“Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Oleh : Zhuhriana Putri, (*)
Lapan6online.com : Menjelang Pilkada 2020, masyarakat dihebohkan dengan istilah dinasti politik. Pasalnya beberapa penguasa negeri ini menunjukkan keinginannya dalam mendirikan politik dinasti. Hal tersebut terlihat dari beberapa calon yang akan maju dalam Pilkada yang diselenggarakan pada tahun 2020 ini merupakan sanak keluarga dari para penguasa negeri ini.
Dilansir dari Akurat.co (19/7/20), terdapat lima nama calon yang akan maju dalam Pilkada 2020 yang berasal dari keluarga istana. Yaitu putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang resmi maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 dari PDI-Perjuangan sebagai calon wali kota Solo.
Tidak cukup hanya putra sulung Presiden, Bobby Afif Nasution, yang merupakan menantu Presiden Jokowi juga akan maju dalam Pilkada yang diselenggarakan di Kota Medan.
Tidak hanya dari keluarga Presiden, Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun tidak mau kalah dalam mencalonkan putrinya, Siti Nur Azizah, untuk maju dalam Pilkada Tangsel 2020 atas dukungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Begitu juga dengan calon wali kota Tangerang Selatan, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, yang merupakan Keponakan Prabowo Subianto. Dan anak Bupati Serang, Pilar Saga Ichsan, yang resmi diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk maju dalam Pilkada Tangsel 2020.
Anomali Sistem Demokrasi
Suatu keniscayaan dalam demokrasi, masyarakat akan menemui praktik politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa dan politik dinasti yang dilakukan individu penguasa. Politik dinasti yang dibangun para penguasa bukan sekedar anomali dari diterapkannya sistem demokrasi.
Karena hal ini dapat muncul disebabkan adanya keinginan dalam diri atau pun keluarga untuk memegang dan melanggengkan kekuasaan, adanya kelompok terorganisir yang dibentuk karena kesepakatan sehingga terbentuklah penguasa kelompok, dan adanya kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menggabungkan kekuatan modal dan kekuatan politis demi meraih jabatan.
Demokrasi meniscayakan pemenang mendapat suara terbanyak. Bisa diraih dengan dana besar, ketenaran atau pun pengaruh jabatan yang sedang dimiliki. Karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari penerapan sistem demokrasi.
Sistem Pengganti
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indonesian Political Review, Ujang Komarudin, menilai pencalonan keluarga presiden di Pilkada akan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan Gibran mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain (Kompas.com, 18/7/20).
Namanya juga penguasa sakti, akan berupaya dengan segala cara untuk melanggengkan kekuasaannya. Politik dinasti ini tentu akan menguntungkan para penguasa dalam mempertahankan kekuasannya.
Sementara dilain sisi, politik dinasti akan mengamputasi peran masyarakat dalam menentukan pemimpin sebab calon yang maju dalam Pemilihan Kepada Daerah telah diskenario oleh pemilik kekuasaan. Maka terwujudnya keterwakilan rakyat yang mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat hanya lah angan belaka dalam sistem demokrasi hari ini.
Masyarakat harus cermat dalam melihat ini, karena politik dinasti yang sedang digadang-gadangkan ini akan membuat orang-orang yang tidak kompeten untuk memegang tampuk kekuasaan akan berkuasa di negeri ini, sedangkan orang yang berkompeten bisa saja digulingkan dari jabatannya hanya karena alasan bukan keluarga istana. Sehingga peluang lahirnya pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas dalam mengurus urusan rakyat akan semakin besar akibat rakusnya jabatan para elite penguasa.
Maka politik dinasti bukan sekedar anomali demokrasi melainkan kepastian yang akan terjadi. Karena sistem demokrasi lah yang akan menjadi pelindung bagi para penguasa sakti dalam melanggengkan politik dinasti. Oleh karenanya politik dinasti hanya mampu dimusnahkan jika sumber yang memunculkannya juga dimusnahkan, yaitu demokrasi.
Maka tiada pilihan lain untuk menghentikan politik dinasti selain mengganti sistem demokrasi yang diterapkan hari ini dengan sistem pengganti yang mampu menghadirkan pemimpin yang berkompeten dan memiliki kapabilitas dalam mengurus urusan rakyat.
Sistem Islam
Sistem pengganti yang dimaksud tiada lain adalah sistem Islam. Islam yang tidak hanya sekedar agama ritual belaka tetapi juga merupakan sistem yang memiliki segenap aturan yang kompleks dalam kehidupan manusia. Begitu juga dalam masalah pemilihan pemimpin yang akan memegang kekuasaan.
Islam menentukan bahwa seorang pemimpin dipilih untuk menegakkan agama dengan menjalankan syariat Islam dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat. Sehingga seorang pemimpin dipilih bukan dengan cara turun-temurun melainkan umat akan memilihnya karena ketakwaan dan kapabilitas yang dimilikinya dalam menjalankan segenap aturan Ilahi.
Pemimpin yang bertakwa adalah pemimpin yang memiliki sifat wara’ yang tidak tergiur mengejar kepentingan dunia apakah harta, tahta, dan wanita. Yang juga terhindar dari perbuatan dosa, yang dekat dengan Sang Pencipta dan Pengatur, dan tentunya memiliki sifat adil dan dapat dipercaya dalam memegang amanah kepemimpinan.
Tentunya amanat kepemimpinan adalah amanat yang berat. Yang memiliki pertanggungjawaban di dunia dan akhirat. Karenanya Allah memiliki sanksi dan azab yang berat bagi pemimpin yang tidak mampu dalam menjalankan amanatnya dengan baik.
Seperti yang disampaikan Rasul, “Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim). Maka cukuplah ini menjadi pengingat bagi mereka yang tergila-gila dengan jabatan kekuasaan di muka bumi ini. (*)
*Penulis adalah aktivis Mahasiswa, Fakultas Farmasi.