Tapera, Tak Menjamin Kesejahteraan Rakyat

0
55
Nora Trisna Tumewa/Foto : Ist.
“Tingkat inflasi properti, lantaran sektor ini mencatat inflasi paling tinggi dibandingkan sektor lainnya. Properti punya inflasi paling tinggi, jadi kalau menabung dari sekarang setelah sepuluh tahun harga rumahnya sudah berkali-kali lipat, itu yang perlu diperhatikan pemerintah,”

Oleh: Nora Trisna Tumewa

Jakarta | Lapan6Online : Belum hilang keresahan rakyat Indonesia dari ancaman terpapar Covid-19 yang tengah mewabah di negeri ini, kemudian terancam pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan serta masalah perekonomian rakyat yang juga ikut terpuruk akibat terdampak wabah tersebut. Kini rakyat kembali dirisaukan dengan peraturan pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang telah ditetapkan oleh presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2020 lalu. Dengan disahkannya peraturan pemerintah tersebut menambah daftar panjang iuran bersama yang ditanggung pekerja, selain iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan dan JHT yang mana terapannya pun belum optimal.

PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat menyebutkan bahwa Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.

PP tersebut adalah penajaman dari aturan sebelumnya, yakni Undang-undang Nomor 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Untuk peserta pekerja, pasal 15 PP Nomor 25 Tahun 2020 mengatur besaran iuran simpanan sebesar 3 persen dari gaji atau upah. Iuran berasal dari pemberi kerja dan pekerja sendiri.

“Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen,” bunyi aturan tersebut.

Dana Tapera ini termasuk yang paling sedikit memberi manfaat pada pekerja karena jangka waktu iurannya yang sangat panjang dan tidak ada kemudahan bagi peserta untuk melakukan klaim pengambilan dana tersebut.

Dalam PP tersebut peserta Tapera adalah setiap warga negara Indonesia dan warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan yang telah membayar simpanan, terdiri dari pekerja dan juga pekerja mandiri. Golongan pekerja yang dimaksud meliputi calon PNS, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, pekerja BUMN, pekerja BUMD dan pekerja dari perusahaan swasta baik yang belum maupun sudah memiliki rumah.

Menurut pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus sepakat jika program Tapera menjadi solusi pengurangan backlog perumahan. Namun, terdapat sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam implementasinya nanti.

Pertama, tingkat inflasi properti, lantaran sektor ini mencatat inflasi paling tinggi dibandingkan sektor lainnya. Properti punya inflasi paling tinggi, jadi kalau menabung dari sekarang setelah sepuluh tahun harga rumahnya sudah berkali-kali lipat, itu yang perlu diperhatikan pemerintah.

Kedua, stabilitas harga kebutuhan pokok. Alasannya, mayoritas pekerja menggunakan 90 persen gaji mereka untuk memenuhi kebutuhan primer seperti konsumsi, pendidikan anak, dan sebagainya. Dengan demikian, jika gaji mereka kembali dipotong untuk iuran Tapera sementara harga kebutuhan pokok makin melambung maka kondisi ini tentunya akan menekan finansial masyarakat. Apalagi, jumlah iuran Tapera lumayan besar yakni 3 persen dari gaji.

Dengan diterapkannya PP tersebut dikhawatirkan akan adanya risiko tumpang tindih program. Menurut Ekonom Indef Bhima Yudhistira penghimpunan dana Tapera bisa jadi akal-akalan pemerintah untuk mencari alternatif sumber pembiayaan di tengah melebarnya defisit anggaran karena ekonomi yang belum pulih akibat pandemi. Dana Tapera akan diinvestasikan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN). Artinya, pekerja diminta secara tidak langsung untuk membeli SBN (Surat Berharga Negara). Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan BP Tapera untuk berhati-hati dan mematuhi kaidah tata kelola agar tak terjadi kasus gagal bayar seperti halnya yang dialami Asuransi Jiwasraya.

Program Tapera ini menuai polemik serta ramai dikritik kalangan pengusaha dan pekerja karena dianggap dengan adanya iuran Tapera ini justru semakin membebani rakyat di tengah pandemi Covid-19. Berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah tak juga mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Justru dengan adanya PP Tapera ini semakin menegaskan bahwa pemerintah tak lagi menjadi pelindung dan obat penenang bagi rakyatnya. Seolah menutup mata akan kesulitan yang tengah dialami oleh rakyat terlebih akibat wabah pandemi yang juga belum ada tanda-tanda akan membaik. ****

*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini