Dilema Pedagang Pasar, Antara Ekonomi Dan Kesehatan

0
30
Ilustrasi/Foto : net
“Keselamatan dan kesejahteraan rakyat bukan menjadi dasar atau tolak ukur dalam mengambil setiap kebijakan. Akibatnya rakyatpun khawatir dan cemas dengan kelaparan yang siap menghadang. Ibarat makan buah simalakama,”

Oleh : Siti Masliha, S.Pd

Jakarta | Lapan6Online : Kondisi Pandemi yang terjadi saat ini belum dapat dikatakan normal namun pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontra produktif dengan kebijakan New Normal. Artinya masyarakat diminta untuk berdamai atau berinteraksi dengan corona. Ini sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan.

Salah satu kluster yang rentan terpapar virus corona adalah pasar di mana terjadi proses transaksi antara pedagang dan penjual. Pasar banyak dikunjungi oleh masyarakat karena pasar sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pasar tradisional menjadi sorotan di tengah masa transisi PSBB Jakarta pada pekan ketiga Juni. Sedikitnya terdeteksi 64 orang pedagang pasar positif virus corona. Sebanyak 24 pasar tradisional yang menjadi klaster penularan Covid-19 di DKI Jakarta kini ditutup, antara lain Pasar Kebayoran Lama, Pasar Lenteng Agung, Pasar Palmerah, Pasar Minggu dan Pasar Slipi.

Siti Masliha, S.Pd/Foto : Ist.

Sesuai keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pembukaan pasar seharusnya dilakukan dengan cara ganjil genap bagi pedagang. Anies mengatakan penerapan ganjil genap ini bertujuan untuk mengurangi kapasitas di pasar itu hingga 50%.

Memang, kata Anies seperti dikutip laman bbcanewsindonesis, Kamis (19/6/2020), saat ini kapasitasnya hanya boleh 50% dulu demi keselamatan pedagangnya juga. Jadi ini bukan semata-mata bukan soal ganjil dan genap, ini soal keselamatan pedagang, keselamatan pembeli.

Pedagang pasar saat ini mengalami dilema. Di satu sisi pandemi corona masih tinggi, masyarakat diminta untuk di rumah saja. Namun hal ini membuat para pedagang pasar tidak dapat menyambung kehidupannya dan tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Di sisi lain para pedagang pasar diminta untuk menyambung kehidupannya dengan berdagang di pasar. Namun kondisinya sangat rentan terpapar virus corona. Meski para pedagang pasar sudah mengikuti protokoler kesehatan namun hal ini tidak menjamin para pegadang tidak terkena virus corona.

Dilema pedagang pasar yang ini harus diselesaikan oleh pemerintah. Karena sesungguhnya pemerintah adalah nahkoda di negeri ini. Pemerintah pengatur urusan rakyat. Jangan sampai gara-gara hal ini nyawa rakyat menjadi korban. Jika kita tarik benang merah maka dilema yang dialami oleh pedagang pasar diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang inkonsisten.

Ini bisa dilihat dari kebijakan pemerintah yang tidak tegas dalam menangani pendemi corona. Ketika virus corona masih belum masuk ke negara Indonesia tidak ada langkah preventif dari pemerintah. Pemerintah tampak santai menanggapi hal tersebut bahkan dengan guyonan.

Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi saat menghadiri peringatan Hari Pendidikan Tinggi Teknik ke-74 di Graha Sabha Pramana, UGM, Yogyakarta, pada 17 Februari.

“Insya Allah [virus] Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal.”

Awal maret corona benar-benar masuk ke Indonesia. Namun belum ada kebijakan yang tegas untuk memutus mata rantai penyebaran corona. Desakan melakukan lockdown dari berbagi pihak tidak diambil oleh pemerintah. Alasan pemerintah tidak memberlakukan lockdown karena alasan ekonomi dan alasan setiap negara memiliki kedisiplinan yang berbeda.

Setelah itu pemerintah memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Namun PSBB ini tidaklah efektif, pasalnya pemerintah memberlakukan kelonggaran terhadap PSBB.

Kelonggaran dengan dibukanya sejumlah fasilitas umum seperti pasar, mall, bandara dan lain sebagainya. Hari ini pemerintah memberlakukan New Normal di tengah situasi yang belum normal.

Selain kebijakan yang inkonsisten dalam mengurus rakyat, di masa pendemi ini tidak ada jaminan kebutuhan pokok juga menjadi dilema bagi pedagang pasar.

Pedagang pasar tentunya mendapat keuntungan dari berjualan kebutuhan sehari-hari di pasar. Namun pendemi corona ini membuat mereka tidak ada pemasukan.

Sedangkan kebutuhan sehari-hari harus mereka penuhi. Namun pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti bagi pedagang pasar.

Inilah realita yang terjadi di negeri kita. Dasar pengambilan keputusan adalah untung rugi secara ekonomi. Keselamatan dan kesejahteraan rakyat bukan menjadi dasar atau tolak ukur dalam mengambil setiap kebijakan. Akibatnya rakyatpun khawatir dan cemas dengan kelaparan yang siap menghadang. Ibarat makan buah simalakama, pedagang pasar dilanda pilihan berat antara menyelamatkan ekonomi atau kesehatan.

Dalam Islam keselamatan nyawa manusia adalah hal yang utama. Oleh karena itu ketika terjadi wabah penyakit maka yang menjadi dasar pengambilan kebijakan penguasa adalah keselamatan nyawa manusia. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah ketika terjadi wabah penyakit di suatu daerah.

“Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam hadits di atas jelas jika ada wabah penyakit yang melanda suatu negeri kita dilarang memasuki negeri tersebut.

Negeri yang terkena wabah penyakit dilarang untuk keluar. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar wabah penyakit ini tidak semakin meluas. Intinya jika terjadi wabah penyakit kita diminta untuk “stay at home” atau berdiam diri di rumah.

Lantas pertanyaannya bagaimana jika kita tidak keluar rumah, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari?

Hal terpenting dalam Islam adalah menjamin kebutuhan pokok warganya.
Kebutuhan pokok tersebut antara lain sandang, pangan, papan dan pekerjaan.

Laki-laki wajib berkerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta anak dan istrinya. Jika laki-laki tersebut tidak mampu berkerja karena alasan tertentu maka kebutuhannya ditanggung oleh sanak kerabatnya.

Jika sanak kerabatnya juga tidak mampu maka negara yang akan menanggungnya.

Negara dengan Baitul Maal menanggung nafkah bagi orang-orang yang tidak mampu bekerja dan berusaha. Jika negara tidak mampu maka seluruh kaum muslimin wajib menanggungnya. Ini direfleksikan dengan penarikan pajak oleh negara kepada orang-orang yang mampu. Setelah itu didistribusikan kepada orang-orang yang membutuhkan.

Kebijakan tegas dan jelas diambil oleh negara sehingga rakyat tidak dilematis antara menyelamatkan ekonomi atau kesehatan. GF/RIN/Media Group Jaringan Lapan6

*Penulis Adalah Muslimah Peduli Generasi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini