“Lautnya kaya akan biota, hutannya terhampar hijau dan luas, tanahnya mengandung bebatuan dan emas. Di situlah letak kekayaan Papua yang terkenal seentero jagat raya,”
Oleh : Yun Rahmawati
Jakarta | Lapan6Online : Papua, wilayah paling timur Indonesia dikenal sebagai bumi cenderawasih seringkali menjadi sorotan publik, baik di mata nasional maupun internasional.
Kepak sayap si burung cenderawasih begitu cantik membuat siapa saja terpesona pada keindahannya dan dibuat terperangah dengan isu panas yang kerap menerpa keelokan tubuhnya. Apa gerangan yang membuat Papua menjadi begitu seksi untuk dibincangkan pada setiap geliatnya?
Ternyata, Papua bumi cenderawasih memiliki keindahan alam yang menyejukkan mata. Lautnya kaya akan biota, hutannya terhampar hijau dan luas, tanahnya mengandung bebatuan dan emas. Di situlah letak kekayaan Papua yang terkenal seentero jagat raya.
Mirisnya, semua itu tidak dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat asli Papua. Hutan, laut dan tanah mereka dieksploitasi dan dijarah. Hidup mereka jauh dari sejahtera, miskin dan terbelakang. Kehidupan mereka pun kerap lekat dengan konflik yang ditimbulkan sejak Indonesia merdeka hingga era reformasi.
Bermula pada 1949 saat Konferensi Meja Bundar (KMB) menyerahkan kedaulatan seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia kecuali Irian Barat (Papua) membuat kedua negara tersebut saling mengklaim Papua sebagai wilayahnya. Pada 17 Agustus 1956 Indonesia membentuk Provinsi Irian Barat, Belanda tidak menerima, pecah perang pun tak dapat dihindari.
Tepatnya, pada 1 Desember 1961 Belanda membentuk negara boneka Papua. Dari situlah kemudian setiap 1 Desember diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua, mereka menginginkan lepas dari Indonesia.
Adapun tuntutan untuk melepaskan diri dari wilayah Indonesia (disintegrasi) karena persoalan mendasar yang dirasakan oleh masyarakat Papua tidak kunjung terselesaikan.
Ada beberapa faktor pemicu yang menjadi akar ketidakpuasan mereka, di antaranya masalah keadilan, kesejahteraan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Tuntutan penyelesaian ketiga masalah tersebut sejak masa orde baru (ORBA) hingga reformasi masih terkatung-katung.
Upaya untuk menyelesaikan persoalan Papua dilakukan oleh setiap rezim yang berkuasa. Rezim orde baru di bawah Presiden Soeharto melakukan pendekatan secara refresif dengan memberlakukan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Perlakuan otoriter menyisakan luka berdarah yang menimbulkan rasa sakit di tubuh masyarakat Papua. Di sisi lain kekayaan dan sumber daya alam yang dimiliki Papua dikuras habis untuk kepentingan korporasi asing tanpa dirasakan secuil pun hasil kekayaan itu oleh mereka.
Era reformasi di bawah kekuasaan Gus Dur, pendekatan dilakukan lebih humanis dan berusaha memahami kondisi masyarakat Papua dengan menggulirkan kebijakan yang lebih berpihak kepada kebutuhan mereka yaitu rasa keadilan dan kesejahteraan.
Menginisiasi gagasan ekonomi khusus untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat Papua, mengesahkan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan mempersilakan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai identitas sosiokultural masyarakat Papua. Langkah politis yang dilakukan Gus Dur berhasil meraih simpati masyarakat Papua dengan menjadikannya sebagai bapak pluralisme dan orang tua bagi rakyat Papua.
Presiden Jokowi melanjutkan pendekatan yang hampir mirip dengan Gus Dur yakni lebih sering berkunjung mendatangi masyarakat Papua, melakukan pendekatan melalui politik pembangunan, kebijakan BBM satu harga, membuka jalan trans dan jembatan penghubung di Nduga.
Namun, upaya-upaya tersebut belum dirasakan hasilnya oleh masyarakat dan suku-suku yang berada di pedalaman, sehingga percikan-percikan ketidakadilan disulut oleh tangan-tangan asing agar mereka senantiasa bergolak.
Di tengah gejolak yang belum reda muncul isu rasial menerpa Papua. Bermula pada 15 Agustus 2019 kejadian di asrama milik Pemprov Papua di Surabaya.
Indikasi kejadian mengacu pada dugaan perusakan bendera dan makian bernuansa rasialisme yang menyulut aksi protes berujung kerusuhan di beberapa kota di Papua serta Papua Barat.
Kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Fak-fak, Wamena dan Jayapura menimbulkan korban jiwa dari kubu demonstran dan aparat keamanan.
Rentetan kejadian tersebut mengarah pada isu referendum Papua. Isu kemerdekaan yang senantiasa menjadi bara api dalam sekam hubungan masyarakat Papua dengan pemerintah pusat.
Dikutip dari Beritasatu.Com, menurut pengamat masalah Papua, Adriana Elisabeth, persoalan Surabaya yang disusul dengan demonstrasi dan kerusuhan anti rasisme adalah akumulasi persoalan masa lalu dan masalah pembangunan yang belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Papua.
Dengan kata lain kasus rasialis yang muncul merupakan percikan api dari bara api yang belum dipadamkan.
Bara api itu memercik kembali pada 1 Desember 2020 lewat deklarasi kemerdekaan Papua yang diinisiasi oleh ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat atau The United Liberation Movement For West Papua (ULMPW), Benny Wenda.
Dalam deklarasi yang dirilis di laman resmi ULMWP, Wenda mendeklarasikan pemerintahan sementara dan menyatakan per 1 Desember 2020 memiliki konstitusi, hukum dan pemerintahannya sendiri. Dia juga bilang bahwa kehadiran Indonesia adalah ilegal. Oleh karenanya mereka menolak hukum apapun yang berasal dari Jakarta.
Pengakuan sepihak soal kemerdekaan Papua sebetulnya ditolak oleh wakil Benny Wenda sendiri, Oktavianus Mute. Ia mengatakan pembentukan itu keliru, tergesa-gesa dan tidak tepat, karena masa jabatan Benny Wenda telah habis pada 1 Desember 2020.
Penolakan juga datang dari gerakan Papua merdeka lainnya, yakni Jubir Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat- Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sembom mengatakan organisasinya tidak mengakui klaim Benny Wenda karena deklarasi dan mengumumkan pemerintahannya di negara asing yang tidak memiliki legitimasi masyarakat Papua, juga di luar wilayah hukum.
Papua teriak merdeka, di mana posisi negara? Tuntutan mereka seringkali ditanggapi secara enteng lewat retorika dan kutukan para petinggi negara.
Menteri Kordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan mereka hanya membuat negara ilusi. Sementara, Ketua Majlis Permusyawarahan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengatakan bahwa deklarasi Wenda hanya sepihak dan tidak sejalan dengan hukum Indonesia.
Mereka memandang remeh tuntutan tersebut dan melihatnya hanya aspirasi tahunan setiap 1 Desember yang diklaim sebagai hari kemerdekaan, sehngga gaungnya tidak mampu membangunkan negara dari kewaspadaan atas tuntutan Papua untuk lepas dari wilayah Indonesia. Seharusnya pemerintah tidak berlarut-larut dalam menangani masalah Papua agar tidak bernasib sama dengan Timor Timur yang lepas dari Indonesia.
Tuntutan untuk lepas dari Indonesia sebetulnya bukan sekadar persoalan kesejahteraan, keadilan dan hak asasi. Namun, lebih dari itu, yakni adanya kekuatan asing yang menopang keinginan merdeka. Amerika, Australia, Inggris dan juga Cina ada di belakang mereka.
Padahal, menyerahkan urusan dengan meminta bantuan asing dan berlindung di balik ketiak asing adalah bunuh diri politik. Negara asing hanya ingin leluasa menguasai kekayaan Papua.
Sementara posisi Indonesia tidak berdaya menghadapi kekuatan dan intervensi asing karena posisi Indonesia lemah di mata asing. Selain itu adanya kepentingan individu dan kelompok yang memanfaatkan gejolak di Papua agar persoalan Papua tidak selesai.
Begitulah dalam sistem demokrasi yang telah nyata memberikan peluang terjadinya disintegrasi atas nama kebebasan berpendapat dan hak menentukan nasib sendiri. Berbeda dengan sistem Islam yang mengharamkan disintegrasi. Sistem Islam akan menyatukan manusia dengan ikatan akidah dan ideologi.
Sebenarnya, penyelesaian persoalan Papua hanya dengan khilafah. Sejarah telah mencatat dengan gemilang, peradaban Islam selama 1300 tahun lebih di bawah institusi khilafah mampu menyatukan negeri-negeri Muslim tanpa memandang suku, ras dan warna kulit. Memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada penduduk negeri tanpa pilih kasih.
Posisi negara khilafah akan melindungi dan menjaga wilayahnya dari upaya makar, bughat atau memisahkan diri dengan kekuatan politik dalam negerinya. Keamanan dalam negeri khilafah akan melakukan tindakan persuasif dan jika mereka membangkang akan ditindak secara tegas dengan diperangi.
Khilafah tidak akan membiarkan kekayaan negara dikuasai asing dan tidak akan pernah mau didikte oleh negara asing. Di dalam Al-Qur’an Surah an-Nisa ayat 141 Allah menyatakan dalam firman-Nya: “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Islam memandang kekayaan alam berupa hutan dan tanah beserta bebatuan yang dikandungnya, laut beserta isinya adalah milik umat, mereka berserikat di dalamnya. Tidak boleh dimiliki atau dikuasai secara individu apalagi diserahkan kepada asing. Rasulullah SAW menyampaikan dalam haditsnya, “Kaum Muslimin berserikat atas tiga hal yaitu, padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Ketiganya milik masyarakat dikelola oleh negara diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyatnya. Sudah saatnya meninggalkan ideologi kapitalisme demokrasi yang tidak mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan. Hanya dengan khilafah umat sejahtera di bawah naungannya. [*]
*Penulis Adalah Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok