“Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat hampir 800 persen jika dibandingkan jumlah kasus pada 2008 dengan 54.425 kasus,”
Oleh : Aniza Rizky
JAKARTA | Lapan6Online : Kasus kekerasan seksual memang menjadi bencana global yang setiap tahun semakin memprihatinkan. Seperti yang dilansir Kompas.com (05/07/2020), berdasarkan data Forum Pengada Layanan (FPL) yang dihimpun dari 25 organisasi, terjadi kekerasan seksual sebanyak 106 kasus dari kurun waktu Maret hingga Mei 2020.
Begitu juga yang diberitakan Tirto.id (10/07/2020), Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2019 sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat hampir 800 persen jika dibandingkan jumlah kasus pada 2008 dengan 54.425 kasus.
Rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual atau RUU P-KS diusulkan oleh DPR kepada pemerintah, yang dinyatakan dalam rangka memberikan perlindungan kepada para korban kekerasan seksual. Tetapi apakah benar demikian? Bagaimana sikap kita sebagai seorang Muslim dalam menanggapi RUU yang tengah menjadi polemik ini?
Apabila kita menilik lebih dalam, terdapat banyak definisi rancu yang tertera dalam RUU P-KS yang erat dengan sekularisme dan liberalisme. Salah satunya yaitu definisi ‘Kekerasan seksual’ pada pasal 1 yang berbunyi “…Secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas…”
Ini memberi kesan bahwa perbuatan seksual yang dilakukan tanpa paksaan, dikehendaki oleh satu sama lain dan secara bebas memberikan persetujuannya, tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut disanksi. Di sinilah peran agama –terutama Islam- dinafikan.
Salah satu doktrin My Body My authority yang lahir dari pemikiran liberal berpendapat bahwa tubuh seseorang adalah kebebasan dirinya. Apabila tubuh seseorang dieksploitasi demi hasrat seksual atas persetujuan yang bersangkutan dan karenanya mendapatkan keuntungan, tidak akan dikatakan sebagai kekerasan seksual.
Selain itu, pada pasal 12 berbunyi ”Pelecehan seksual… adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan”.
Dari pasal ini, dapat dikatakan bahwa ketika kita menyampaikan kepada seseorang bahwa perilaku seksual menyimpang lgbt dapat mengundang azab Allah, dimurkai Allah dan orang tersebut merasa terintimidasi dan sebagainya, kita termasuk kategori melakukan pelecehan seksual.
Beberapa pasal dalam RUU ini memiliki kecenderungan multitafsir yang seolah “menyerang” ajaran Islam sekaligus mengukuhkan nilai-nilai sekularisme dan liberalisme.
Apabila kita memahami lebih dalam, sumber dari persoalan kekerasan seksual, termasuk terhadap perempuan, terjadi karena penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalis, bukan dampak dari ketimpangan gender.
Mengapa ini bisa terjadi? Sebab dalam sistem saat ini, penyelesaian setiap permasalahan manusia hanya berasal dari kecerdasan akalnya, padahal solusi yang didasarkan pada hukum ciptaan manusia saja hanya akan berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah.
Faktor lemahnya hukum buatan akal manusia ini memicu kian derasnya kejahatan kelamin. Hukuman bagi pelaku yang ada dinilai banyak kalangan tidak memberikan efek jera dan melindungi orang-orang dari kekerasan seksual.
Hukuman bagi pelaku pelecehan seksual, pencabulan atau perkosaan begitu ringan, tidak punya efek jera. Semua itu menjadi bukti, bahwa sekularisme demokrasi dengan sistem dan hukum buatan manusia, tidak mampu membangun masyarakat yang bersih dan berakhlak mulia. Sistem saat ini justru menjadi bagian dari pemicu dan sebab mendasar berbagai kekerasan seksual yang terjadi.
Menolak RUU P-KS bukanlah berarti kita mendukung “kekerasan seksual pada wanita”, tetapi kita harus melihat apakah solusi yang diberikan merupakan solusi yang solutif dan sesuai dengan fitrah manusia?
Ternyata, solusi yang solutif dan sesuai dengan fitrah manusia adalah dengan Islam. Islam telah menurunkan seperangkat aturan mengenai menutup aurat sekaligus menundukkan pandangan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 30 yang artinya, “Katakanlah kepada mukmin laki-laki: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya.”
Para Muslimah diperintahkan untuk berpakaian menutup aurat dan tidak menampakkan aurat mereka kepada laki-laki yang selain mahram (QS An-Nur [24]: 31). Begitu pun ketika keluar rumah, para wanita diperintahkan mengenakan kerudung/khimar dan jilbab/gamis yakni semacam baju kurung atau jubah di luar pakaian rumahan mereka (QS Al-Ahzab [33]: 59).
Selain itu Islam juga melarang perempuan berkhalwat (berduaan) dengan laki-laki dan melarangnya bepergian kecuali ia disertai mahramnya. Rasul bersabda: “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama perempuan itu mahram.” (HR al-Bukhari)
Islam menutup celah kejahatan seksual dengan melarang ikhtilath (campur baur) laki-laki dengan perempuan. Kehidupan laki-laki dengan perempuan pada dasarnya terpisah, kecuali interaksi tertentu yang dibenarkan oleh syariat seperti dalam rangka jual beli, kesehatan, pendidikan dan sebagainya.
Islam tegas melarang apa saja yang mendekatkan kepada zina. Di sinilah peran negara untuk melarang segala hal yang dapat memicu dan mendorong ke kepada zina, seperti konten pornografi dan pornoaksi. Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas yang dapat mencegah kejahatan dan memberi efek jera.
Jelaslah bahwa solusi seluruh permasalahan kekerasan seksual adalah dengan penerapan Islam secara total, menyeluruh. Syariat Islam memiliki tiga pilar dalam penerapannya yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial dalam masyarakat dan penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara.
Dengan adanya ketakwaan individu, akan menjauhkan diri dari melakukan kekerasan seksual karena adanya kesadaran bahwa hal tersebut merupakan tindakan kriminal yang menjadikan pelakunya berdosa.
Kontrol masyarakat dilakukan melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Masyarakat akan segera mengingatkan setiap kali ada pelanggaran hukum syara’, termasuk yang berkaitan kekerasan seksual.
Penerapan syariat Islam secara menyeluruh oleh negara bermakna Khalifah memiliki wewenang penuh atas penerapan hukum Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat yang akan menjamin perlindungan terhadap masyarakatnya. Inilah tiga pilar dasar yang akan menjamin keberhasilan penerapan syariat Islam. Apabila tiga pilar ini berjalan dan berfungsi secara optimal, hukum Allah benar-benar akan mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. ****
*Penulis Adalah Mahasiswi FKM Universitas Indonesia