Pasal 2 yang menyatakan bahwa defisit anggaran akan diperlonggar hingga lebih dari 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Covid-19 dan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022.
Menurut Fadli, klausul ini membahayakan perekonomian nasional.
“Dengan tidak adanya batas defisit APBN terhadap PDB, maka risiko terjadinya pembengkakan utang negara jadi kian membesar,” kata dia.
Terakhir, Fadli menyatakan bahwa Perppu tersebut tidak sesuai dengan saran pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang disampaikan pada Maret 2020 lalu.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya bisa menerbitkan tiga perppu untuk mengatasi dampak krisis yakni Perppu APBN 2020 untuk melakukan realokasi anggaran tanpa harus menunggu APBN-P, Perppu terhadap UU Pajak Penghasilan untuk memberi keringanan pajak, serta Perppu revisi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara guna melonggarkan batas defisit anggaran. Cnnind/red
*Sumber : CNNIndonesia.com