Lapan6Online : Profesor biologi di Universitas Massachusetts, Dartmouth, Erin Bromage mengungkapkan, dosis tertentu dari patogen, organisme penyebab penyakit, yang memicu infeksi telah terbukti menjadi kasus pada banyak virus, seperti virus influenza, poxvirus dan lainnya.
“Jika kita memberikan suntikan dengan dosis rendah kepada “kelinci percobaan” maka tidak akan terjadi apa-apa. Tapi jika suntikan tersebut melewati apa yang disebut dengan dosis infeksi, maka “kelinci percobaan” tersebut akan mati karena penyakit. Seperti dosis virus yang banyak, akan menyebabkan kerusakan yang parah. Jadi besaran dosis menjadi penting,” ujar Erin, pada Senin 2 November 2020 seperti dikutip dari laman redaksi CNBC Indonesia.
Hal itu, kata Erin, bukan karena seseorang memerlukan sejumlah partikel virus untuk menginfeksi sel, hal itu hanya meningkatkan kemungkinan salah satu partikel virus tersebut akan masuk ke dalam sel dan menginfeksi, memicu reaksi berantai.
Menurutnya, cara lain untuk memikirkannya adalah seperti pembuahan, dimana tak perlu jutaan sperma untuk membuahi sel telur, cukup satu saja, tetapi pria membuat jutaan sperma untuk meningkatkan peluang seseorang mencapai sel telur, mengatasi pertahanannya dan memupuknya.
Erin Bromage juga menambahkan, ada dimensi lain dari dosis virus dan itu berkaitan dengan waktu. Yang penting bukanlah dosis virus yang didapatkan pada satu titik waktu, mungkin juga jumlah dosis virus yang didapatkan selama periode waktu tertentu.
“Beberapa orang berspekulasi tentang hal itu. Apakah ini sebabnya, misalnya, supir bus atau orang yang bekerja di ruang gawat darurat lebih cenderung mengalami hasil yang lebih buruk? Karena mereka terkena dosis yang lebih tinggi, atau karena mereka berada di lingkungan di mana mereka terpapar dalam waktu yang lama dan mendapatkan sebagian besar darinya ke dalam diri mereka?,” tanya Erin.
Sebelumnya, pada pertengahan Oktober, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengubah definisi “kontak dekat” untuk menyertakan beberapa paparan singkat yang bertambah hingga 15 menit atau lebih dengan orang yang terinfeksi.
CDC mendefinisikan kontak dekat sebagai paparan terus menerus selama 15 menit terhadap individu yang terinfeksi.
Virus tersebut bukan satu-satunya organisme yang berperan, sebab hal ini ada hubungannya dengan setiap individu.
“Setiap orang memiliki jumlah virus yang berbeda yang mereka butuhkan,” kata Bromage.
“Seseorang yang mengalami imunosupresi, atau seseorang yang stres, misalnya, mungkin memerlukan lebih sedikit tantangan [virus] untuk mendapatkan hasil yang sama seperti seseorang yang dalam kondisi sehat,” sambungnya.
Menurutnya, gabungkan semuanya, dan kemungkinan infeksi tergantung pada fisiologi calon inang, serta perilaku pribadi dan kebiasaan kesehatan mereka seperti status merokok, diet, aktivitas fisik, dan tidur.
“Seseorang yang sudah lanjut usia, tidak sehat dalam menghadapi eksposur berulang yang besar jelas merupakan skenario kasus terburuk. Tetapi orang yang secara medis rapuh bisa sakit bahkan oleh virus dalam dosis rendah. Sebaliknya, orang yang sehat bisa kewalahan dengan dosis yang cukup tinggi,” ujarnya.
Salah satu contoh adalah kematian dokter muda dan yang tampaknya sehat Li Wenliang di Wuhan, Cina. Pada 30 Desember 2019, dia secara pribadi membunyikan alarm setelah melihat tujuh kasus penyakit mirip SARS di antara pasien di rumah sakitnya.
Empat hari kemudian dia dituduh oleh polisi karena dianggap sangat mengganggu ketertiban sosial dan sekaligus menyebarkan rumor secara online. Tak lama setelah menghabiskan waktu untuk merawat pasien yang sakit kritis, dia meninggal kurang dari sebulan kemudian. Saat itu usianya baru 34 tahun.
Dari contoh ini, hal tersebut hanya berbicara tentang peluang dan kemungkinan. Menentukan skenario pasti yang menyebabkan infeksi jauh lebih sulit dilakukan.
“Kami tidak dapat mempelajari secara tepat dosis virus yang akan membuat seseorang sakit karena itu sama sekali tidak etis,” kata seorang dokter penyakit menular dan profesor kedokteran di University of California, San Francisco, Dr. Monica Gandhi.
Menurutnya, karena itu berarti secara sadar memaparkan orang ke dosis virus yang semakin tinggi untuk menentukan kapan infeksi terjadi.
“Saya tidak berpikir kita akan benar-benar mencapai nilai itu. Kita bisa pada hewan, ada model musang dan ada model hamster, sekarang dua model hewan di mana semakin banyak Anda memberi mereka semakin sakit hewan tersebut dan itu mungkin memberi kita pengertian. Tapi kita tidak akan tahu dengan manusia, sayangnya, berapa banyak yang dibutuhkan,” katanya.
Menurutnya, ada dua sisi yang menarik antara dosis viral dan muatan viral. Muatan viral adalah jumlah virus yang dimiliki orang yang terinfeksi di dalam tubuhnya; beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin sakit pasien, semakin tinggi muatan viral Covid-19 di dalam tubuhnya.
“Jika kamu mendapatkan dosis viral yang sedikit, kita akan bisa tenang saja dan melewati ini dengan baik. Semakin kecil muatan viral, akan semakin berkurang keparahan penyakit tersebut,” imbuhnya.
Dia mencatat bahwa di tempat dan situasi, tempat di mana orang sudah menggunakan masker secara ketat seperti di kapal pesiar Argentina dan di beberapa pabrik pengolahan makanan AS, tingkat infeksi tanpa gejala, di atas 80%, lebih dari dua kali lipat perkiraan infeksi asimtomatik berdasarkan data CDC yang sekitar 40%. Masker tampaknya menurunkan dosis dengan menyaring beberapa partikel virus.
Namun, kata Monica, ada cara lain yang menarik dan penting untuk memikirkan tentang dosis virus.
“Jika dosisnya cukup kecil, mungkin tidak menyebabkan penyakit tetapi masih dapat menimbulkan respons imun, mirip dengan vaksin. Ini adalah konsep yang luar biasa dan sangat penting,” ujarnya.
Faktanya, Monica Gandhi dan rekan penulisnya, Dr.George Rutherford dari departemen epidemiologi dan biostatistik di UCSF, menulis bagian perspektif di New England Journal of Medicine pada bulan September yang mengemukakan argumen bahwa dengan #pakaimasker, seseorang jika terpapar akan mendapatkan dosis virus yang lebih kecil daripada yang seharusnya, mencegah penyakit tetapi masih memicu sistem kekebalan tubuh.
Dalam artikelnya, dia dan Rutherford membandingkannya dengan “variolation,” yang disebut proses serupa ketika orang dengan sengaja terkena sedikit cacar dari orang yang sakit untuk menciptakan kekebalan. Ini terjadi sebelum diperkenalkannya vaksin cacar.
“Kami akan memberi mereka sedikit virus dan mereka akan menjadi sedikit sakit dan kemudian mereka akan mengembangkan kekebalan, dan itu benar-benar berhasil,” katanya.
Ini juga dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa orang tidak pernah menunjukkan gejala Covid-19, tetapi masih memiliki antibodi terhadap virus tersebut. Tetapi lebih banyak penelitian perlu dilakukan untuk memastikannya.
Karena orang tidak dapat mengontrol, apalagi seberapa banyak dosis virus yang mereka dapatkan.
Menurutnya apa yang dikatakan oleh sebagian besar ahli kesehatan masyarakat, yang harus kita lakukan untuk tetap seaman mungkin yaitu menjaga jarak secara fisik, pilih outdoor daripada indoor, dan praktekkan kebersihan tangan yang baik dan gunakan masker. Bem/red
*Sumber : CNBC Indonesia