OPINI
“Artinya, di dalam cara pandang, sikap dan praktik beragama harus menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa,”
Oleh : Santi Fawrita
ISTILAH moderasi Islam, moderasi beragama, atau Islam wasathiyah, belakangan menjadi populer dan sering disebut, khususnya oleh pemangku kebijakan. Seperti yang disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dalam acara Perayaan Paskah Lintas Umat Beragama secara daring, 1 April lalu.
Menurutnya moderasi beragama yang meyakini, memahami dan mengamalkan ajaran agama sesuai konteks Indonesia harus dikembangkan secara luas.
Sedangkan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, dalam kesempatan ceramahnya mengajak seluruh peserta mengarusutamakan moderasi beragama demi Indonesia maju dan bermartabat.
Menag pun menginstruksikan jajarannya untuk mempercepat implementasi moderasi beragama dalam berbagai programnya, seiring dengan masuknya konsep moderasi beragama dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Tahun 2020-2024.
Adapun isinya menegaskan bahwa moderasi beragama merupakan upaya memoderasi pemahaman dan pengamalan umat beragama. Artinya, di dalam cara pandang, sikap dan praktik beragama harus menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Tampak sekali agenda ini sangat massif dilakukan, seolah menjadi permasalahan utama yang harus segera direalisasikan. Ada apa di balik munculnya kebijakan ini? Bagaimana umat Islam bersikap? Mengingat banyak kalangan menganggap masa depan umat Islam terletak pada terwujudnya moderasi Islam ini.
Umat Islam menjadi sasaran moderasi beragama sejak AS mengampanyekan Global War on Terorism pasca 11 September 2001. Dengan dalih melawan terorisme, umat Islam di berbagai negara diperangi, dibunuh dan dipenjarakan. Hingga saat ini, narasi melawan terorisme diubah menjadi melawan radikalisme dan ekstremisme. Melalui lembaga think tank-nya, yakni Rand Corporation, AS melancarkan strategi adu domba dengan cara membagi-bagi umat Islam menjadi Islam moderat, Islam fundamentalis/radikal, Islam tradisional dan Islam sekuler. Sejak itulah arus moderasi Islam begitu deras digencarkan.
Permusuhan Barat atas dunia Islam di bawah rezim Joe Bidden, tidak sekonfrontatif pendahulunya. Sebagaimana ciri Partai Demokrat, mereka lebih suka menggunakan gaya moderat.
Hal itu tampak pada kebijakan luar negeri AS. Melalui Menlunya, Antony Blinken, dinyatakan bahwa kebijakan luar negeri AS adalah mendukung demokrasi. Mereka tidak lagi melakukan intervensi militer yang membutuhkan biaya mahal tapi berujung kegagalan, sebagaimana yang pernah dilakukan di Irak dan Afghanistan.
Namun, siapa pun presidennya, tetap saja musuh utamanya adalah Islam ideologis.Upaya perusakan pemikiran Islam melalui ide-ide universal sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum Khilafah Islam diruntuhkan.
Pasca kemenangan AS pada Perang Dunia ke-2 menjadi momentum sistematis untuk mengubah kepemelukan Muslim atas Islam ideologis menjadi penganut sekularisme. Pada akhirnya mereka melakukan pengkajian yang intensif untuk menciptakan strategi paling efektif, hingga menderaskan paham moderasi Islam ini. Caranya dengan melibatkan berbagai komponen umat Islam sehingga kaum Muslimin sendirilah yang menjadi aktor utama dalam penghancuran ideologi Islam.
Misi yang sama dijalankan oleh Paus Fransiskus yang bertolak ke Irak pada awal Maret lalu. Dalam kunjungannya, Paus membawa isu konflik Syiah-Sunni yang harus segera dihentikan dan berpesan agar agama tidak dijadikan sebagai sumber konflik.
Pernyataan Paus ini jelas ditujukan untuk menghilangkan eksklusivisme Islam dan menyeru pada kearifan lokal yang diklaim lebih diterima dunia. Misi ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya Paus Fransiskus juga telah bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar, Syeikh Ahmed Al-Tayeb, untuk bekerja sama dalam memerangi terorisme, ekstremisme dan penindasan.
Strategi Moderasi Islam
Rand Corporation telah merancang Indonesia sebagai poros terwujudnya moderasi Islam. Gagasan ini terus dipropagandakan dengan dalih bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural/majemuk dan hanya bisa dipersatukan dan dirawat dengan moderasi Islam.
Alasannya, moderasi Islam atau Islam moderat mampu menjaga toleransi dan sikap saling menghormati. Hal senada tertuang di dalam RPJM yang memandang pentingnya moderasi beragama ini, agar tidak terjadi klaim kebenaran dan pemaksaan kehendak yang pada akhirnya memunculkan konflik. Oleh sebab itu moderasi Islam ditujukan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan beragama dan berbangsa untuk mencapai Indonesia maju.
Adapun strategi yang disusun untuk menjalankan tujuan di atas, yakni:
Pertama, menjadikan ulama sebagai pengemban ide. Saat ini menurut Menag, ada 50 ribu penyuluh agama tersebar di seluruh Indonesia yang disiapkan sebagai agen moderasi beragama.
Berbagai pelatihan berbasis moderasi agama terus digelar, bahkan direncanakan ada program sertifikasi dai. Bagi para ulama yang menolak Islam moderat, akan dicap sebagai ulama radikal, dakwahnya dibatasi dan dipersekusi.
Kedua, meletakkan penguasa sebagai pembuat aturan dan pelaksana. Kita bisa lihat, pejabat-pejabat dari presiden, wapres dan para menteri, terutama dari Kemenag, terus menyuarakan Islam moderat.
Mereka berusaha mengambil hati dan suara rakyat melalui Islam moderat yang dibutuhkan bangsa untuk mewujudkan kedamaian, persatuan dan keutuhan. Bahkan Presiden telah menyampaikan instruksi khusus kepada Menag untuk melakukan program besar-besaran tentang moderasi beragama, utamanya di lembaga pendidikan dan rumah ibadah. Presiden pun mengeluarkan PP RAN PE No.7 Tahun 2021 dengan dalih menekan tindak ekstremisme.
Ketiga, merancang kurikulum agama berbasis moderasi Islam, dari pendidikan tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Kemenag telah melakukan revisi terhadap 155 buku pendidikan agama Islam karena dinilai mengandung konten radikal. Sedangkan konten moderasi beragama akan disisipkan dalam beberapa program PAI.
Keempat, mendirikan rumah moderasi di berbagai PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri). Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-3663.1/Dj.I/BA.02/10/2019 tertanggal 29 Oktober 2019 tentang Edaran Rumah Moderasi Beragama. Surat edaran yang ditujukan kepada seluruh Rektor dan Ketua PTKIN itu meminta agar setiap kampus mendirikan dan menyelenggarakan rumah moderasi beragama. Rumah ini akan menjadi tempat penyemaian, edukasi, pendampingan, pengaduan dan penguatan untuk wacana dan gerakan moderasi beragama di lingkungan kampus PTKIN.
Kelima, menggandeng Ormas dan LSM untuk sosialisasi pemikiran Islam moderat di tengah umat.
Inilah kelima strategi yang dijalankan pemerintah agar moderasi Islam diterima dan diadopsi oleh umat Islam Indonesia. Padahal ide ini racun dalam agama, yang sengaja dimasukkan ke dalam tubuh dan benak kaum Muslimin untuk melumpuhkan kekuatan mereka, sehingga tidak mampu melawan dominasi kapitalis global.
Maka, umat Islam harus dijaga dan diselamatkan dari paparan paham moderasi Islam, moderasi beragama ataupun Islam wasathiyah. Karena paham ini bukan berasal dari Islam dan bukan ditujukan untuk kepentingan Islam. Paham ini justru akan melemahkan keimanan kaum Muslimin, merusak ketaatan mereka dan memadamkan perjuangan menegakkan Islam kaffah dalam sistem pemerintahan yang syar’i yakni khilafah. Kampanye globalnya harus ditolak dan dicampakkan. Pengarusannya harus dihadang dan dihentikan. Dan semua ini membutuhkan perjuangan yang serius dan terarah dari semua komponen umat, khususnya pengemban dakwah Islam ideologis.
Cukuplah ayat ini sebagai peringatan, “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai.” (QS at-Taubah:32). [*]
*Penulis Adalah Aktivis Dakwah di Kota Depok