“Kudeta militer menunjukkan kegagalan sistemik yang dilakukan masyarakat internasional terkait Myanmar dengan melakukan normalisasi terhadap militer Myanmar dan bisnis yang mereka jalankan,”
Lapan6Online | Myanmar : Sejumlah analis bisnis memperkirakan bahwa kudeta militer di Myanmar akan merusak perekonomian negara. Kudeta militer telah membahayakan investasi asing senilai miliaran dolar AS.
Vriens & Partners adalah konsultan pemerintah yang saat ini menangani proyek investasi asing senilai 3 miliar dolar AS hingga 4 miliar dolar AS di Myanmar. Proyek investasi asing tersebut mencakup bidang energi,
infrastruktur dan telekomunikasi. Managing Partner Vriens & Partners, Hans Vriens mengatakan, saat ini semua investasi asing di Myanmar sangat berisiko.
“Negara ini telah terpukul oleh pandemi Covid-19 dan berkurangnya keinginan untuk berinvestasi. Dan sekarang kita punya masalah yang lebih besar lagi,” ujar Vriens, dilansir BBC, pada Selasa (02/02/2021) kemarin.
Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada Myanmar. Sanksi ini dapat berdampak signifikan pada investasi asing.
Perusahaan Barat dan Jepang mulai ragu untuk melanjutkan proyek mereka di Myanmar. Sementara, Vriens mulai mempertimbangkan untuk mengalihkan investasi ke China.
“Ini (China) satu-satunya negara yang bisa mereka (investor) tuju,” ujar Vriens.
Seorang pengusaha yang berbasis di Yangon mengatakan, kondisi Myanmar ketika terjadi kudeta militer sejauh ini masih stabil karena tidak diwarnai dengan kerusuhan. Namun kudeta dapat berdampak besar pada perekonomian, terutama efek sanksi dari barat. Namun, efek sanksi dapat dibatasi karena sebagian besar investasi asing berasal dari Asia.
“Ini akan berdampak psikologis, tetapi kami tidak pernah bergantung pada investasi barat,” ujar pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya itu.
Menurut Bank Dunia, Singapura adalah investor asing terbesar di Myanmar pada tahun lalu. Investasi Singapura menyumbang 34 persen dari keseluruhan investasi asing yang diizinkan. Kemudian, negara terbesar kedua adalah Hong Kong dengan 26 persen.
Komitmen Investasi Asing Langsung (FDI) ke Myanmar bernilai 5,5 miliar dolar AS pada tahun fiskal 2020, yang berakhir pada September. Real estate dan manufaktur masing-masing menyumbang sekitar 20 persen. Namun, angka-angka tersebut diperkirakan turun pada tahun ini karena pandemi Covid-19.
Australia soal Kudeta Militer di Myanmar
Sementara itu, Pemerintah Australia sedang menghadapi tekanan untuk menerapkan sanksi baru terhadap para jenderal Myanmar menyusul kudeta yang terjadi Senin (01/02/2021) kemarin,
Seruan Sanksi Militer terhadap Myanmar Human Rights Watch menyerukan Australia menerapkan sanksi kepada pemimpin kudeta Min Aung Hlaing.
Mereka juga minta agar Australia menghentikan kerjasama militer dengan Myanmar. Menteri Perdagangan Australia mengatakan masih terlalu pagi untuk menerapkan saksi tambahan.
Militer mengambil kekuasaan setelah mereka menahan para pemimpin sipil tertinggi di negara tersebut termasuk Aung San Suu Kyi pemimpin Liga Nasional Bagi Demokrasi (NLD) yang baru saja memenangkan pemilu bulan November lalu.
Belasan negara sudah mengecam tindakan tersebut, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengancam akan kembali menerapkan sanksi terhadap para pemimpin militer Myanmar dan menyerukan adanya suara bersama dari dunia internasional guna menekan militer melepaskan kekuasaan.
Dewan Keamanan PBB juga mengumumkan akan mengadakan pertemuan darurat secara virtual hari Selasa (02/02//2021) untuk membicarakan kudeta.
Kelompok pegiat bernama Justice For Myanmar menyerukan kepada negara-negara untuk “segera menerapkan sanksi terhadap militer Myanmar, para pemimpinnya dan para mitra bisnis mereka.”
“Kudeta militer menunjukkan kegagalan sistemik yang dilakukan masyarakat internasional terkait Myanmar dengan melakukan normalisasi terhadap militer Myanmar dan bisnis yang mereka jalankan, meski kenyataannya mereka melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata grup tersebut.
Agar Diperluas Sanksi ke 5 Jenderal
Seruan tersebut juga digemakan di Australia oleh mereka yang meminta Pemerintah Federal untuk menghentikan program kerjasama militer dengan Myanmar dan memperluas sanksi terhadap para jenderal.
Australia sudah menerapkan sanksi dan larangan bepergian terhadap lima jenderal Myanmar yang dituduh memimpin gerakan terencana mengusir kelompok minoritas Rohingnya di tahun 2017.
Tetapi Manny Maung dari Human Rights Watch mengatakan, Australia harus memperluas sanksi termasuk kepada pemimpin kudeta Min Aung Hlaing.
“Dia adalah kepala militer, panglima angkatan bersenjata, dia harus menjadi orang yang menjadi sasaran sanksi oleh Australia,” katanya kepada ABC.
“Dengan tidak melakukan sanksi terhadapnya, kita seperti memberi lampu hijau kepada Myanmar dan militernya bahwa mereka bisa melakukan apa saja tanpa adanya akuntabilitas terhadap tindakan mereka.”
Human Rights Watch juga meminta agar ada sanksi yang diberikan kepada Min Aung Hlaing, salah satu pimpinan kudeta.
Reaksi Indonesia dan ASEAN
Dalam pernyataannya Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan Indonesia “sangat prihatin” atas apa yang terjadi di Myanmar.
“Indonesia mendesak semua pihak di Myanmar untuk menahan diri dan mengedepankan pendekatan dialog dalam mencari jalan keluar,” tulis Kemenlu dalam pernyataan online.
Kemenlu mengatakan hal ini sebagai upaya agar “situasi tidak semakin memburuk”.
Sementara itu ASEAN mengatakan akan terus melihat perkembangan politik terkahir di Myanmar, sambil mengingatkan negara-negara anggotanya soal Piagam ASEAN.
“Kami mengingatkan tujuan dan prinsip yang tertuang dalam Piagam Asean, termasuk kepatuhan pada prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum dan pemerintahan yang baik, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan secara fundamental,” demikian dikutip dari situs resmi Asean.
ASEAN yang kini diketuai oleh negara Brunei Darrussalam juga meminta agar adanya perbincangan dengan semua pihak dan rekonsiliasi untuk bisa menormalkan situasi.
“Kami tegaskan bahwa stabilitas politik di negara-negara anggota ASEAN sangat penting untuk mencapai kedamaian, kestabilan, dan kesejahteraan komunitas ASEAN.”
Australia Belum Ambil Tindakan
Menurut dokumen yang ada, Australia sudah terlibat dalam “program dengan Myanmar dengan fokus pada bantuan kemanusiaaan, pelatihan penjaga perdamaian, latihan berbahasa Inggris, dan pendidikan serta profesionalitas perwira.”
Manny dari Human Rights Watch mengatakan program ini seharusnya dihentikan segera karena militer mengambil kekuasaan secara tidak sah.
“Kita tidak bisa memiliki hubungan dengan Myanmar, dan bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa.” katanya.
Pemerintah Australia sudah menyampaikan keprihatinan mengenai kudeta militer dan menyerukan para pemimpin militer dibebaskan segera.
Kemarin, Menteri Luar Negeri Australia, Marise Payne mengatakan Australia memantau perkembangan situasi dengan serius. Tetapi Menteri Perdagangan Australia, Dan Tehan mengatakan masih terlalu dini bagi pemerintah untuk memutuskan sanksi tambahan.
“Sekarang di tahap ini pemerintah belum mempertimbangkannya. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah mempertimbangkan dengan saksama atas apa yang bisa dilakukan menghadapi situasi seperti ini. Jadi, apa yang harus kita lakukan adalah berhenti, melihat apa yang terjadi, dan setelah kita mendapat seluruh informasi yang ada, baru kita buat tindakan lanjutan.” Tegasnya. *Kop/Mas Te.