NU Mulai Tarik Diri dari Jokowi, Kritik Keras Pilkada Hingga UU Ciptaker

0
94

Jakarta, Lapan6online.com : Sikap Nahdlatul Ulama (NU) dalam dua bulan terakhir berbalik arah, dari sebelumnya mendukung Kebijakan-kebijakan Jokowi, kini NU menunjukkan kritik-kritik kerasnya.

Dalam pernyataan sikap pada 20 September 2020, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj meminta KPU, pemerintah, dan DPR RI untuk menunda penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 demi menjaga kesehatan rakyat.

“Meminta kepada Komisi Pemilihan Umum, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020 hingga tahap darurat kesehatan terlewati. Meskipun dengan protokol kesehatan yang diperketat, sulit terhindar dari konsentrasi orang dalam jumlah banyak,” katanya seperti dikutip dari situs Gelora, Senin (12/10/2020).

Argumentasinya, NU berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup (hifdz al-nafs) dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi (hifdz al-mâl) masyarakat. Namun, penularan COVID-19 telah mencapai tingkat darurat, sehingga prioritas utama kebijakan negara selayaknya diorientasikan untuk kesehatan.

Selain itu, NU juga mengingatkan kembali Rekomendasi Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012 di Kempek Cirebon tentang perlunya meninjau ulang pelaksanaan pilkada yang banyak menimbulkan mudarat berupa politik uang dan politik biaya tinggi. Permintaan menunda pilkada demi kesehatan itu pun “diamini” ormas Islam yang juga besar yakni Muhammadiyah.

Tidak lama berselang, sikap NU yang lebih kritis pun muncul. Ketua Umum PBNU yang juga Ketua Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) KH Said Aqil Siroj itu dalam keterangan pers di kantor PBNU, Jakarta Pusat (9/10/2020), menyatakan UU Cipta Kerja memberi peluang komersialisasi pendidikan.

“Sektor pendidikan semestinya tidak boleh dikelola dengan motif komersial murni, karena termasuk hak dasar yang harus disediakan negara,” kata Said Aqil Siroj.

Ia menyebut Pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan ke dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan usaha. Hal itu dapat menjerumuskan Indonesia dalam kapitalisme pendidikan. Dengan begitu, nantinya pendidikan terbaik hanya dapat dinikmati segelintir orang yang memiliki dana cukup. Kalangan ekonomi lemah hanya akan menjadi penonton.

Catatan lain, NU juga menyoroti kelonggaran sertifikasi halal dari aspek syariah sebagai dampak dari pemberlakuan UU Cipta Kerja. “Negara mengokohkan paradigma bias industri dalam proses sertifikasi halal,” katanya.

Ia mencontohkan UU Cipta Kerja mengabaikan syarat auditor halal harus sarjana syariah. Auditor halal bisa berasal dari sarjana nonsyariah, sehingga kekuatan sertifikasi halal secara keagamaan menjadi berkurang.

“Semangat UU Cipta Kerja adalah sentralisasi peraturan, termasuk masalah sertifikasi halal. Pasal 48 UU Ciptaker mengubah beberapa ketentuan UU 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pasal tersebut, mengokohkan pemusatan dan monopoli fatwa halal kepada satu lembaga. Sentralisasi dan monopoli fatwa di tengah antusiasme industri syariah yang sedang tumbuh, dapat menimbulkan kelebihan beban yang mengganggu keberhasilan program sertifikasi,” katanya.

Yang menarik, NU itu kritis tapi tidak kasar. Sikap kritis NU itu tidak diwujudkan dengan aksi turun ke jalan, meski pernyataan Ketua Umum PBNU mungkin menggunakan “bahasa” yang keras, namun NU memilih untuk siap membersamai pihak-pihak yang akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Untuk mengatur bidang yang sangat luas, yang mencakup 76 UU, dibutuhkan kesabaran, ketelitian, kehati-hatian dan partisipasi luas para pemangku kepentingan. Tidak tergesa-gesa,” katanya.

Cendekiawan Muslim yang juga Tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla dalam akun medsosnya (10/10/2020) menulis bahwa sikap NU yang menolak UU Cipta Kerja dengan tegas (kritis) itu memang menimbulkan pertanyaan:

“What happens to NU? Kenapa NU sekarang mendadak “populis”?. Pertanyaan ini ada dalam sejumlah percakapan di media sosial, terutama Twitter.

“Apalagi Kiai Sa’id Aqil Siroj menggunakan bahasa yang dari segi ‘komunikasi politik’ terbilang lumayan keras. Dalam laman NU Online, Kiai Sa’id menegaskan bahwa UU Ciptaker itu hanya menguntungkan konglomerat, kapitalis, investor. Tapi menindas dan menginjak kepentingan atau nasib para buruh, petani, dan rakyat kecil.”

Menurut dia, sejumlah pihak bertanya, bagaimana NU bisa bersikap begitu keras, sedangkan Kiai Ma’ruf Amin (mantan Rais Aam PBNU) ada di dalam Pemerintahan? Apalagi, sejumlah kader PKB juga duduk di dalam kabinet Jokowi. “Saya ingin menyebut kembalinya sikap kritis ini sebagai ‘re-radikalisasi’,” katanya.

Dia menjelaskan istilah “re-radikalisasi” itu tak ada kaitan sama sekali dengan pengertian umum yang digunakan dalam frasa “Islam radikal”, namun istilah radikal dalam konteks itu bermakna sebagai “sikap yang keras” dan “vis-à-vis” terhadap Pemerintah.

“Saya sengaja memakai istilah ‘re-radikalisasi’ atau pengerasan kembali, karena momen ‘radikalisasi’ dalam NU memang muncul dari waktu ke waktu. Seorang sarjana Jepang yang bersahabat dekat dengan Gus Dur, Mitsuo Nakamura, pernah mengamati munculnya ‘tradisionalisme radikal’ di dalam NU,” katanya.

Setelah menghadiri Muktamar NU ke-26 di Semarang pada 1979, Nakamura mengenalkan istilah “tradisionalisme radikal” sebagai sikap kritis pada pemerintah yang muncul sejak dekade 1970-an. Sikap kritis ini, kata Nakamura, disebabkan oleh munculnya generasi baru dengan pemikiran-pemikiran yang lebih segar.

“Mereka (generasi baru NU) membawa visi pembangunan alternatif sebagai kritik atas pembangunan ala Orde Baru yang ‘top down’. Generasi baru ini diwakili oleh dua sosok penting yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Mahbub Djunaidi. Generasi baru yang kritis ‘meng-ambyar-kan’ citra lama NU,” katanya.

Citra lama NU yang dipublikasikan para Indonesianis lama, seperti Harry Benda, Clifford Geertz, Herb Feith, dan Lance Castles, adalah NU sebagai ‘a gerontocratic organization of opportunistic and unsophisticated rustic ulama’ (organisasi para ulama sepuh yang oportunistik, tidak canggih, dan ndeso).

“Dari sana (generasi baru NU) akhirnya lahir para intelektual/aktivis NU yang aktif dalam gerakan advokasi sosial, pembelaan rakyat kecil, dialog antar-iman, dan pengembangan model pembangunan alternatif. Saya, terus terang, lahir dari generasi ini,” katanya.

Menurut dia, perkembangan arus “tradisionalisme radikal” itu sempat redup pada era reformasi dengan eforianya, namun anak-anak muda NU masih merawat semangat ini tanpa lelah. Mereka berhimpun dalam sebuah gerakan Gusdurian yang bersemai di hampir seluruh daerah di Indonesia di bawah kepemimpinan puteri Gus Dur, Alissa Wahid.

“Mereka terus merawat pemikiran Gus Dur yang kritis, progresif, dan ekumenis (dalam pengertian membuka diri pada dialog-antar iman). Saya memahami sikap NU yang menolak UU Cipta Kerja baru-baru ini sebagai bangkitnya kembali sikap kritis dalam tubuh NU. Apalagi, sikap kritis NU pada Pemerintah bukanlah hal yang hanya sekali-dua kali saja,” katanya.

Ya, NU adalah kekuatan sipil “pengimbang” yang mendorong demokrasi bisa tumbuh dengan sehat, sebab tanpa adanya “suara lain” akan justru mendorong Indonesia bisa meluncur pelan-pelan menuju situasi yang otoriter, yang mengabaikan prinsip musyawarah sesuai “kehendak bersama” dalam Pancasila dan UUD 1945. (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini