“Kok bisa-bisa nya pemerintah tetap merencanakan untuk melanjutkan tentang pemindahan ibu kota. Seharusnya uang itu dapat dialokasikan untuk membantu rakyat yang kesulitan sehingga rakyat tidak memutuskan untuk pulang kampung. Biaya hidup dijakarta tidaklah mudah apalagi dijaman sistem kapitalis seperti ini,”
Oleh : Rahma Aliifah
Jakarta | Lapan6Online : Larangan perjalanan dengan tujuan keluar dan/atau masuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) serta wilayah lain yang telah menetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai berlaku Jumat (24/04) sampai 31 Mei mendatang.
Juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati dalam konferensi pers yang digelar Kamis (23/04) mengatakan bahwa selama larangan mudik berlaku, pihaknya akan mengambil pendekatan persuasif ketimbang represif pada tahap pertama, yakni dari tanggal 24 April hingga 7 Mei 2020.
Kondisi dimana masyarakat yang hanya berdiam diri di rumah (stay at home), berdasarkan hukum supply dan demand, lambat laun akan menyebabkan penurunan permintaan secara agregat atau Agregat Demand (AD) yang berujung pada jumlah produksi yang terus menurun.
Proses penurunan perekonomian yang berantai ini bukan hanya akan menimbulkan guncangan pada fundamental ekonomi riil, melainkan juga merusak kelancaran mekanisme pasar antara permintaan dan penawaran agar dapat berjalan normal dan seimbang.
Mengingat bahwa aspek-aspek vital ekonomi yaitu supply, demand dan supply-chain telah terganggu, maka dampak krisis akan dirasakan secara merata ke seluruh lapisan atau tingkatan masyarakat.
Sehingga masyarakat yang berada dikota untuk mencari nafkah terpaksa pulang kampung. Namun dengan Kebijakan pemerintah tentang PSBB berdampak pada pelarangan rakyat untuk pulang kampung. Menurut mereka dengan tidak ada nya pulang kampung bertujuan untuk mengurangi/ memutus mata rantai covid 19, sejumlah terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara sudah di tutup. Dan masyarakat harus tetap berada di tempat domisilinya masing-masing.
Tetapi hal ini tidak di indahkan oleh rakyat, banyak warga yang nekat pulang kampung. Jika mereka tetap berada dijakarta, mereka sudah tidak memiliki pekerjaan sehingga biaya hidup mengalami kesulitan. Kemudian dibarengi dengan datangnya bulan ramadhan dengan tradisi mudik, menambah ketat pelarangan tersebut. Tetapi kenyataannya dilihat dari pemberitaan di televisi kasus ODP maupun PDP semakin melonjak. Jadi dimana berkurangnya.
Dalam hal ini sungguh rakyat di buat bingung, dengan kebijakan pemerintah yang tidak tepat sasaran. Bagaimana nasib rakyat selanjutnya, jika penerapan psbb hanya untuk 2 atau 3 bulan rakyat tidak mengalami kerugian, tetapi penerapan tersebut akan berlangsung sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Lalu dimana peran pemerintah dalam mengatasi hal ini, dengan ada nya pelarangan harusnya pemerintah memberikan solusi agar rakyat tidak cuek dengan adanya penerapan PSBB tersebut. Rakyat di suruh nurut dengan peraturan pemerintah, sementara pemerintah pun abai dengan rakyatnya. Lagi-lagi rakyat disuruh mandiri, seharusnya negeri ini lah yang mandiri agar tidak berpangku pada negara lain dan berhutang sana sini akhirnya mengorbankan kesejahteraan rakyatnya.
Dengan kesulitan yang rakyat indonesia alami, kok bisa-bisa nya pemerintah tetap merencanakan untuk melanjutkan tentang pemindahan ibu kota. Seharusnya uang itu dapat dialokasikan untuk membantu rakyat yang kesulitan sehingga rakyat tidak memutuskan untuk pulang kampung. Biaya hidup dijakarta tidaklah mudah apalagi dijaman sistem kapitalis seperti ini. Inilah bukti bahwa demokrasi telah gagal menangani virus, maka Islam lah solusinya.
Dengan kondisi seperti ini, timbul pertanyaan besar: bagaimana Indonesia mampu melaluinya? Apa yang dimiliki bangsa ini agar mampu bertahan di tengah gelombang wabah yang belum pasti kapan akan berakhir?
Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, pemerintah dapat memberikan peran terbaiknya melalui berbagai bentuk atau model filantropi dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah. Peran ini diharapkan dapat mengatasi guncangan ekonomi yang terjadi dan seluruh masyarakat, khususnya petinggi negara, dapat ikut serta berkontribusi dalam memulihkan guncangan tersebut.
Solusi Ekonomi dan Keuangan Sosial Islam
Di antara solusi yang dapat ditawarkan dalam kerangka konsep dan sistem Ekonomi dan Keuangan Sosial Islam adalah:
Pertama, penyaluran bantuan langsung tunai yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, baik yang berasal dari unit-unit pengumpul zakat maupun dari masyarakat. Khusus untuk zakat yang ditunaikan, penyalurannya dapat difokuskan kepada orang miskin yang terdampak COVID-19 secara langsung, sebagai salah satu yang berhak menerimanya (mustahik). Poin ini adalah skema filantropi Ekonomi Islam yang memiliki potensi besar bagi perekonomian masyarakat.
Namun sayangnya, realisasi zakat yang masuk ke Baznas masih jauh dari harapan. Realisasi zakat di akhir tahun 2018 tercatat hanya Rp8,1 triliun, padahal potensinya mencapai Rp252 triliun.
Kedua, penguatan wakaf uang baik dengan skema wakaf tunai maupun wakaf produktif perlu ditingkatkan. Badan Wakaf Indonesia (BWI) perlu bekerja sama dengan lembaga keuangan syariah untuk membantu masyarakat yang terdampak covid 19.
Ketiga, bantuan modal usaha unggulan saat krisis. Di tengah-tengah krisis, tidak sedikit sektor usaha atau Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang berjuang agar tetap eksis. Usaha ini seringkali sulit bertahan karena keterbatasan permodalan.
Pada akhirnya, jika program-program di atas, khususnya bantuan langsung tunai, zakat, infak, wakaf, atau CSR, baik untuk masyarakat maupun sektor usaha atau UMKM, betul-betul dapat digalakkan, maka upaya tersebut diharapkan dapat meningkatkan kembali aggregate demand dan aggregate supply ke kanan (dalam kurva demand and supply) diikuti dengan pembangunan pasar daring yang fokus kepada UMKM yang mempertemukan permintaan dan penawaran, sehingga surplus ekonomi terbentuk kembali dan membantu percepatan pemulihan ekonomi. GF/RIN/Lapan6 Group