OPINI
“Liberalisasi akan terasa kental pada tempat-tempat wisata yang telah membawa tabiat buruk seperti maraknya prostitusi serta permintaan miras pada tempat tersebut,”
Oleh : Suci Hati, S.M
DANAU Toba siapa yang tak kenal tempat yang satu ini?, Tempat dengan sejuta pesona keindahan alam yang luar biasa. Apalagi dengan beragam destinasi objek wisata di Danau Toba yang banyak diminati tidak hanya wisatawan lokal namun sampai mancanegara. Tak heran bila Danau Toba terus disupport penuh negara untuk menunjang para inverstor berinvestasi.
Dilansir dari Sumut.Idntime.com, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi melakukan kunjungan di Kawasan Danau Toba sembari menikmati panora perbukitan di The Kaldera Toba Nomadic Escape dan beberapa tempat bersejarah menyusul undangan dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah lama.
Keberadaan Bapak Wang Yi di Indonesia dari tanggal 12-13 Januari 2021 untuk melakukan pertemuan bilateral dengan pemerintah Indonesia. Kata Luhut, kunjungan Menlu Tiongkok ke Indonesia betul-betul dimanfaatkan untuk membahas sejumlah hal yang penting seperti soal kerja sama investasi dan beberapa proyek strategis, pariwisata hingga pemulihan ekonomi nasional. Luhut menganggap bahwa akan menjadi berkat tersendiri baginya karena tempat kelahiraanya terpilih sebagai salah satu destinasi super prioritas (13/01/2021).
Kehadiran dari negeri tirai bambu tidak lepas dengan nama investasi berbagai promosi di Danau Toba pun dilakukan hanya demi pemulihan ekonomi.
Terlihat seperti penjajahan SDA atas nama pembangunan pariwisata yang masih terus berlanjut di Danau Toba. Pasalnya sektor parisawata telah menjadi tumpuan negara setelah pajak, hingga objek wisata pun terus digenjot diharapkan mampu menggerakkan ekonomi yang terancam resesi. Lantas apakah benar ekonomi akan pulih dengan menggenjot sektor pariwisata?
Meskipun yang terlihat ingin melakukan perbaikan ekonomi akan tetapi realita kasus penghianatan yang dilakukan tikus-tikus berdasi masih terus terjadi.
Terkikisnya aset-aset negeri direbut para koruptor seperti korupsi bansos di saat covid melanda yang miris solusi.
Belum lagi krisis ekologi yang terjadi seringnya hutan beralih fungsi yang menimbulkan bencana alam yang tak terbendung. Inilah akar masalah rusaknya ekosistem hutan akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab yang telah menggadaikan alam demi materi semata tanpa melihat yang akan ditanggung nantinya.
Tidak heran negeri yang menganut sistem kapitalis tabiatnya hanya bernafsu mengumpulkan pundi-pundi rente hingga SDA layaknya barang yang diperdagangkan dengan mudah hanya demi meraih keuntungan dan cenderung memihak kepada pemilik modal atau korporasi.
Bila dicermati menggaet wisatawan luar otomatis akan membawa budaya liberal masuk ke negeri ini. Walhasil liberalisasi akan terasa kental pada tempat-tempat wisata yang telah membawa tabiat buruk seperti maraknya prostitusi serta permintaan miras pada tempat tersebut.
Hal ini akan terlihat berbeda ketika Islam menggangap objek wisata sebagai sarana mengemban risalah dakwah dan propaganda (di’ayah). Menjadikan sarana dan prasarana dakwah demi kepentingan amar makruf nahi mungkar agar manusia takjub dengan keindahan alam dengan mentafakuri alam mampu menumbuhkan dan mengokohkan keimanan kepada Allah SWT serta sebagai bukti-bukti keagungan dan kemuliaan peradaban Islam.
Dalam pandangan Islam ada yang menjadi kategori milik umum yakni wajib dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada publik. Rasulullah Saw pernah bersabda “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Dari ketiga hal tersebut jelas pada pengelolaanya tidak boleh memberikan hak khusus kepemilikan atau penguasaan sumber daya alam terhadap pihak swasta apalagi orang asing.
Oleh karena itu Indonesia dengan sebutan zamrud khatulistiwa dengan sumber daya alam yang melimpah ruah apabila dikelola sesuai syariat Islam pasti kesejahteraan akan dirasakan disebabkan hak milik umum mampu dikelola negara dengan mandiri serta masyarakat terlindungi dari pengaruh budaya dari luar. Maka sudah seharusnya untuk kembali kepada syariat Islam secara kaffah yang memiliki solusi kompherensif langsung dari sang Khaliq. WalLahu a’lam bi ash-shawab. (*)
*Penulis Adalah Alumni UMSU Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen