“Walaupun saya tidak pernah dapat, tapi saya tidak protes karena mungkin masih banyak yang lebih butuh dari saya. Sejak anak pertama sampai anak keempat ini lahir pun, saya tidak dapat bantuan, baik BLT/BLT maupun sejenisnya,”
Kupang | NTT | Lapan6Online : Samuel menjemput kami di depan gang, kira-kira 50 meter dari rumahnya di RT 13, RW 05, Desa Tarus, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (22/05/2020).
Tiba di rumah, Samuel Dima bersama Atni Kabnani sang istri mempersilakan saya dan beberapa teman untuk duduk di sebuah kursi kayu sepanjang satu meter, sementara keduanya duduk di lantai tanah.
Ketiga anak mereka bermain ke rumah tetangga. Hanya ada si bungsu yang baru berusia lima bulan digendong ibunya.
Samuel sangat bersemangat cerita tentang kehidupan mereka. Sementara Atni sibuk membuat kopi, namun sesekali menyambung pembicaraan kami dari dapur, yang hanya dipisahkan dengan dinding bebak dari ruang tamu.
Agar lebih nyaman, saya dan teman-teman memilih duduk sila bersama di lantai, sambil menyambung pembicaraan Samuel dengan pertanyaan. Lima gelas plastik berwarna merah berisikan kopi hitam, disimpan masing-masing di hadapan kami oleh Atni dan memperbolehkan kami untuk bercerita sambil minum, sebelum keburu dingin.
“Awalnya rumah lebih besar ini tapi terbakar. Jadi bangun lagi, tapi kecil begini sa. Maaf katong (kita) duduk di tanah sa karena belum ada kursi ni,” kata Samuel dengan logat khas Kupang dicampur Sabu.
Menurutnya, selain kursi dirinya juga belum bisa membeli tempat tidur. Setiap malam, Samuel dan istri serta keempat anaknya hanya tidur di kasur tipis yang dibentang pada lantai kamar keluarga.
Sambil menikmati kopi, Samuel membeberkan kepada kami bahwa tidak pernah menerima bantuan jenis apa pun, dari pemerintah. Mungkin luput dari pendataan di tingkat bawah, dia juga tidak tahu, sebab malu untuk bertanya.
“Walaupun saya tidak pernah dapat, tapi saya tidak protes karena mungkin masih banyak yang lebih butuh dari saya. Sejak anak pertama sampai anak keempat ini lahir pun, saya tidak dapat bantuan, baik BLT/BLT maupun sejenisnya,” ungkapnya.
Mewabahnya Covid-19 di Indonesia termasuk Nusa Tenggara Timur, membuat Samuel tidak lagi menunggu penumpang di pangkalan sebagai tukang ojek. Selain karena sepi penumpang, dia juga takut sebagai carier penularan virus kepada istri dan anak-anaknya di rumah.
“Ini virus buat beta takut untuk keluar ojek, beta sonde mau beta pu anak istri kena penyakit, biar susah yang penting jangan sakit,” ujarnya lirih.
Untuk memenuhi kebutuhan setiap hari, Samuel ternyata sudah membeli beberapa kilo beras untuk dimasak setiap hari. Agar tidak cepat habis, istrinya memasak hanya takaran dua gelas, bahkan sehari mereka hanya dua kali makan.
“Setiap hari kami makan dua kali sa. Kalau ada uang beli ikan atau tahu, pas tidak ada uang seperti ini katong makan dengan sayur pepaya atau marungga, yang katong tanam sendiri di halaman rumah,” terangnya.
Kini Samuel berharap BLT atau BST yang oleh banyak orang berkata akan ada tahap kedua. Walau namanya juga didaftarkan, namun ia tidak begitu menaruh harapan terhadap bantuan pemerintah itu, lantaran sudah terbiasa luput dari segala jenis bantuan yang digelontorkan pemerintah daerah, maupun pusat sejak anak pertama mereka lahir.
“Kalau dapat ya termakasih, kalau tidak dapat ya mau bilang apa, mungkin masih ada yang lebih butuh dari beta,” tutup Samuel. [fik/mdk]
*Sumber : merdeka.com