Revisi UU ITE, Untuk Kepentingan Siapa?

0
58
Sari Putri/Foto : Ist.

OPINI
“Sudah banyak kasus yang menjerat dan merugikan banyak pihak bahkan dapat dinilai pemerintah terlihat seperti memihak pada yang sejalan dengannya sedangkan oposisi yang mengkritisi pemerintahan akan mudah terjerat hukum,”

Oleh : Sari Putri

SEPERTI yang telah kita ketahui UU ITE awalnya dibuat sebagai kontrol masyarakat dalam berkegiatan di dunia digital agar di era digital yang sangat bebas dan dapat diakses oleh siapapun ini tetap dalam suasana yang kondusif dan tidak merugikan pihak tertentu sehingga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Namun pada kenyataannya dampak dari adanya UU ITE ini malah sebaliknya, bahkan sudah menyeret beberapa aktivis, mahasiswa, bahkan tokoh-tokoh yang hanya menyuarakan kebenaran.

Banyak pasal-pasal karet di dalam UU ITE ini yang menjadi multitafsir dan dimanfaatkan untuk menjerat pihak yang seharusnya tidak bersalah. Masih ingat dengan Baiq Nuril yang pada 2015 tersandung UU ITE karena merekam percakapan mesum kepala sekolah tempat ia bekerja dan ingin membela diri atas pelecehan yang ia terima?

Walaupun pada akhirnya presiden memberikan amnesti sehingga Baiq Nuril terbebas dari segala hukuman tetapi sampai sekarang belum ada perubahan yang signifikan dari UU ITE yang diwacanakan untuk direvisi. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.

Dikutip dari Kompas.com (17/02/2021) Pada 2016, DPR telah merevisi UU tersebut dengan mengesahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Akan tetapi, revisi saat itu tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet. Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat (2) soal ujaran kebencian.

Dalam Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008, pelanggaran atas tiga pasal di atas terancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Revisi UU ITE tahun 2016 rupanya tidak memberikan banyak perubahan terkait ketentuan pidana tersebut. UU Nomor 19 Tahun 2016 hanya menurunkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp750 juta. UU tersebut juga menyatakan bahwa ketentuan pidana soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan.

Sudah banyak kasus yang menjerat dan merugikan banyak pihak bahkan dapat dinilai pemerintah terlihat seperti memihak pada yang sejalan dengannya sedangkan oposisi yang mengkritisi pemerintahan akan mudah terjerat hukum. Ditambah pengakuan seorang buzzer yang membenarkan bahwa mereka pernah dibayar untuk menjaga citra penguasa.

Dilansir dari Kompas.com (20/02/2021) Ketua Bidang Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menilai ada kesamaan antara situasi Indonesia saat ini dibandingkan dengan situasi era Orde Baru. Busyro pun menilai situasi saat ini sudah bergerak ke arah neo otoritarianisme.

Busyro menuturkan, pernyataannya itu didasarkan dengan masifnya buzzer atau pendengung. Kemudian adanya teror-teror dengan meretas alat komunikasi, termasuk teror kepada aktivis kampus. Ia mencontohkan kasus teror kepada civitas Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang hendak menggelar diskusi terkait pemakzulan presiden.

Semua fakta tersebut sudah menjadi rahasia umum dan masyarakat mengetahuinya. Namun ada kekhawatiran untuk menyuarakan keresahannya akibat pasal karet dari UU ITE ini.

Walaupun beberapa hari yang lalu presiden telah meminta masyarakat untuk mengkritik, namun masyarakat sudah cerdas dan tidak mudah percaya akan hal ini selama pasal karet masih berlaku tidak ada yang dapat menjamin kebebasan berpendapat. Kemudian tak lama dari itu Presiden berwacana akan merevisi pasal-pasal yang dinilai karet dan multi tafsir tersebut. Namun, revisi UU ITE, untuk kepentingan siapa?

Bahkan banyak tokoh seperti YLBHI yang mendukung dan berharap agar tidak menjadi wacana belaka. Dari pernyataan-pernyataan tersebut sangat terlihat bahwa masyarakat sudah tidak memiliki rasa percaya kepada pemerintah.

Bahkan Arif Susanto, Analis Politik Exposit Strategy mencurigai wacana revisi UU ITE ini hanya pencitraan politik belaka, yaitu pencitraan tingkat internasional karena indeks demokrasi kita yang dianggap sedang jeblok di mata internasional. Hal tersebut disebabkan karena alur dari wacana yang ingin memperbaiki pasal karet yang tidak mengakar ke inti permasalahan sehingga dianggap tidak serius untuk merevisi UU ITE.

Sangat berbeda sekali dengan Islam yang sangat mendahulukan kesejahteraan rakyatnya dan memang bertanggung jawab, mengayomi dan melindungi masyarakat karena hal tersebut memanglah fungsi dasar dari sebuah negara dan pemerintahan. [*]

*Penulis Adalah Mahasiswi Universitas Gunadarma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini