“Krisis Rasa” Di Era Para Penguasa

0
251
Ilustrasi : Net
“Saat pemimpin negeri menunjukkan kekesalan yang diunggah ke media sehingga bisa ditonton masyarakat banyak, menjadi “tontonan menarik” di saat rakyat menanti seorang pemimpin yang pro pada urusan rakyat,”

Oleh : Desi Wulan Sari, S.E, M.Si

Jakarta | Lapan6Online : Jika melihat kondisi Indonesia saat ini, sungguh berada dalam “masa kritis” dalam hal sosok kepemimpinan bangsa, perekonomian negara dan rakyat yang kian terpuruk, ketahanan pangan yang makin menipis, bahkan kepercayaan rakyat pada pemimpinnya kian merosot. Apakah sesungguhnya yang tengah terjadi?

Berbagai permasalahan yang ada saat ini bagaikan efek domino yang menanti kejatuhannya. Lihatlah bagaimana rakyat menikmati kebijakan demi kebijakan yang ditetapkan penguasa negeri dan efeknya dinikmati oleh rakyat yang kian limbung dan berjatuhan dari berbagai sisi. PHK masal, ekonomi yang sengkarut, pendidikan yang semakin tidak menentu arahnya, hingga ketahan pangan yang semakin mempersempit gerak petani negeri ini.

Desi Wulan Sari, S.E, M.Si/Foto : Ist.

Maka saat pemimpin negeri menunjukkan kekesalan yang diunggah ke media sehingga bisa ditonton masyarakat banyak, menjadi “tontonan menarik” di saat rakyat menanti seorang pemimpin yang pro pada urusan rakyat, khususnya di tengah-tengah kesulitan dampak pandemi ini.

Pada rapat terbatas kabinet yang dilakukan nersama para menterinya, Presiden marah dan menganggap banyak menteri belum punya sense of crisis dan bekerja seperti kondisi normal.

Sang Presiden memberikan jaminan bahwa dirinya siap mempertaruhkan reputasi politiknya untuk membuat kebijakan extraordinary, mulai dari membuat perppu, membubarkan lembaga hingga reshuffle. Inikah solusi penting penguasa dalam mengatasi pandemi dengan korban yang semakin bertambah akibat virus covid-19 di berbagai wilayah Indonesia.

Pidato presiden marah-marah kepada jajaran kabinet kerjanya, membuat masyarakat terheran-heran dan banyak yang merasa kaget.

Para tokoh masyarakat banyak yang menilai pro dan kontra dari kejadian tersebut. Ada yang menilai, apa yang dilakukan presiden adalah satu hal yang lazim dan patut di apresiasi. Sikap kritisnya tersebut atas kekesalan yang ditumpahkan dengan sangsi pergantian reshuffle jika kondisi tidak semakin baik.

Tetapi ada juga yang yang berpendapat bahwa aksi presiden marah-marah yang diunggah di media sosial sangat berlebihan seakan hanya ingin mencari simpati dalam kondisi “lemahnya kredibilitas” seorang pemimpin yang semakin terpuruk di mata rakyat saat ini.

Presiden mengatakan, “Langkah apapun yang extraordinary akan saya lakukan. Untuk 267 juta rakyat kita. Untuk negara,” begitu tegasnya.

Tak tanggung-tanggung Jokowi juga akan melakukan perombakan kabinet jika diperlukan. Itulah sekilas pidato yang disampaikan pemimpin negeri ini, disampaikan dengan nada marah dan penuh kekesalan (detik.com, 28/6/2020).

Justru yang menarik adalah kritikan Presiden terhadap sektor-sektor pemerintahan yang mengurus kebutuhan masyarakat menjadi sorotannya.

Pertama, bidang kesehatan dengan anggaran Rp 75 triliun. Jokowi mengkritik penggunaan anggarannya baru sekitar 1,53%.

Beliau memerintahkan untuk mengeluarkan anggaran pada pembayaran dokter, tenaga spesialis, belanja peralatan. Dengan begitu, uang beredar di masyarakat tersebut dapat memicu aktivitas perekonomian.

Seiring kekesalan sang Presiden, bggitu pun data yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam event Webinar di Jakarta yang dilansir laman antara, Sabtu (27/6).

Alasan yang dikemukakan tentang kecilnya serapan anggaran, karena program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menghadapi ‘musuh baru’. Permasalahan ini terjadi di level operasional dan proses administrasi.

Pernyataan ini sempat menjadi tanda tanya masyarakat apa yang dimaksud dengan “musuh baru” yang disebutkan.

Sri Mulyani mengatakan tantangan tersebut membuat penyerapan belanja stimulus fiskal masih melambat dan belum optimal hingga mendekati akhir Juni 2020.Untuk program kesehatan senilai Rp87,55 triliun misalnya. Penyerapannya baru 4,68 persen atau sekitar Rp4,04 triliun.

Ini terjadi karena masih ada gap antara realisasi keuangan dan fisik.Rendahnya penyerapan belanja juga terjadi untuk program sektoral dan pemda senilai Rp106,1 triliun, realisasinya mencapai 4,01 persen atau sekitar Rp4,25 triliun, karena membutuhkan dukungan pemda secara umum dalam proses penyelesaian regulasi (idntimes.com, 27/6/2020).

Ternyata kondisi yang digambarkan menteri keuangan adalah kendala sulitnya alur birokrasi sebaran penyaluran bantuan fasilitas untuk rakyat akibat kurangnya adaptasi di level operasional dan proses administrasi.

Tidak sampainya penyaluran yang telah dianggarkan menjadi hambatan terhadap penyaluran bantuan kepada rakyat. Bantuan kesehatan yang digembar-gemborkan bernilai tinggi, namun yang sampai dimasyarakat hanya sebagian kecilnya saja. Bahkan hingga hari ini belum terlihat solusi atas masalah tersebut.

Jika kita berpikir secara cemerlang, gambaran demi gambaran episode sang penguasa dan para menterinya merupakan potret buram sebuah sistem bobrok kapitalisme. Mengapa demikian? Tentu saja apa yang menjadi kebijakan dan aturan-aturan yang dikeluarkan pemimpin dan pemerintah sejauh ini belum ada yang menguntungkan masyarakat.

Khususnya di masa pandemi ini, yang ada peraturan demi peraturan kian mencekik leher rakyat, seperti aturan new normal yang semakin memperparah paparan virus, aturan pasar rakyat dibatasi bahkan ditiadakan sehingga rakyat semakin sulit hidupnya, kebijakan listrik yang naik ditengah kesulitan ekonomi, dan banyak lagi kebijakan dan aturan pemerintah yang tidak menjadi solusi atas masalah-masaah yang dihadapi.

Inilah perlunya kesadaran umat, bahwa yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi adalah landasan yang benar dalam pengambilan kebijakan. Selama dalam koridor kapitalisme, tidak akan lahir kebijakan benar karena selalu akan untungkan kapitalis.itulah tujuan dari kapitalisme.

Lalu sistem apa yang mampu menjadi solusi atas problematika umat seperti itu? Tentulah kembali kepada syariat Islam.

Islam sebagai agama universal adalah sumber kehidupan alam semesta dan seisinya. Islam merupkan agama rahmat (penuh kasih sayang) antara sang Pencipta Allah swt dengan makluknya. Jika saja Islam tidak dijadikan sebagai kambing hitam rezim kapitalis, tentu umat muslim sebagai mayoritas penganut agama Islam akan memilih Islam sebagai solusi umat dan permasalahan yang dihadapi.

Maka saatnya umat Islam sadar dan kembali kepada Islam kaffah. Menjalankan secara menyeluruh syariat yang telah Allah tetapkan melalui wahyu-Nya Al Quran, melalui Rasul pembawa risalah umat Muhammad saw. Lebih dari itu, untuk menyelesaikan aneka problem dan memperbaiki kehidupan masyarakat, yang harus dilakukan hanyalah kembali pada jalan Islam, yaitu dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:
Allah SWT berfirman:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).

Inilah sesungguhnya yang menjadi kewajiban dan tangung jawab umat Islam yang harus segera diwujudkan di tengah-tengah kehidupan. Wallahu a’lam bishawab. GF/RIN

*Sumber : Radarindonesinews.com/Media Jaringan Lapan6online.com

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini