“Untuk selamatkan rakyat Indonesia dan NKRI, mestinya Presiden komitmen dengan menambahkan anggaran riset untuk percepatan penemuan vaksin, bukan malah memangkasnya,”
Oleh : drh. Lailatus Sa’diyah
Jakarta | Lapan6Online : Setelah beberapa waktu lalu Presiden memunculkan statemen adanya perbedaan antara mudik dan pulang kampung yang sempat menggegerkan publik, baru-baru ini Presiden kembali menyampaikan statemen yang tidak kalah menarik perhatian masyarakat.
Melalui akun resmi media sosialnya pada Kamis (07/05/2020), Jokowi meminta agar masyarakat untuk bisa berdamai dengan Covid-19 hingga vaksin virus tersebut ditemukan (CNN Indonesia, 09/05).
Hal tersebut diamini oleh Menhub, tepatnya Kamis 7 Mei 2020 Menhub mengizinkan semua moda transportasi kembali beroprasi dengan dalih untuk menyelamatkan perekonomian bangsa. Walaupun tetap ada larangan mudik, namun hal ini justru selaras dengan wacana pelonggaran PSPB. Pemerintah menilai, dengan berdiam dirinya masyarakat dirumah, justru melemahkan perekonomian bangsa.
Menurut KBBI arti makna berdamai adalah berbaik kembali ; berhenti bermusuhan. Apakah mungkin kita sebagai manusia bisa menegosiasikan hal tersebut dengan Covid-19? Atau justru ini merupakan diksi yang memiliki makna implisit syarat kepentingan tertentu?
Anjuran Presiden untuk berdamai dengan Covid-19 menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat karena dianggap tidak sejalan dengan pernyataan perang melawan Covid-19 pada Konverensi G20. Pemerintah seakan inkonsisten dalam menangani pandemi Covid-19.
“Kami was-was terhadap pernyataan tersebut, takutnya diartikan yasudah kita terima saja,” ucap Ketua ARSSI cabang kota Bekasi, Dokter Eko S. Nugroho kepada wartawan, Senin, (KedaiPena.com, 11/05/2020).
Lalu berdamai seperti apa yang maksutkan pemerintah? Faktanya dengan diberlakukannya PSPB dibeberapa wilayahpun tidak bisa menghentikan laju pertambahan korban Covid-19 secara umum dan justru kian hari kian meningkat. Angka positif COVID-19 yang terkonfirmasi lewat tes laboratorium di Indonesia kini menjadi 14.749 kasus.
Kurva virus Corona masih mengalami kenaikan. Berdasarkan data pemerintah hingga Selasa (12/5/2020), grafik dari hari ke hari membentuk kurva menanjak. Dibanding Senin (11/5) kemarin, ada tambahan kasus baru positif COVID-19 sebanyak 484 kasus.
Kasus baru pada hari ini dua kali lipat lebih banyak dari yang kemarin dengan 233 kasus baru. Selama 12 hari belakangan, angka kasus baru tertinggi ada pada 9 Mei dengan 533 kasus baru (detikNews, 12/5). Logikanya apakah tidak akan lebih banyak korban lagi jika masyarakat harus berdamai dengan Covid-19?
Pernyataan inkonsisten dan multitafsir atas diksi pemerintah berkaitan dengan berdamai dengan Covid-19, bukan tidak mungkin akan membuat bingung masyarakat secara luas. Hal ini berpotensi menjerumuskan hingga memunculkan rasa acuh terhadap bahaya pandemi Covid-19 dan cenderung meremehkan.
Padahal sangat berbahaya karena bisa memperluas paparan Covid-19 ditengah-tengah masyarakat.
Tidak hanya dari kalangan masyarakat, tidak sedikit tenaga medis yang telah gugur berperang melawan Covid-19. Hal ini terjadi karena minimnya APD yang sudah selayaknya menjadi tangungjawab pemerintah. Dengan minimnya tenaga medis serta jumlah rumah sakit yang mumpuni sebagai rujukan pasien Covid-19, lagi-lagi mampukah masyarakat berdamai dengan Covid-19?
Dengan anjuran berdamai dengan Covid-19 seakan pemerintah cuci tangan atas tanggungjawab terhadap Kesehatan masyarakat. Berdamai dengan Covid-19 sama dengan memberlakukan hukum rimba. Yang kuat imunitasnya akan bertahan, dan yang lemah imunitasnya akan tergerus keadaan tanpa ada upaya perlindungan serius dari pemerintah.
Masyarakat telah merasakan dampak ekonomi yang sangat luar biasa akibat Covid-19, dan kini harus bertarung memperjuangkan kesehatannya sendiri melawan Covid-19.
Bukti lain pemerintah abai dalam menangani Covid-19 tercermin dari anggaran yang dialokasikan untuk riset berkaitan vaksin Covid-19.
“Untuk selamatkan rakyat Indonesia dan NKRI, mestinya Presiden komitmen dengan menambahkan anggaran riset untuk percepatan penemuan vaksin, bukan malah memangkasnya,” kata Hidayat di Jakarta (10/5/2020).
“Pak Jokowi, kita tidak akan bisa menang perang atau berdamai dengan Corona, dan berdaulat secara kesehatan, jika kita tidak maksimal dukung riset untuk segera ditemukan vaksinnya,” imbuhnya (TribunNews.com, 10/5).
Lagi-lagi kebijakan yang tidak berpihak kepada kesehatan Masyarakat. Tarik ulur kebijakan Kesehatan dan perekonomian terus terjadi. Seakan tidak ada integrasi yang saling menguatkan.
Hal ini disebabkan karena memang karakter Idiologi kapitalisme memandang sesuatu atas dasar manfaat dan mana yang lebih menguntungkan.
Hal tersebut sangat berbeda dengan pandangan Islam terhadap kesehatan rakyat. Islam memandang Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi dan dijamin oleh negara. Pastinya tanpa mengabaikan aspek yang lain.
Dalam konsep Islam, ketika terjadi wabah kebutuhan pokok diakomodir oleh negara. Maka jikalaupun harus diterapkan karantina, masyarakat tidak perlu khawatir akan kebutuhan pangannya.
Karena negara akan bertanggungjawab atas hal tersebut. Hal ini sangat jauh dengan kondisi saat ini. Dimana masyarakat diminta untuk karantina, namun untuk kebutuhan pokoknya mereka harus berjuang sendiri. Akibatnya banyak sekali pelanggaran karantina yang terjadi.
Pemerintah yang menjalankan sistem Islam tahu betul akan konsekuensi keimanan sebagai pemimpin suatu negara. Sadar akan setiap apa yang dia lakukan kepada rakyatnya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’ala.
Bagaimana pada zaman kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khatab saat terjadi wabah, beliau memastikan kebutuhan pokok warganegaranya terpenuhi tanpa terkecuali dan tanpa ada diskriminasi.
Bahkan demi memastikan rakyatnya terpenuhi segala kebutuhan pokoknya, Khalifah Umar rela menahan lapar hanya makan roti dan minyak saja. Hal ini Khalifah umar lakukan, karena Khalifah Umar sadar betul apa yang Beliau lakukan sebagai pemimpin akan belia pertanggungjawabkan dihadapan Allah Ta’ala.
Sosok pemimpin layaknya Khalifah Umar tidak akan pernah kita temui dalam system Kapitalis seperti sekarang ini. Sekalipun ada pribadi baik yang ingin menjadi pemimpin dalam system Kapitalisme, pasti dia akan tergerus oleh keadaan.
Menghalalkan dirinya bernegosisi dengan sustem yang Batil. Individu yang baik saja tidak cukup, namun harus didukung oleh system yang baik. Yaitu system kehidupan yang bersumber dari Allah Ta’ala. Bukan system buatan manusia.
Di sinilah seharusnya kita sebagai umat Muslim, sepenuhnya meyakini dan memperjuangkan kembali Sistem pemerintahan Islam untuk diterapkan dimuka bumi ini. Karena merupakan konsekuensi dari keimanan kita dan hanya system Pemerintahan Islamlah yang mampu memanusiakan manusia. GF/RIN/Lapan6 Group