“Sepanjang pengelolaan Kondensat itu dilakukan dengan perjanjian, maka itu halal, sah. Dalam perkara ini, itu tidak diperjanjikan. Artinya, ada sebuah kewajiban dari katakanlah tersangka untuk membuat perjanjian, mana yang haknya negara, mana yang bukan haknya negara,”
Jakarta | Lapan6Online : Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membantah menyebut kasus korupsi kondensat senilai Rp 36 triliun, yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, adalah murni sengketa perdata.
“Siapa yang bilang? Saya nggak pernah ketemu wartawan,” ujar Jaksa Agung Burhanuddin ketika dihubungi koranpagionline.com di Jakarta, pada Minggu (31/05/2020).
Menurut Burhanuddin, pendapat hukum datang saat Dia masih menjabat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung tahun 2012 adalah obyek yang berbeda dengan kasus kondensat yang ditangani Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung dan saat ini tengah bergulir persidangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
“Kalau mau lengkap silakan tanya ke Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejagung. Di situ lengkap,” ucap Burhanuddin mempersilakan wartawan untuk menanyakan secara rinci dan mendapatkan keterangan lengkap dari Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejagung.
“Pokoknya berbeda obyek antara yang ditangani Bidang Datun dan Bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejagung,” tukas Jaksa Agung Burhanuddin.
Sementara itu Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Hari Setiyono, menyebutkan bahwa pengelolaan Kondensat tidak melalui perjanjian, sehingga kasus Kondensat tidak lagi dikategorikan menjadi sengketa perdata.
“Sepanjang pengelolaan Kondensat itu dilakukan dengan perjanjian, maka itu halal, sah. Dalam perkara ini, itu tidak diperjanjikan. Artinya, ada sebuah kewajiban dari katakanlah tersangka untuk membuat perjanjian, mana yang haknya negara, mana yang bukan haknya negara,” ujar Hari.
Hari menyebut dalam kurun 11 bulan perkara Kondensat tidak melalui perjanjian.
“Nah kurun waktu 11 bulan itulah yang tidak diperjanjikan. Sepanjang itu diperjanjikan, tentu kembali ke perdata,” kata Hari.
Sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan jaksa, seller appointment agreement (SAA) pertama ditandatangani pada 23 April 2010 dengan masa berlaku surut dari 23 Mei 2009 s/d 23 Mei 2010, namun pengiriman kondensat kepada PT TPPI telah terjadi sebelum penandatanganan kontrak SAA (23 April 2010) dengan volume sejumlah 15.539.449.02 barel senilai USD 1.104.206.185.54.
Amandemen pertama SAA ditandatangani pada 21 Oktober 2010, berlaku surut dari 23 Mei 2010 s/d 23 Mei 2011. Pengiriman kondensat sebelum penandatanganan Amandemen pertama SAA dengan volume sejumlah 6.060.563.64 barel senilai USD 442.637.264.69.
Untuk SAA amandemen kedua dan side letter sampai dengan pemeriksaan berakhir tidak diperoleh dokumen hasi evaluasi sebagai dasar pertimbangan perpanjangan pengiriman kondensat bagian negara kepada PT TPPI.
Lalu penyerahan standby letter of credit (SBLC) kepada BP Migas lebih dari 10 bulan setelah pengiriman kondensat pertama kali tanggal 23 Mei 2009, baru kemudian PT TPPI menerbitkan SBLC melalui Bank BNI dengan mekanisme cash collateral atau jaminan setara kas dengan SBLC nomor: S21DKB0000210 senilai USD 1.000.000.00 tanggal efektif 1 April 2010 dan tanggal jatuh tempo 30 Juni 2010.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengiriman kondensat dari periode 23 Mei 2009 s/d 31 Maret 2010 sejumlah 14.340.335.14 barel senilai USD 1.005.214. 474.50 tidak dilindungi dengan jaminan pembayaran.
PT TPPI menyerahkan jaminan fidusia kepada BP Migas dengan akta nomor 176 tangga 22 Nopember 2010 dengan nilai obyek USD 177.228.881.00.
Selanjutnya PT TPPI menyerahkan perubahan atas jaminan fidusia dengan akta nomor 101 tanggal 15 Juni 2011 dengan nilai objek USD 178.736.443.98.
Hal ini menunjukkan bahwa pengiriman kondensat untuk periode 23 Mei 2009 s/d 21 Nopember 2010 sejumlah 23.520.954.66 barel senilai USD 1.698.672.987.64 tidak dilindungi dengan jaminan pembayaran. Syamsuri/Mas Te