Lapan6online.com : Sudah menjadi rahasia umum jika Amerika Serikat (AS) kerap melayangkan ancaman pada negara-negara yang melakukan transaksi pembelian peralatan perang, seperti pesawat tempur maupun senjata, buatan Rusia.
Hal itu juga berlaku bagi Indonesia yang sedang dalam proses untuk merampungkan pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia. Indonesia telah menandatangani kontrak dengan Rusia untuk membeli 11 unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia. Nilai kontrak yang sudah diteken Kementerian Pertahanan pada 2018 ini mencapai US$ 1,14 miliar.
Dalam dua kali kesempatan, Menteri Pertahanan RI Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto pun telah bertolak ke Rusia. Terbaru, Ia menghadiri acara peringatan 75 tahun kemenangan Uni Sovyet atas Nazi pada Juni lalu. Prabowo diklaim membahas kelanjutan pembelian 11 unit jet tempur Sukhoi Su-35.
Soal ancaman AS, hal tersebut sudah pernah diakui langsung oleh Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva. Namun, Lyudmila menyebut Rusia dan mitra-mitranya menanggapi ancaman tersebut dengan santai, sebab itu bukan hal baru.
“Tapi sebenarnya [sanksi itu] tidak mencegah teman-teman kami untuk membeli peralatan pertahanan dari Rusia, yang mana harganya bersahabat dan kualitasnya bagus. Jadi diharapkan kontrak ini [dengan RI], dan tidak hanya yang satu ini, karena di sini ada banyak rencana, ada rencana lain juga untuk diselesaikan. Jadi rencana ini belum dibatalkan,” kata Lyudmila dalam media briefing yang berlangsung secara virtual, Rabu (8/7/2020).
Lalu, apa sebenarnya “sanksi” yang bisa diterima Indonesia dari AS terkait rencananya melanjutkan pembelian pesawat tempur buatan Rusia?
Jika berkaca pada kasus serupa yang pernah menimpa China pada 2018 lalu, AS menerapkan sejumlah sanksi pada China, termasuk memblokir agen China dari mengajukan permohonan izin ekspor dan berpartisipasi dalam sistem keuangan AS.
Selain itu, AS juga membuat daftar “black list” Departemen Keuangan, di mana individu-individu yang dianggap terlibat pelanggaran akan dilarang melakukan bisnis dengan AS.
Hukuman yang diumumkan pada September 2018 dijatuhkan karena China membeli 10 pesawat tempur SU-35 pada tahun 2017 dan peralatan terkait sistem rudal surface-to-air pada tahun 2018, kata Departemen Luar Negeri AS pada saat itu, sebagaimana dilaporkan Reuters.
Sementara itu, jika berkaca pada kasus Mesir, negara itu juga mendapat ancaman sanksi dari AS karena hampir menyelesaikan kesepakatan untuk membeli pesawat Sukhoi Su-35 Rusia. Namun demikian, menurut Abdel-Moneim Said, seorang analis di Pusat Studi Strategis Mesir, AS nampaknya masih belum menentukan jenis sanksi apa yang akan dijatuhkan untuk negara itu.
“Amerika Serikat berusaha menekan Mesir untuk menghentikan kesepakatan dengan Rusia, tetapi tetap berkomitmen pada hubungan bilateral mereka karena memiliki hubungan perdagangan yang penting dan operasi bersama.” katanya kepada The Arab Weekly pada Mei lalu.
Meski mengatakan dirinya yakin bahwa Kongres AS akan membahas sanksi potensial terhadap Kairo, tetapi Said juga menekankan bahwa AS mungkin akan membiarkan Mesir melakukan pembelian dengan jaminan tertentu.
Menurut TASS, Mesir membeli 24 pesawat tempur Rusia. Pengiriman gelombang pertama dari sebagian pesawat yang menghabiskan biaya US$ 2 miliar itu akan dilakukan pada kuartal ketiga atau terakhir tahun 2020.
Di sisi AS, negara itu dikabarkan melayangkan ancaman pada Mesir dikarenakan khawatir pembelian peralatan tempur Rusia akan membuat kekuatan pasukan militer Mesir meningkatkan di wilayah tersebut dan mungkin dapat mengancam posisi jet tempur AS yang bersaing dengan buatan Rusia.
Sementara itu, mengutip laporan media China, South China Morning Post, sanksi yang bisa diberikan AS pada Indonesia atas transaksinya dengan Rusia akan ditentukan di bawah Undang-Undang Countering America’s Adversaries Through Sanctions (CAATSA). Sanksi ini sebelumnya juga telah berlaku untuk Rusia dan beberapa negara lain.
Prabowo Tetap Keukuh
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disebut-disebut masih bersikeras untuk membeli jet tempur asal Rusia sekalipun ada kecaman dari AS.
Duta Besar Rusia, Mohamad Wahid Supriyadi memastikan Indonesia masih berkomitmen terkait kesepakatan kontrak pembelian 11 unit pesawat tempur Sukhoi Su-35 dari Rusia. Nilai kontrak yang sudah diteken Kementerian Pertahanan pada 2018 ini mencapai Rp 1,14 miliar.
“Status kesepakatan masih berlangsung,” kata Mohamad Wahid Supriyadi, dalam pernyataannya, Minggu (26/7/2020).
Supriyadi mengatakan, bahwa sebagai negara merdeka, Indonesia memiliki hak untuk membeli peralatan pertahanan dari siapa pun di tengah kecaman dari Amerika Serikat.
“Kami memahami ada kekhawatiran dari negara tertentu, tetapi kami adalah negara merdeka. Kami memiliki peralatan militer yang dibeli dari banyak negara. Kami bisa mendapatkannya dari AS, dari Eropa, tetapi juga dari Rusia. Terserah kepada kami untuk memutuskan, ” ujarnya lagi.
Menurut kesepakatan, dari perjanjian senilai lebih dari Rp 14 triliun tersebut, Rusia akan mengirimkan 11 pesawat Su-35 ke Indonesia.
Tidak hanya itu, Kementerian Pertahanan Indonesia saat ini sedang mempertimbangkan kemungkinan pembelian tambahan helikopter militer Mi-17 buatan Rusia.
Sinyal kedekatan dengan Kremlin sudah tercium saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengunjungi Moskwa untuk Parade Kemenangan yang diadakan pada 24 Juni, untuk memperingati kemenangan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
Selama kunjungannya, Prabowo mengadakan pembicaraan dengan Wakil Menteri Pertahanan Rusia Kolonel Alexander Fomin, dengan kedua pihak membahas potensi pasukan Indonesia untuk menerima pelatihan di Rusia.
Sebelumnya Prabowo juga berencana untuk membeli jet tempur Eurofighter bekas dari Austria. Hal tersebut terungkap dari surat Prabowo kepada Menteri Pertahanan Austria, Klaudia Tanner tertanggal 10 Juli.
(mr/cnbc)