Usut Korupsi di Kaltim, Ombudsman RI Sambut Baik Dewan Rakyat Dayak

0
1082
Ketua Dewan Rakyat Dayak DPW Kaltim saat datang ke Ombudsman RI. (Foto: dok. Lapan6online)

Jakarta, Lapan6online.com : Sudah 10 hari sejak surat dikirim, hingga hari ini, Surat Ketua Dewan Rakyat Dayak (DRD) DPW Kalimantan Timur (Kaltim), Siswansyah belum dibalas oleh Kejaksaan Agung RI. Surat itu adalah surat ketiga yang dilayangkan Siswansyah terkait dengan permintaan untuk memeriksa kembali kasus-kasus korupsi di Kalimantan Timur yang merugikan negara miliaran rupiah.

Sebelumnya, ada 2 surat yang sudah dilayangkan Siswansyah ke Kejagung RI, Surat pertama, nomor 24/KPADK/9/2019 (sewaktu masih bergabung di KPAD, Surat Kedua atas nama pribadi nomor 001/1/2020.

Kepada Lapan6online, Siswansyah mengungkap, menilik ketiga surat yang dilayangkan ke Kejagung RI, sedikitnya ada dua kasus yang dibahas oleh Siswansyah, pertama adalah kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial Aspirasi Anggota DPRD Kab. Berau periode 2009-2014, dengan tersangka Najamuddin, ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan Kab. Berau pada tahun 2012.

Namun sejak ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Berau di era Kepala Kejari saat itu Rudi Manurung, sampai hari ini, kasus yang diduga merugikan negara berkisar Rp2 miliar, menurut Siswansyah tak pernah ada tindaklanjutnya.

Kasus kedua adalah kasus korupsi dana APBD Kalimantan Timur Tahun Anggaran 1999- 2004 terkait penyimpangan dana penunjang kegiatan DPRD Tahun 2000- 2003 dengan kerugian negara sebesar Rp96,4 Miliar.

Dalam kasus kedua ini, telah ditetapkan 9 tersangka anggota DPRD periode 1999-2004, dimana 3 orang diantaranya telah divonis di Pengadilan Negeri Samarinda, yakni Mantan Ketua DPRD Kaltim priode 1999-2004, Sukardi Djarwo Putro dari fraksi PDIP dan 2 orang mantan Wakil Ketua masing-masing bernama Kasyful Anwar As’addari dari fraksi Golkar dan Khairul Fuad dari fraksi PPP.

Sementara 6 tersangka lainnya masih bebas. Diantaranya, Andi Harun (saat ini anggota DPRD Kaltim Partai Gerinda), Ipong Muchlissoni (saat ini menjadi Bupati Ponorogo), Herlan Agussalim (Almahrum), Abdul Hamid, Agus Tantomo (saat ini Wakil Bupati Berau) dan Herman Okol.

Siswansyah mengungkap, kasus kasus itu kabarnya sudah di SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara) alias dihentikan proses hukumnya.

Kasus di SP3 Pihak Kejaksaan

Dari penelusuran Lapan6online, diperoleh beberapa informasi yang menyebutkan 6 tersangka dalam kasus korupsi DPRD Kaltim periode 1999-2004 telah di SP3.

Pertama, dikutip dari group Jawapos, JPNN, 28 Juli 2009, disebutkan SP3 kasus korupsi DPRD Kaltim didapat anggota periode 1999-2004 Mereka adalah Hermain Okol, Ipong Muchlisoni, AA Soemarsono, Agus Tantomo, Herlan Agussalim (Alm), dan Abdul Hamid Setelah disidik sejak 2006, Kejaksaan Tinggi Kaltim pada Februari 2009 akhirnya mengeluarkan SP3 dengan alasan tak cukup bukti.

Apa yang dialami keenamnya bertolak belakang dengan 3 unsur pimpinan DPRD periode yang sama, Sukardi Jarwo Putro, Khairul Fuad, dan Kasyful Anwar, sampai tingkat kasasi ketiganya terbukti bersalah dan dihukum masing-masing percobaan selama satu tahun, karena bersama anggota lain ditengarai melakukan penyimpangan dana penunjang kegiatan DPRD 2000-2003 sebesar Rp 96,4 miliar.

Saat itu, Jampidsus Marwan Effendy sempat mengatakan, SP3 dilakukan dengan pertimbangan PP No 10 Tahun 2000 tentang Susunan dan Kedudukan Keuangan Anggota DPRD, yang juga dijadikan salah satu dasar tuduhan korupsi, telah dianulir Mahkamah Agung sebagaimana hal MA telah membebaskan puluhan anggota DPRD Padang, Sumatera Barat dengan tuduhan serupa di Kaltim.

Kedua, mengutip blog erwansusandi.blogspot.com yang dirilis pada Rabu, 4 Maret 2009 disebutkan, Keputusan Kejati Kaltim menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi 6 anggota DPRD Kaltim periode 1999-2004, telah dilaporkan Lembaga dari Kesatuan Aksi Peduli Pemerintahan Bersih (Kampper) Kaltim, ke Komisi Pengawas Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

SP3 perkara itu dipublikasikan kejaksaan melalui Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Kaltim Syakhroni. Disebutkan, SP3 perkara itu dikeluarkan Kajati Kaltim Thomson Siagian, 25 Februari 2009. Kemudian, keputusan SP3 itu diberitahukan kepada para tersangka (6 anggota DPRD periode 1999-2004), dua hari kemudian.

Keenam anggota DPRD itu adalah Hermain Okol, Ipong Muchlisoni, AA Soemarsono, Agus Tantomo, Herlan Agussalim, dan Abdul Hamid. Beberapa di antaranya, telah menghadap Kajati Thomson Siagian.

Syakhrony mengakui, mereka sengaja dipanggil untuk memberitahukan secara resmi bahwa perkaranya di-SP3 dengan alasan tidak terdapat cukup bukti.

SP3 itu disambut gembira keenam anggota DPRD periode 1999-2004 itu. Bahkan, Herlan Agussalim (semasa hidup) yang periode selanjutnya menjabat sebagai ketua DPRD Kaltim dengan lantang menyampaikan rasa syukur, saat memimpin paripurna ke-VI di Gedung DPRD Kaltim. Ucapan syukur yang disampaikan di hadapan paripurna juga mewakili 5 koleganya yakni Abdul Hamid, Ipong Muchlisoni, AA Soemarsono dan Hermain Okol serta Agus Tantomo, sebagai mantan anggota DPRD Kaltim.

Ketiga, Keputusan SP3 itu menuai kecaman dari sejumlah lembaga publik, seperti dikutip lapan6online dari tribunnrmews.com yang dirilis pada Kamis, 18 Maret 2010, disebutkan, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Kaltim, Syakhroni SH saat menerima sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi Kota Samarinda (GMAKKS) pada Rabu (17/4/2010) di hadapan puluhan mahasiswa GMAKKS, (saat itu) Syakhroni menjelaskan terkait kasus 6 tersangka mantan DPRD Kaltim yang telah di SP3. Kata Syakhroni, (dengan SP3) Kejati Kaltim tidak membiarkan kasus itu (berhenti begitu saja).

“Kita tidak mengubur kasus itu. Mungkin saja, kalau ada bukti baru bisa kita lanjutkan lagi,” kata Syakhroni.

Sejauh Mana Kewenangan Kejaksaan SP3

Kini kasus dugaan korupsi itu kembali disorot dan ditelusuri kembali oleh Dewan Rakyat Dayak (DRD) DPW Kaltim. Lantas sejauh mana kewenangan Kejaksaan menghentikan kasus itu dengan mekanisme SP3?

Mengutip ulasan Shanti Rachmadsyah, S.H. dari situs hukumonline pada Senin, 11 Oktober 2010, di kemukakan SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut, yaitu:

1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.

2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.

3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa.

SP3 diberikan dengan merujuk pada pasal 109 ayat (2) KUHAP, yaitu:

1. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik Polri, pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan pada penuntut umum dan tersangka/keluarganya.

2. Jika yang menghentikan penyidikan adalah penyidik PNS, maka pemberitahuan penyidikan disampaikan pada: (a). Penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atas penyidikan; dan (b) Penuntut umum.

SP3 Bukan Harga Mati

Lantas jika kasus sudah di SP3 apakah dapat dilanjutkan kembali?

Mengutip Kantor Berita Antara pada 15 Januari 2016, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur Abdoel Kadiroen menegaskan kasus dugaan korupsi yang sudah dinyatakan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan, bukan harga mati.

“Kasus yang sudah dinyatakan SP3 itu bukan harga mati. Jika ada `novum” atau bukti baru, tentu perkara tersebut bisa dibuka kembali,” ujar Abdoel Kadiroen saat bersilaturahmi dengan sejumlah wartawan di Sekretariat PWI Kaltim di Samarinda, Jumat.

Pernyataan tersebut disampaikan Abdoel Kadiroen, menjawab pertanyaan wartawan terkait tiga kasus dugaan korupsi di Kaltim yang pernah ditangani Kejaksaan Tinggi Kaltim dan telah dinyatakan SP3. Ketiga kasus yang dinyatakan SP3 tersebut salah satunya terkait kasus bantuan sosial di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2010 senilai Rp108 miliar yang sempat menetapkan 15 orang sebagai tersangka.

“Jadi, kasus yang sudah di SP3 itu bisa dibuka kembali, jika ada bukti baru yang bisa dikembangkan,” kata Abdoel Kadiroen.

“Sekali lagi saya tekankan, kasus yang sudah di SP3 itu bukan harga mati, sebab kalau memang cukup bukti maka akan dilanjutkan, tetapi kalau memang harus berhenti, kami hentikan,” tambahnya.

Kajati menambahkan, “Inilah yang namanya kepastian hukum dan saya tidak suka menggantung nasib orang. Coba anda bayangkan, jika orang tuanya ditetapkan tersangka, kemudian kasusnya digantung maka hal tersebut berimplikasi pada keluarganya.”

Abdoel Kadiroen berjanji akan mempelajari tunggakan kasus-kasus, khususnya terkait korupsi yang pernah ditangani Kejati Kaltim. “Pemberantasan korupsi akan terus kami lakukan dan tentu kami minta rekan-rekan media juga ikut memantau kami,” kata Abdoel Kadiroen.

Dewan Rakyat Dayak Kembali Bergerak

Kembali kepada Siswansyah, hal inilah yang dilakukan oleh Siswansyah yang menelusuri kembali jejak “SP3” yang dikabarkan di atas tadi telah dipublikasikan oleh Kejati Kaltim melalui Kasi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Kaltim Syakhroni.

Disebutkan, SP3 perkara itu dikeluarkan Kajati Kaltim Thomson Siagian, 25 Februari 2009. Kemudian, keputusan SP3 itu diberitahukan kepada para tersangka (6 anggota DPRD periode 1999-2004 saat itu), dua hari kemudian.

Siswansyah mengungkapkan, sejauh ini baru secara lisan dia mendengar soal SP3 itu, namun tidak ada bukti lebih jauh, misalnya dalam bentuk surat atau bukti hukum lain seperti surat yang menerangkan jika kasus dugaan korupsi dana Bansos Aspirasi Anggota DPRD Kab. Berau periode 2009-2014, dan kasus korupsi dana APBD Kalimantan Timur Tahun Anggaran 1999- 2004 terkait penyimpangan dana penunjang kegiatan DPRD Tahun 2000- 2003 dengan kerugian negara sebesar Rp96,4 Miliar, telah di SP3.

“Tunjukan kepada masyarakat kalimantan bahwa kasus ini tidak ada temuan. Atau bagaimanalah pihak penyidik, penegak hukum untuk menjelaskannya kepada masyarakat, ya harus dipublikasikan.” katanya.

Itulah yang mendasari Siswansyah menyurati Kejaksaan Agung RI sampai 3 kali, atas nama Lembaga KPAD, diri sendiri dan terakhir Dewan Rakyat Dayak.

Disambut baik Ombudsman RI

Merespon belum dibalasnya surat-surat yang dikirim ke Kejagung RI, kepada Lapan6online, Siswansyah mengatakan, telah mendatangi Ombudsman RI dan bertemu langsung dengan salah satu petugas Ombudsman.

“Stateman (pernyataan petugas pengaduan) Ombudsman bila tidak ada respons dari penegak hukum (Kejagung RI) mereka membuka pintu untuk Dewan Rakyat Dayak menyurati ombudsman secara khusus melaporkan kasus korupsi di Kaltim,” ungkap Siswansyah, Kamis kemarin (16/7/2020).

Siswansyah memastikan akan terus mengusut skandal korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp96,4 miliar itu. Tidak tertutup kemungkinan, kasus kasus korupsi lainnya yang diduga mangkrak, juga akan terus dia ungkap. Demikian Siswansyah.

Untuk diketahui, Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan Pelayanan Publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan Pemerintah baik Pusat maupun derah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara serta badan Swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN atau APBD.

(RedHuge/Lapan6online)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini